Translate

Pernikahan Beda Agama

PERNIKAHAN BEDA AGAMA: UPAYA REKONSTRUKSI IDENTITAS HUBUNGAN ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA 


Oleh: Michael Alexander

Pernikahan Beda Agama - Diskursus mengenai relasi antar agama khususnya Islam-Kristen, sudah sejak duhulu menjadi perbincangan serudikalangan para pakar teolog, sosiolog, bahkan psikolog, dari level mahasiswa yang belum mempunyai gelar hingga level sekaliber profesor turut angkat bicara. Bukannya tanpa alasan, namun sejarah telah mencatat bahwa konflik yang terjadi di Ambon, Poso, pengeboman di Bali, Jakarta, selalu bersangkut paut dengan raut wajah keagamaan. Pertanyaannya, jika mengenai konflik keagamaan, agama manakah yang paling sering berkonflik? Secara bersahaja saya menjawab “Islam dan Kristen” tanpa harus berfikir panjang karena semuanya masih telanjang dalam ingatan. Mungkin lelucon di bawah ini sedikit dapat menjelaskan hubungan Islam-Kristen dewasa ini.
Seorang pendeta bersama temannya sedang asik mengobrol sambil minum kopi di suatu cafe pinggir jalan. Tiba-tiba seorang ustad lewat dengan pakaian lengkap ala Arab. Sobat, apakah kau melihat orang itu? (tanya pendeta kepada temannya), iya saya melihatnya pen....,Saya curiga dia adalah seorang teroris, janggotnya panjang dan di atas kepalnya terlalu banyak lilitan kain, mungkin di sanalah ia menyembunyikan bomnya. Mereka rela mati demi tidur bersama bidadari. Kasihan, mereka adalah korban doktrin dan Arabisasi. Entalah, mungkin itu karena ketidak tahuan mereka, lebih baik kita lanjutkan minum kopi ini, sebelum dingin pen(kata temannya). 
Beberapa hari kemudian, kini giliran si ustad bersama temannya sedang ngopi di cafe yang sama. Karena keperluan ibadah pelayanan rumah tangga, si pendeta juga melintas di depan cafe tersebut. Heii.. kawan, lihat orang itu, ia memegang Alkitab dan menggantung salib di lehernya, pasti dia seorang pendeta(kata si ustad). Memangnya kenapa tad? (tanya temannya). Saya kasihan saja melihat mereka, isi kitab yang dibawanya itu tidak lagi asli, Yesuspun sama sekali tidak pernah disalib, Allah menggantinya dengan kembarannya, kasihan mereka. Iya tad mereka tidak tau(kata temannya).

Lewat lelucon di atas, paling tidak, ada sedikit gambaran mengenai hubungan Islam-Kristen dalam ruang privat masing-masing agama. Akan tetapi cerita di atas belum selesai, masih ada lanjutannya yang kemudian cerita tersebut sedikit membantu untuk menemukan identitas yang terbangun dalam hubungan Islam-Kristen.

