Apa Yang Diyakini Katolik Mengenai Keselamatan
Apa Yang Diyakini Katolik Mengenai Keselamatan
(Thomas Richstatter, O.F.M)
Katolik Mengenai Keselamatan - Sekitar tengah hari, terdengar suara ketukan di pintu. Kalian pergi melihat siapa yang datang dan kalian disapa dengan salam, “Hallo, saya Dorothy dan ini putera saya Jason. Kami telah diselamatkan oleh darah Kristus. Sudahkah Anda diselamatkan? Bolehkah kami masuk dan berbicara dengan Anda mengenai keselamatan?” Sampai pada point ini, banyak umat Katolik Roma merasa tidak nyaman dan bimbang akan apa yang harus dilakukan. Sementara kita ingin menjaga sopan santun dan menghormati maksud baik dan iman nyata si tamu, kita ragu untuk mengatakan, “Mari masuk!”
Ada beberapa alasan mengenai kebimbangan ini. Jajak pendapat Gallup menunjukkan bahwa kita orang-orang Katolik tampaknya lebih sedikit berbicara mengenai iman kita dibandingkan orang-orang Kristen lainnya. Di samping itu, orang-orang Katolik cenderung untuk menghormati pilihan orang lain dalam hal keyakinan - kita merasa tidak enak berusaha membawa orang-orang lain masuk ke dalam cara pikir kita.
Tetapi yang terlebih penting, mungkin kita sadar siapa tamu kita dan kita akan berbicara mengenai keselamatan dalam dua cara yang berbeda. Protestan dan Katolik cenderung mempergunakan metafora yang berbeda untuk keselamatan. Mudahnya, metafora adalah suatu cara “puitis” dalam menyampaikan makna. Dalam artikel ini kita akan melihat bahwa metafora kita - “kiasan kata” atau gambaran kita - akan Tuhan mewarnai pemahaman dasar kita akan siapa yang akan masuk ke surga atau ke neraka.
Katolik Mengenai Keselamatan : Metafora Tuhan sebagai Bendahara yang Adil
Metafora akuntansi begitu lazim bagi umat Katolik hingga kita bahkan tidak tahu bahwa gambaran itu ada. Kita melihat suatu hubungan antara perbuatan-perbuatan baik kita dan tempat kita di surga. Dalam arti tertentu, kita mendapatkan surga dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan kita kehilangan tempat kita di surga dengan berdosa; mati dalam dosa berat mendatangkan ganjaran neraka: “Masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri” (1 Korintus 3:8); “Upah dosa ialah maut” (Roma 6:23). Kita menggambarkan Tuhan sebagai seorang bendahara yang adil yang akan mengganjari kita sesuai dengan apa yang pantas bagi kita.
Saya teringat masa-masa ketika dikatakan kepada saya bahwa agama adalah bagaikan suatu polis asuransi. Kita membayar premi (perbuatan-perbuatan baik) dan pada akhirnya polis mendatangkan manfaat (surga). Dijelaskan kepada saya bahwa agama Katolik adalah agama yang paling baik sebab preminya paling tinggi (umat Katolik mempunyai paling banyak peraturan yang harus ditaati) dan sebab itu pada akhirnya keuntungannya akan lebih besar. Jika kita tidak membayar premi (perbuatan-perbuatan baik) atau bahkan terlebih parah, kita melakukan dosa berat, maka kita tak lagi layak akan surga dan diganjari siksa neraka. Bendahara Surgawi melihat semuanya - bahkan pikiran-pikiran kita yang paling rahasia. Si Bendahara adalah adil, jadi ketika kita meninggal dunia, kita akan mendapatkan apa yang pantas bagi kita.
Metafora akuntansi, tentu saja, biasanya tidak sejelas ini dalam pikiran kita. Walau demikian, orang-orang Katolik mungkin terkejut mengetahui bahwa tidak semua orang Kristen berpikiran seperti ini. Hanya separuh dari orang-orang Protestan yang beranggapan bahwa surga adalah ganjaran ilahi bagi mereka yang mengamalkan hidup baik, demikian jajak pendapat Gallup. Dari jejak pendapat diketahui juga bahwa dua kali lebih banyak orang Protestan daripada orang Katolik yang berpendapat bahwa satu-satunya pengharapan akan surga adalah melalui iman pribadi akan Yesus Kristus. Stereotip yang ditangkap jelas oleh jajak pendapat ini adalah bahwa Katolik percaya bahwa surga diperoleh dengan perbuatan-perbuatan baik, sementara Protestan percaya surga diperoleh dengan iman.