Sebulan kemudian, terdengar berita bahwa akan diadakan seminar dengan tema “Dialog Antar Umat Beragama”. Si pendeta dan si ustad dengan senang hati menyiapkan materi karena mereka diundang sebagai narasumber yang mewakili masing-masing agama. Hari itu begitu cerah, seminarpun dimulai, kesempatan pertama diberikan kepada si pendeta untuk berbicara. Pendeta: ajaran tertinggi dalam kekristenan ialah kasih, jadi tidak ada kata benci, ataupun menjelekkan agama-agama yang berbeda dengan kami. Kita adalah saudara (semua hadirin bertepuk tangan). Setelah panjang lebar memaparkan materinya, kini giliran ustad berbicara, dan juga tidak mau kalah. Ustads: Ada suatu kisah, ketika Nabi berjalan-jalan bersama sahabatnya,tiba-tiba ada seekor ular menyalib perjalanan mereka. Dengan tergesah-gesah, sahabat yang lain mengambil sebatang kayu dengan maksud hendak membunuh ular itu. Akan tetapi, Nabi mencegahnya, dan berkata: jangan kau bunuh ular itu, biarkan dia melintas, dia tidak mengganggu kita, dia juga berhak untuk hidup. Saat itu, semua sahabat tercengang. Artinya, ular saja tidak boleh kami bunuh, apalagi manusia mahkluk yang mulia... Islam adalah agama damai. (Tutup sang ustad mengakri materinya) Alhamdulillah.(Semua hadirin kembali bertepuk tangan). Akhir dari seminar tersebut ditandai dengan, jabat tangan antara si pendeta dan si ustads, mereka berpelukan. Mereka bergandengan tangan, saling senyum, sambil berfoto bersama. Tiba-tiba terdegar lagu lawas dengan lirik “senyum dan tawa hanya sekejap saja, sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara”. Dengan terburu-buru, panitia seminar mematikan musik tersebut. Kemudian sesi pemotretan kembali dilanjutkan untuk kepentingan cover majalah, dan koran-koran lokal.

Dari lelucon di atas, bagaimanakah bangunan identitas antara Islam-Kristen? Singkatnya, setiap agama memiliki ajaran-ajaran dengan nilai-nilai universal, pluralisme, sampai humanisme. Namun, tidak bisa juga dipungkiri bahwa agama memiliki ajaran-ajaran yang sangat bersifat eksklusif(tidak ada yang lain selain aku). Maka tidak mengherankan jika dalam ruang privat agama sering menjelekkan satu sama lain. Tetapi dalam ruang publik yang resmi, agama-agama dengan manisnya tersenyum, berbagi tawa, padahal kita tahu bahwa, hampir semua penganut agama(Islam-Kristen) menjatuhkan pilihannya terhadap ekskluvisme keagamaan. Lantas apakah senyum itu hanyalah sandiwara? Ya kepalsuan, saya menyebutnya dengan istilah identitas kepalsuan. Play boy dan play girl pun melakukan hal yang sama saat merayu orang-orang yang menjadi targetnya. Dalam hal ini, kita diingatkan oleh seorang psikolog asal Amerika Lee Freese dan Peter J. Burke, untuk berhati-hati terhadap pemaknaan simbol, katanya, Pemaknaan terhadap simbol, adalah cara mengungkapkan identitas yang paling tradisional.  Pemaknaan seperti ini cenderung membawa kekeliruan, karena dengan siapa ia berkomunikasi turut perpengaruh. Tidak hanya itu, dalam teori identitasnya, Moscovici, memperjelas maksud di atas, bahwa, Identitas dapat dipengaruhi oleh kelompok lain dan juga dapat direkayasa. Sehingga sangat mungkin, senyum, rangkulan, pendeta dan ustads dari lelucon di atas, bukan hanya dengan siapa ia berbicara, tetapi di mana ia berbicara juga menentukan aksi rekayasa identitasnya. Lantas bagaimana dengan fenomenologi, sebagai sebuah instrumen pendekatan bahwa, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada sesuatu yang menampakkan dirinya sendiri. Penganut pedekatan ini percaya bahwa pengetahuan yang didapatnya adalah hasil yang objektif. Akan tetapi, dalam konteks berdasar lelucon di atas, pedekatan fenomenologi sangat diragukan objektivitasnya, sebab identitas yang dinampakkan oleh si pendeta dan ustad bukanlah identitas sesungguhnya. Pengetahuan yang ditemukan lewat pendekatan ini, menurut saya tidaklah tuntas. Sebab ada esensi di balik eksistensi.

Masih berkaitan dengan lelucon di atas, coba perhatikan bagaimana pendeta dan ustad dipertemukan? Pertemuan mereka lewat sebuah seminar dengan tema “Dialog Antar Umat Beragama”. Setelah membaca beberapa buku mengenai pluraliseme, atau buku-buku yang bertopik mengenai keagamaan, ide yang paling sering muncul dari penulis-buku tersebut ialah kata “dialog, dialog dan dialog” atau “transformasi, rekonsiliasi”. Pertanyaanya dialog seperti apa atau tranformasi, rekonsiliasi seperti apa? Pertanyaan ini bukan urusan saya, karena itu bukan ide saya. Tapi, paling tidak saya pernah mendengar, baik itu dari mulut pendeta ataupun dari mulut ustad katanya, “sebagai bangsa yang majemuk, kita harus hidup dalam masyarakat, dengan prinsip saling menghargai, menghormati, saling menolong, bekerja sama, saling menyayangi, meskipun kita beda keyakinan. Tapi ingat, jangan menikah dengan yang berbeda keyakinan”. Mengapa? Terbang itu enak, jatuhnya yang sakit. Kira-kira begitulah perasaan saya saat mendengar pernyataan tersebut.

Sepertinya, saya harus segerah beralih ke topik lain, sebagai upaya yang saya sebut rekonstruksi identitas lewat pernikahan beda agama. Dengan harapan, semoga lewat aksi tersebut merubah sedikit citra yang selama ini buruk dan rentan terhadap konflik. Sebab sudah menjadi kepuasan tersendiri jika kelak, pertanyaan bagaimana identitas Islam-Kristen di indonesia? Dijawab dengan kata “tidak seperti dulu lagi”. Itu saja cukup. Ingat, bukan cukup itu saja.

Pernikahan Beda Agama
Saya yakin, anak yang lahir dari rahim pernikahan beda agama, akan lebih toleran dibanding mereka yang dididik dan dibesarkan digereja ataupun di pesantren. Alasannya, “ibu dan ayah saya saja berbeda, mereka saling mencintai dan menyayangi, mereka adalah contoh hidup bagi saya untuk mengerti bahwa perbedaan itu indah”.  Bagi anda yang Kristen ataupun Islam sejak lahir dan sudah meresa toleran, tidak usah tersinggung, bukan anda yang saya maksud.

Apakah pernikahan beda agama adalah keharusan? Tidak, tidak semasekali, tapi paling tidak jangan mengalang-halangi mereka yang mau melakukannya atas dasar cinta. Itu maksud saya. Mungkin perlu saya tegaskan lagi, ini bukan pernikahan pindah agama yang sering bermasalah itu, ini adalah pernikahan beda agama. Maksudnya, bersatunya antara aku dan kamu, atau tidak adalah lagi aku dan kamu yang ada hanyalah “kita”. Atau sama seperti, warna yang sering berada di langit, merah, kuning, hijau, biru, jingga, ungu, yang disebut dengan satu kata “pelangi”. Berikut adalah lelucon, yang mengisahkan pasangan suami istri berbeda agama saat menikmati malam pertamanya.

Wina(Kristen) dan Mahmud(Islam), mereka adalah salah satu pasangan beda agama yang menikah meski, harus melewati perjalanan panjang karena berbeda agama. Saat itu, malam mulai dingin karena hujan rintik-rintik. Mud, (panggil Wina manja kepada suaminya), iya sayang(jawab Mahmud). Taukah kamu, bahwa dalam kepercayaanku, dikatakan bahwa, terang dan gelap tidak mungkin menyatu, (kata, Wina). Begitupun dengan kepercayaanku bahwa, haram hukumnya menikahi orang yang kafir(balas Mahmud). Tapi dalam kepercayaanku dikatakan, wajib hukumnya suami dan istri saling memuaskan lahir dan bathin(Mahmud memecah suana). Dalam kepercayaanku juga dikatakan, istri wajib melayani suaminya, dan begitupun sebaliknya(Wina berbisik secara perlahan, namun tetap didengar oleh suaminya). Sayang, bagaimana kalau kita memulainya sekarang?(ucap Mahmud). Semua terserah padamu sayang(kata Wina sambil memegang tangan suaminya). Selayaknya pasangan suami-istri, mereka menikmati dinginnya malam itu dengan penuh gairah dan cinta. Berselang beberapa menit, terdengar suara pelan, bercampur rintihan namun tegas, “Sayang, hari ini saya mengerti, bahwa sebenarnya Paulus berbohong, rupanya terang dan gelap bisa menyatu, tidak hanya itu, rasanya juga nikmat”(ucap Wina). “Iya sayang, akupun merasakan hal yang sama, rupanya, halal dan haram rasanya sama saja, entah apa yang mereka pikirkan”(balas Mahmud).