Tetapi, Katolik Mengenai Keselamatan memiliki pemahaman yang lebih luas akan Tuhan dari sekedar metafora bendahara yang adil. Kita, juga orang-orang Kristen lainnya, paham bahwa rahmat adalah anugerah cuma-cuma. Gambaran akuntansi tidaklah cukup dapat menyampaikan ajaran iman kita ini.
Yesus Sendiri menunjukkan keterbatasan dari metafora akuntansi ini. Ingat perumpamaan tentang Pekerja-pekerja Kebun Anggur (Matius 20 :1-16), “Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.” Kita ingat bagaimana tuan rumah pergi lagi pukul sembilan pagi, tengah hari, pukul tiga, dan akhirnya pukul lima petang, dan setiap kali ia mempekerjakan lebih banyak pekerja-pekerja. Dan kita tahu akhir dari kisah tersebut, “Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga.”
Apabila kita memahami keselamatan semata-mata hanya dengan metafora Allah sebagai seorang bendahara yang adil, maka kita akan kecewa dengan tuan rumah itu. Kita mengerti mengapa pekerja-pekerja dalam perumpamaan itu bersungut-sungut terhadap tuan rumah; kita pun akan bersungut-sungut juga! (Dan banyak orang Katolik memang bersungut-sungut ketika mereka mendengar perumpamaan ini diwartakan.) Yesus mengingatkan kita dalam perumpamaan ini, dan di banyak tempat lain dalam Perjanjian Baru, bahwa metafora akuntansi tidaklah cukup untuk memahami keselamatan. Perbandingan akuntansi harus diimbangi dengan perbandingan orangtua.
Katolik Mengenai Keselamatan : Metafora Orangtua
“Tuhan adalah orangtua yang mengasihi” adalah kebenaran yang kita semua yakini, tetapi kita seringkali tidak menerapkan gambaran ini atas pertanyaan, “Siapakah yang akan diselamatkan?” Hal ini dapat memiskinkan gagasan kita akan agama, keselamatan dan Tuhan.
Mengapakah metafora orangtua tidak lebih ditekankan? Apakah karena kebanyakan dari kita dalam Gereja Katolik yang menulis dan mewartakan keselamatan bukanlah orangtua? Apakah karena budaya Amerika kita menekankan lebih pada nilai kerja dan uang daripada orangtua dan hubungan pribadi? Apapun alasannya, saya berpendapat bahwa akan sangat berguna memeriksa metafora orangtua dan melihat implikasinya pada pemahaman kita akan keselamatan.
Satu perbedaan utama antara “Tuhan adalah orangtua yang mengasihi” dan “Tuhan adalah bendahara yang adil” adalah bahwa dalam metafora orangtua, ganjaran tidak didasarkan pada hasil kerja. Orangtua mengasihi anak-anak mereka tidak berdasarkan hasil kerja atau prestasi anak. Orangtua mengasihi bayinya yang baru lahir, yang belum dapat melakukan apa-apa. Sementara anak bertumbuh, orangtua mengasihi anak-anak yang mendapatkan nilai C dan D di sekolah, dan orangtua mengasihi anak-anak yang mendapatkan nilai A dan B. Saya melihat para orangtua di Special Olympics yang sama bangga akan anak-anak mereka dengan para orangtua yang bersorak gembira karena putera dan puteri mereka bermain gemilang dalam kejuaraan bola basket sekolah.
Terkadang, seorang anak yang sakit atau bermasalah, mendapatkan bahkan lebih banyak kasih dan perhatian daripada anak-anak lain yang sehat dan berprestasi. Suatu hari di penjara negara, salah seorang narapidana mengatakan kepada saya, “Pater, saya sungguh tidak dapat mengerti mengapa ibu saya masih mengasihi saya. Ia jauh-jauh datang mendendarai mobilnya dari South Bend ke sini hanya untuk menengok saya setiap waktu kunjungan pada hari Minggu. Dan setelah perlakuan saya terhadap perempuan itu - saya mencuri ban-ban mobilnya dan menjualnya untuk membeli kokain; dan ia tak dapat pergi bekerja, dan terlibat masalah dengan bosnya dan akhirnya kehilangan pekerjaannya. Tetap saja ia datang jauh-jauh ke sini untuk mengunjungi saya!” Orangtua memang seperti itu. Bukan cara yang adil, bukan cara bendahara yang baik, melainkan demikianlah cara orangtua. Dan jika orangtua manusiawi kita mengasihi kita begitu rupa, betapa terlebih lagi Orangtua Surgawi kita!
Bagaimana Kita Belajar Mengenal Tuhan :
Suatu kali, saya sedang merayakan Ekaristi bersama anak-anak kelas empat sekolah dasar dan saya ingin mengatakan sesuatu mengenai bagaimana kita belajar mengenal siapa Tuhan itu. Saya mengatakan kepada anak-anak bahwa jika mereka ingin mengenal Tuhan, maka hendaknya mereka memikirkan hal-hal yang baik, yang mengagumkan dan yang menakjubkan, yang kita lihat di sekeliling kita dan mengalikannya dengan seratus ribu juta milyar. Begitulah betapa baiknya, mengagumkannya dan menakjubkannya Tuhan itu.
Di antara hal-hal yang indah dan mengagumkan yang kita dapati di sekeliling kita itu, ada anugerah orangtua manusiawi kita. Yesus mempunyai orangtua yang luar biasa mengagumkan, Maria dan Yosef. Kalikanlah kebaikan mereka dengan seratus ribu juta milyar dan kita akan dapat membayangkan betapa Tuhan pastilah sungguh luar biasa mengagumkan! Ini mungkin salah satu alasan mengapa metafora “Tuhan adalah orangtua yang mengasihi” begitu menonjol dalam Perjanjian Baru. Yesus menyebut Allah sebagai Bapa lebih dari seratus kali dalam Injil.
Tidak semua anak-anak mendapatkan anugerah dua orangtua yang matang dan penuh kasih; dan terkadang sulit untuk memilah yang baik dari yang jahat sebelum mengalikannya. Tetapi, bahkan jika ibu bapa kita gagal sebagai orangtua, Tuhan tidak pernah gagal. Yesaya meyakinkan kita, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yesaya 49:15).
Dari kisah ke kisah dalam Kitab Suci diceritakan mengenai kasih Tuhan yang tak terbatas kepada kita. Saya merenungkan kisah anak yang hilang. Bapa dalam kisah tersebut mengasihi kedua anaknya, masing-masing dengan cara yang berbeda. Sesungguhnya bapa tersebut adalah bapa yang hilang juga. Siapakah gerangan yang akan memberikan setengah dari hartanya sebagai warisan sementara ia masih hidup, terutama jika ia tahu bahwa hartanya itu akan dihambur-hamburkan! Terlintas dalam benak saya bahwa bapa dalam kisah ini mengasihi anak-anaknya lebih dari yang sepatutnya dilakukan seorang bapa yang baik. Adakah Bapa kita yang di surga mengasihi kita bahkan terlebih lagi dari yang sepatutnya dilakukan seorang bapa yang baik?
Siapakah yang Akan Diselamatkan?
Tak seorang pun perlu memberitahukan kepada kita bahwa ada kejahatan di dunia. Tak seorang pun perlu memberitahukan kepada kita bahwa ada laki-laki dan perempuan yang melakukan hal-hal yang jahat. Metafora “Tuhan adalah bendahara yang adil” meyakinkan kita bahwa pada akhirnya mereka akan mendapatkan ganjarannya. (Meski demikian, terkadang, keyakinan kita agak terlalu membenarkan diri. Seringkali kita menghendaki orang-orang lain masuk neraka: Hitler, Stalin, dan terkadang tetangga sebelah!)
Tetapi, metafora “Tuhan adalah orangtua yang mengasihi”, menghantar kita pada pemahaman yang lain. Kasih orangtua dapat melampaui apa yang pantas bagi anak. Ganjaran diukur bukan dengan ukuran prestasi anak, melainkan dengan ukuran kasih orangtua. Betapa besarkah kasih Tuhan kepada kita? Betapa dahsyat? Adakah kasih Tuhan dibatasi oleh penilaian kita akan siapa-siapa yang dapat atau patut dikasihi Tuhan?
Siapakah yang masuk surga? Mempergunakan gambaran akuntansi, jawabnya mudah: mereka semua yang berlaku adil di dunia ini. Mempergunakan gambaran orangtua, jawabnya juga mudah: Tuhan menghendaki semua anak-anak-Nya, yakni mereka semua yang dikasihi Tuhan, masuk surga.
Ini bukan berarti bahwa perbuatan-perbuatan baik tidaklah penting, atau bahwa boleh-boleh saja berdosa, atau bahwa Tuhan tidak menghormati kehendak bebas kita. Melainkan, mengundang kita untuk melihat masalah dengan cara yang berbeda. Sebagai misal, mengubah alasan kita menghindari dosa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Kita tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik demi membeli surga dengan jasa-jasa kita sendiri, atau diberi jaminan ganjaran abadi oleh Bendahara Surgawi. (Kita tidak, misalnya, pergi ke Misa setiap hari Minggu agar kartu absensi kita ditandai sehingga ketika kita tiba di hadapan tahta pengadilan, akan jelaslah bahwa kita telah membayar kewajiban-kewajiban kita.)
“Tuhan adalah orangtua yang mengasihi” meyakinkan kita bahwa Tuhan mengasihi kita. Begitu menyadari bahwa kita dikasihi, adalah normal jika kita ingin membalas kasih itu - yakni mengasihi Tuhan yang terlebih dahulu mengasihi kita. Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih (1 Yohanes 4:18-19). Kita mengasihi Tuhan karena Tuhan telah terlebih dulu mengasihi kita.
St Paulus mengingatkan kita bahwa sementara hukum Taurat tak berdaya, kasih mengatasi segalanya (lih Roma 8:3). Para orangtua tahu bahwa mengancam seorang anak dengan hukuman dapat mengubah perilaku anak untuk sementara waktu, tetapi cara terbaik untuk menghasilkan perubahan selamanya adalah dengan memeluk anak dalam kasih. Apabila kita dikasihi, kita dikuatkan untuk bertumbuh, untuk mengasihi, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang murah hati. Yesus, si tukang kayu dari Nazaret, membenamkan diri dalam sungai Yordan saat pembaptisan-Nya, “Lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: `Inilah AnakKu yang Ku-kasihi, kepada-Nya-lah Aku berkenan.'” (Matius 3:17). Yesus keluar dari air, dikuatkan dengan kasih itu, untuk menyelamatkan dunia.
Pentingnya Dikasihi
Beberapa teman dari Kristen Baptis mengatakan kepada saya bahwa doa pertama yang mereka ingat mereka pelajari adalah madah yang berbunyi, “Yesus mengasihi aku, ini aku tahu, sebab Alkitab mengatakannya.” Doa ini membentuk keyakinan mereka akan Tuhan dalam suatu cara yang indah. Membantu mereka untuk menyadari di tingkat paling dasar bahwa Tuhan sungguh mengasihi masing-masing kita. Dan sungguh Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa Tuhan “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Timotius 2:4).
Hasil jajak pendapat Gallup merisaukan saya: Di antara berbagai macam denominasi Kristen di negara ini (Evangelis, Baptis, Presbyterian, Lutheran, Episcopal, Methodis, denominasi-denominasi Protestan lainnya dan Katolik), Katolik adalah yang tampaknya paling lemah meyakini bahwa “Tuhan sungguh amat mengasihi saya” dan yang tampaknya paling jarang mengatakan “Tuhan mengasihi saya.” Alasan mengapa hal ini menyedihkan saya adalah karena saya beranggapan bahwa adalah tugas utama saya sebagai seorang imam, sebagai seorang biarawan Fransiskan dan sebagai seorang Kristen untuk mewartakan kasih Tuhan. Dan ketika saya membaca bahwa orang-orang Katolik adalah yang paling lemah meyakini “Tuhan sungguh amat mengasihi saya”, saya merasa bahwa pastilah saya tidak melaksanakan perutusan mewartakan kasih Tuhan dengan baik jika orang-orang kepada siapa saya menyampaikan warta ini tidak menangkap pesan saya. Adakah orang-orang Katolik menerima lebih kabar buruk daripada kabar gembira Injil?
Mengapakah Segala Pembicaraan Mengenai Neraka Ini?
Mengapakah begitu banyak orang Katolik tidak menyadari besarnya kasih Tuhan kepada mereka? Adakah karena kita lebih menekankan pewartaan tentang gambaran akuntansi daripada gambaran orangtua? Adakah karena keterpikatan kita kepada yang jahat? Adakah karena lebih mudah menggambarkan kejahatan daripada menggambarkan rahmat? Saya tahu dari pengalaman saya sendiri bahwa jauh lebih mudah berkhotbah mengenai siksa neraka daripada menggambarkan sukacita surga. Bukan hanya para pengkhotbah, melainkan juga para penyair dan para artis lainnya tampak lebih baik dalam mengekspresikan neraka daripada surga.
Ketika saya seorang murid di Eropa, saya ingat mengunjungi katedral dimana Pengadilan Terakhir digambarkan dalam pahatan yang hidup pada pintu-pintunya yang besar. Dan saya ingat berdiri di depan lukisan “Pengadilan Terakhir” karya Michelangelo di Sistine Chapel. Dalam kedua peristiwa itu saya - bersama banyak turis lainnya - selalu lebih tertarik dengan siksa jiwa-jiwa terkutuk daripada sukacita jiwa-jiwa kudus. Neraka menarik perhatian kita semua.
Banyak pengkhotbah menyampaikan kepada kita mengenai akhir dunia, menafsirkan Kitab Suci sedemikian rupa guna menunjukkan kepada kita pemusnahan yang telah Tuhan rancangkan atas ciptaan. Mereka melukiskan gambaran akan jiwa-jiwa tak terhitung banyaknya yang terbakar di neraka. Apabila kita mendengar kisah-kisah ini, baiklah kita ingat, seperti diperingatkan dalam Katekismus Gereja Katolik, bahwa pernyataan-pernyataan Kitab Suci dan ajaran Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia supaya mempergunakan kebebasannya secara bertanggungjawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat.
Meski Gereja secara definitif mengajarkan keberadaan dan kekekalan neraka, Gereja tidak pernah mengajarkan bahwa seseorang sungguh berada di neraka. Penghakiman adalah hak Allah semata. Apabila kita merenungkan keselamatan dengan mempergunakan metafora, “Tuhan adalah orangtua yang mengasihi”, maka jumlah mereka yang kita bayangkan terkutuk akan berkurang secara drastis! Seperti dijelaskan dalam Katekismus, tujuan dari bahasa ini adalah untuk memanggil kita, orang-orang yang hidup, pada tanggung jawab dan untuk menanggapi kasih Orangtua Surgawi kita.
Berapa Banyakkah yang Diselamatkan?
Budaya Amerika kita begitu diresapi semangat individualisme hingga sulit membayangkan bahwa kita hidup dalam kebersamaan. Kita begitu terbiasa berpikir bahwa dosa adalah suatu tindakan pribadi hingga sulit menyadari, seperti diperingatkan Paus Yohanes Paulus II, bahwa setiap dosa berakibat pada yang lain, Gereja, dan sungguh segenap ciptaan.
Kita jarang berpikir bahwa seluruh ciptaan diselamatkan. “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Roma 8:19-22).
Metafora akuntansi dapat menghantar kita untuk mengabaikan teks-teks tertentu dari Kitab Suci dan liturgi yang tampaknya tidak sesuai dengan gagasan kita mengenai keselamatan. Misalnya, ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa Tuhan “sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Petrus 3:9); atau Doa Syukur Agung: “Terimalah dan minumlah: inilah piala darah-Ku, darah perjanjian baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa…. Maka kami mohon, ya Tuhan, sudilah menerima persembahan kami, hamba-hamba-Mu, dan persembahan seluruh keluarga-Mu ini: bimbinglah jalan hidup kami dalam damai-Mu, luputkanlah kami dari hukuman kekal, dan terimalah kami dalam kawanan para pilihanmu (Doa Syukur Agung I).
Kita melihat orang-orang di sekitar kita yang melakukan hal-hal yang jahat. Kita melihat kejahatan yang dilakukan laki-laki dan perempuan itu terhadap kasih dengan mana Tuhan memeluk kita. Tetapi, jika kita memandang Tuhan sebagai Orangtua Surgawi kita, maka kejahatan dan dosa tidak lebih dipandang sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan hukuman, melainkan sebagai perbuatan-perbuatan yang menghalangi kita menanggapi peluk kasih Allah.
Hal-hal apakah (perbuatan, orang, sikap) yang dapat menghalangi kita menanggapi kasih kebapaan Allah bagi kita? Yesus mengatakan bahwa salah satu dari hal-hal di urutan teratas dalam daftar yang menghalangi kita dari Allah adalah kekayaan (suatu kejutan lain bagi mereka yang terbiasa dengan metafora akuntansi dalam keselamatan!) Sebagai seorang biarawan Fransiskan, saya berpikiran bahwa inilah alasan mengapa St Fransiskus, si miskin dari Assisi, dapat menanggapi kasih Bapa dengan begitu sepenuhnya: Tak ada keterikatan pada harta yang menghalangi jalannya.
Ketika pemuda kaya dalam Injil bertanya kepada Yesus, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”, Yesus memintanya untuk melepaskan segala hartanya. “Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: `Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.' Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: `Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.' Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: `Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?'” (Markus 10:17-26).
Di sinilah kunci untuk memahami metafora orangtua dalam keselamatan. Apabila kita berpikir mengenai kasih, kita cenderung berpikir akan cara-cara dengan mana manusia dikasihi. Membayangkan kedahsyatan kasih Allah bagi kita adalah sulit, jika bukan tidak mungkin. Bersama para murid kita bertanya, “Bagaimana mungkin?” Yesus segera menjawab murid-murid-Nya, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah” (Markus 10:27).
http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id141.htm
0 Response to "Apa Yang Diyakini Katolik Mengenai Keselamatan "
Post a Comment
Anda Sopan...!, Kami Pun Segan