Dari lelucon di atas, tidaklah berlebihan jika saya mengatakan, “Sejatinya di dalam pernikahan, perbedaan usia, suku, ras, golongan, kasta, profesi, ukuran badan dan agama bukanlah masalah, yang terpenting ialah berbeda kelamin”. Dalam ajarannya, Islam dan Kristen percaya bahwa, manusia dan seluruh organ tubuh adalah hasil ciptaan Tuhan, termasuk alat reproduksi. Lalu alasan apalagi, agama yang buatan manusia itu, membatasi ciptaan Tuhan, untuk saling melengkapi satu sama lain(baca: laki-laki dan perempuan)?, tidak hanya itu, Tuhan juga menciptakan cinta, agar ciptaan-Nya itu, bisa saling menyayangi, bertanggung jawab satu sama lain dalam ikatan pernikahan. Mungkin perlu juga di sadari, ungkapan “terang gelap-halal haram, kafir” adalah teks yang mempunyai konteksnya tersendiri. Dan pada kasus ini teks tersebut, tidaklah kontekstual. Hemat saya begitu.

Bukankah, indah rasanya melihat, saat suami mengantar isterinya ke gereja?Bukankah ini suatu keromatisan, ketika hari-hari besar keagaamaan, pada saat puasa, sang istri membangunkan, menyiapkan makanan sahur dan buka untuk suaminya? Saat lebaran dan natalan, keluarga dari masing-masing agama berkumpul di satu rumah dan saling silahturahmi? Bukankah syahdu kedengarannya, ketika anak dari hasil pernikahan beda agama ini, memanggil kakek, nenek, om dan tante sebagai sebuah perluasan primordial antar agama? Paling tidak, mereka yang menikah beda agama sudah memiliki mertua dan ipar yang berbeda agama. Sepupu dan keluarga lain adalah bonus yang tidak bisa dielaklkan.

Mengakhiri tulisan ini, saya mau mengatakan bahwa, Tuhan menciptakan cinta di antara manusia tentu ada alasannya. Cinta kasih secara fisik atau cinta kasih dalam pernikahan adalah bagian dari cinta kasih Tuhan. Tuhan pun tidak begitu kejam seperti memisahkan pasangan yang saling mengasihi hanya demi mencapai diri-Nya. Sebab mengasihi sesama, istri dan suami sama dengan mengasihi Tuhan. Mengutip Erich Fromm, katanya, Mereka yang telah mewujudkan kerukunan dan persatuan antara umat manusia, berarti telah mampu menembus batas-batas yang memisahkan dirinya dengan orang lain.  Artinya, cinta itu harus nyata dalam ruang privat maupun ruang publik. Jangan lagi ada identitas palsu. Seperti bom, kita tidak tahu kapan ia meledak menjadi kebencian bahkan konflik.

Lantas, untuk apa menunda menjadi kita? Mungkin hanya karena disimilasi yang berlebihan, paham gelap, kafir, kepentingan pribadi, ketakutan tidak selamat, kepentingan kelompok yang berujung pada politik kekuasaan, superioritas atau terjebak pada kata “tidak mungkin”. Menurut saya, hal seperti itu hanya menimbulkan kekacauan antara “aku dan kamu”. Tidak mungkin, mewujudkan identitas agama cinta, tanpa aksi perdamaian. Saatnya negara bertindak.

Subscribe to receive free email updates: