Doktrin Keselamatan Calvinis
Doktrin Keselamatan Calvinis
Doktrin Keselamatan, Calvinis - Satu hal yang gagal dilakukan Iblis adalah mengagalkan rencana penebusan anak-anak Tuhan melalui kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Namun hal ini tidak mematahkan semangat Iblis. Sebagai gantinya Iblis berusaha membuat orang Kristen agar tidak yakin akan keselamatan mereka. Sungguh suatu ironi mengingat ada begitu banyak ayat Alkitab yang mengajarkan kepastian keselamatan yang dimiliki oleh anak-anak Tuhan.
Sejarah juga mengajarkan bahwa mulai dari abad pertama telah timbul begitu banyak ajaran sesat tentang keselamatan kristiani. Semua ini menunjukkan begitu beratnya perperangan rohani antara umat Tuhan dengan pengajaran Iblis. Di pihak lain, begitu banyak teolog yang menolak ajaran kepastian keselamatan dengan berbagai dalih. Lalu bagaimanakah kita harus bersikap ?
Di dalam kurikulum kelompok kecil di GKII dijelaskan pada tahap IV anggota Kelompok Kecil diajarkan tentang doktrin keselamatan Calvin, namun cukup sulit untuk menemukan sebuah buku yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk pengajaran tersebut mengingat begitu banyaknya buku-buku yang mengajarkan doktrin keselamatan. Bahan pengajaran tentang doktrin keselamatan ini dibuat untuk menjawab kebutuhan orang-orang Kristen akan kepastian keselamatan, juga untuk memenuhi kebutuhan kurikulum pembinaan Kelompok Kecil di GKII.
Bahan pengajaran doktrin keselamatan Calvin ini mencakup sejarah keselamatan, ajaran bidat kristen tentang keselamatan, dosa, keadilan dan kedaulatan Allah, lima pokok calvinisme, predestinasi baik dari Luther maupun Calvin, serta ajaran tentang predestinasi ganda.
Bahan ini tidak ditujukan untuk orang kristen baru. Materi di dalam bahan ini ditujukan untuk diajarkan kepada anak kelompok kecil yang telah mencapai tahap IV dan bukan ditujukan untuk diajarkan kepada orang kristen baru. Bagi mereka yang mau mengajarkan bahan ini diharapkan sudah membaca dan mengerti dengan sungguh-sungguh doktrin ini. Sangat tidak dianjurkan untuk mengajarkan bahan ini jika Anda belum menguasai bahan dan belum membaca sumber asli dari artikel-artikel yang ada di dalam materi ini. Kesalahan di dalam mengajarkan doktrin ini dan ekses-ekses negatif yang terjadi adalah kesalahan Anda dan harus Anda pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Bahan ini tidak diperjualbelikan, namun boleh diperbanyak dengan meng-foto copy tanpa dipungut biaya apa pun kecuali biaya foto copy. Semoga bahan ini dapat dipergunakan dengan bertanggung jawab dan menjadi berkat bagi Saudara sekalian. Soli Deo Gloria.
Baca juga : Sejarah Singkat Agustinus-Jhon Calvin
Predistinasi Doktrin Keselamatan Calvinis
Daftar Isi
1. Sejarah Keselamatan
2. Ajaran-ajaran Bidat Kristen Tentang Keselamatan
3. Dosa Dalam Pengertian Alkitab
4. Pengertian Keadilan dari kacamata Alkitab
5. Keadilan Allah
6. Kedaulatan Allah
7. Lima Pokok Calvinisme
8. Predestinasi – Pengantar ke dalam Teologi Reformed
9. Predestinasi – Institutio
10. Predestinasi Dan Reprobasi
11. Dua Belas Tesis Tentang Reprobasi
Doktrin Calvinis Sejarah Keselamatan
1. Sebelum dunia dijadikan Efesus 1 : 4-5
2. Adam Kejadian 3 : 15, 21
3. Abraham Kejadian 22 : 18
4. Yakub Kejadian 28 : 14
5. Bangsa Israel Keluaran 12 : 5,15,17
6. Peraturan Keagamaan bangsa Israel
a. Korban keselamatan Imamat 3
b. Korban penghapusan dosa Imamat 4
c. Korban penebus salah Imamat 5 : 18
7. Daud II Samuel 7 : 16
8. Salomo I Raja-raja 9 : 5-7
9. Yesus Yohanes 18 : 28; Lukas 22 : 15
10. Kematian Kristus sebagai pengganti korban-korban dalam Perjanjian Lama
a. Ibrani 7 : 26-27
b. Ibrani 9 : 11-14
c. Ibrani 10 : 1-18
Ajaran-ajaran Bidat Kristen Tentang Keselamatan
NOMIANISME
Nomianisme adalah bidat yang mula-mula muncul dalam sejarah gereja. Bidat ini menganut paham bahwa jika seseorang mau diselamatkan, khususnya orang kafir haruslah ia disunat, masuk agama Yahudi dan menerima hukum Taurat, dengan demikian barulah ia memperoleh keselamatan.
Orang-orang Nomianisme ini tidak menyangkal anugerah Tuhan, melainkan berpendapat bahwa seseorang setelah menerima anugerah ini, haruslah berpegang juga kepada perbuatan untuk memperoleh keselamatan. Oleh karena masalah ini, maka dalam sejarah untuk pertama kalinya gereja menyelenggarakan konferensi dengan mengambil tempat di Yerusalem. Kelihatan Sidang ini diketuai oleh Yakobus, saudaranya Tuhan dan para rasul sebagai penasehat. Di sini pula untuk pertama kalinya teolog-teolog Kristen mengadakan perdebatan tentang teologia Kristen.
Akhir dari konferensi tersebut, Petrus mengumumkan, “Hai saudara-saudara, kamu tahu bahwa telah sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraan mulutku bangsa-bangsa lain mendengarkan berita Injil dan menjadi percaya. Dan Allah, yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendakNya untuk menerima mereka, sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita, dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. Kalau demikian, mengapa kamu mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri ? Sebaliknya, kita percaya bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga (Kis. 15:7b-11).
Pengumuman yang merupakan pernyataan ini dengan jelas menyatakan bahwa teolog-teolog aliran murni diantaranya Rasul Paulus memperoleh kemenangan gemilang, sehingga gereja diselamatkan dari ajaran sesat yang berbahaya ini. Dengan demikian, hasil konferensi memutuskan Nomianisme sebagai ajaran yang salah dan juga sekali lagi ditegaskan bahwa keselamatan manusia berdasarkan kasih karunia Allah dan iman.
Meskipun dalam pergumulan kali ini, teolog-teolog aliran Ortodoks memperoleh kemenangan, tetapi kegagalan ini tidak membuat bidat Nomianisme bertobat, melainkan mereka terus bergerak dan menyusup ke dalam gereja dengan tujuan merusak ajaran murni gereja. Tujuan Paulus menulis surat kepada Jemaat di Galatia adalah untuk melawan bidat Nomianisme. Sebab itu Paulus mengatakan, “Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Gal 2:16).
ASETISISME
Kira-kira hampir bersamaan dengan bangkitnya Nomianisme, di gereja Kolose mulai timbul satu bidat lain yang disebut Asetisisme. Bidat ini memegang paham bahwa keselamatan akan diperoleh, jika orang tersebut mau mengekang hawa-nafsu dan hidup dengan cara menyiksa diri. Mereka menetapkan peraturan-peraturan yang harus ditaati. Kemudian peraturan-peraturan ini menjadi standar atau ukuran untuk keselamatan. Dengan demikian bidat ini meremehkan karya keselamatan yang sudah terjadi di atas salib. Mereka tidak mengakui “DISELAMATKAN” dan “DIKUDUSKAN” merupakan “ANUGERAH”.
Dalam suratnya kepada Jemaat di Kolose, Rasul Paulus dengan keras mengatakan, “Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia: jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.” (Kol. 2:20-23).
Sebenarnya latar-belakang timbulnya Asetisisme berasal dari satu pikiran filsafat yang baru muncul pada waktu itu. Pikiran filsafat ini dikenal dengan sebutan Gnostisisme. Orang-orang Gnostik beranggapan bahwa materi itu jahat, sebab itu tidak mungkin Kristus mau menjelma sebagai manusia dan mempunyai tubuh materi; dan mereka juga beranggapan bahwa orang yang mau mendapat keselamatan harus melepaskan diri dari ikatan materi dan hidup dalam kesucian.
EBIONISME
Bidat ini timbul pada permulaan abad kedua, kira-kira pada tahun 107 M. Tokohnya adalah seorang pemimpin salah satu kelompok Yahudi Kristen yang bernama Ebion yang berarti “miskin” atau “rendah hati”. Kelompok ini berkeyakinan bahwa orang diselamatkan harus berpegang pada hukum Taurat. Bidat ini sama dengan Nomianisme abad pertama, tetapi berbeda pandangan mengenai Yesus Kristus.
PELAGIANISME
Pelagius (360-415) adalah rahib Britania yang tinggal di Roma. Pada tahun 410, ia bersama muridnya pindah ke Afrika Utara. Jalan pikiran teologianya sebagai berikut : Ia menolak Alkitab adalah wahyu Allah. Menurutnya tiap orang dilahirkan tanpa cacat (dosa), keadaan manusia sama seperti keadaan Adam semasa di taman Eden. Dengan kata lain, ia tidak mengakui keberadaan akar dosa atau dosa keturunan. Menurutnya keberadaan dosa, bukan pada tabiat manusia, melainkan dalam kehendaknya. Setiap kali kehendak manusia bermaksud jahat, maka pada waktu itulah manusia jatuh dalam dosa. Dosa Adam tidak mempengaruhi keturunannya, melainkan hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi teladan dosa Adam dan Hawa dengan mudah ditiru oleh generasi berikutnya. Kematian manusia bukan karena upah dosa, melainkan karena manusia tidak
takluk di bawah hukum alam. Keselamatan bukan karena anugerah, melainkan akibat perbuatan kebajikan atau amal.
Terhadap pemikiran Pelagius ini, para uskup Roma mempunyai dua pendapat yang berlawanan. Ada uskup yang menyokong dan ada yang tegas menolak pemikiran Pelagius. Meskipun kemudian pada tahun 417, uskup Roma Innosent I memutuskan bahwa ajaran Pelagius sebagai bidat, tapi uskup kemudian mencabut keputusan tersebut.
Para uskup yang berkedudukan di Afrika Utara dengan tegas menolak keputusan atau sikap uskup Roma yang membenarkan ajaran Pelagius tersebut. Di antara uskup Afrika Utara yang paling keras menentang ajaran Pelagius adalah uskup Hippo yang bernama Augustinus.
Augustinus mengemukakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan sempurna dan memiliki kehendak bebas. Manusia boleh memilih untuk patuh pada Tuhan atau patuh pada keinginan dan kehendak diri sendiri. Adam dapat tidak berbuat dosa, tapi ia tidak menggunakan kemungkinan ini, melainkan menuruti kehendak diri sendiri dengan melanggar firman Allah, sehingga jatuh dalam dosa. Karena kejatuhan ini, Adam dikuasai oleh dosa. Persekutuannya dengan Allah terputus, pertolongan dan rahmat Allah terlepas darinya. Sebagai akibat, ia harus mati karena perbuatan yang dilakukan. Firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa upah dosa ialah maut (Rom. 6:23a). Sekarang ia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat baik, melainkan apa yang dipikirkan dan dilakukan menjurus pada dosa. Menurut Augustinus, semua keturunan Adam berdosa juga (Rom. 5:12). Tubuh, jiwa dan Roh setiap manusia sudah diracuni oleh dosa yang menurun dari Adam. Setiap manusia disebut sebagai “Kaum Kebinasaan” yang tidak sanggup berbuat baik dan di bawah kutukan Allah dan akan menerima hukuman kekal. Tetapi karena rahmat dan kasih Allah, maka ia memilih sebagian manusia yang sudah ditentukan untuk mendapat anugerah keselamatan. Inilah permulaan pemikiran teologia “Predestinasi” (tujuan hidup dan akhir hidup manusia sudah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan) yang kemudian dikembangkan oleh John Calvin.
Dalam persidangan pada tahun 431 di Efesus dengan resmi diputuskan bahwa ajaran Pelagius adalah sesat.
KATARINISME
Bidat Katarinisme memegang ajaran dualisme yang ekstrem. Mereka berpendapat bahwa di dunia ini terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan satu dengan yang lain. Dua kekuatan ini adalah “kebajikan” dan “kejahatan”.
Dua materi yang ada sekarang ini adalah hasil ciptaan si jahat. Roh dan jiwa yang berasal dari Allah yang baik, ditawan dan dipenjarakan di dalam dunia ini. Hal ini terjadi akibat jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa, sehingga dosa menurun pada anak cucunya (manusia).
Malaekat yang jatuh ke dalam dosa, menjadi iblis dan mempunyai tubuh yang berbentuk. Sebab itu, segala yang berbentuk (materi) adalah jahat. Tuhan Yesus pada hakekatnya bukan bersifat materi, melainkan digolongkan pada sifat kebajikan. Kedua kekuatan ini sering bertemu dan bertarung.
Manusia hanya dapat mengalahkan kejutan, takluk pada kebajikan, jika ia memiliki “hati yang suci” atau “Katari”. Untuk memiliki “hati yang suci” atau “Katari” ini, maka seseorang perlu “bertobat”. Yang dimaksud dengan “bertobat” adalah menerima konsep
pemikiran “Katari”. Yang dimaksud dengan konsep pemikiran “Katari” adalah pengekangan hawa-nafsu dan menerima “Sakramen Penghiburan” (sebangsa dengan baptisan kudus).
Mereka berkeyakinan bahwa sakramen ini dapat mengampuni dosa dan menolong manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Upacara sakramen penghiburan ini, dipimpin oleh orang yang sudah menerima sakramen ini. Pelaksanaan dilakukan dengan menaruh sejilid kitab Injil Yohanes di atas kepala. Dengan melaksanakan upacara ini, secara langsung menyatakan bahwa mereka telah bersatu dengan tekad Yohanes pembaptis, yaitu mengekang hawa nafsu. Mereka juga berpendapat bahwa upacara yang dilaksanakan ini sesuai dengan ajaran para rasul.
Orang-orang yang telah menerima sakramen penghiburan ini, disebut “Umat yang Sempurna”. Para tokoh bidat ini berpendapat bahwa orang yang meninggal sebelum menerima sakramen penghiburan ini akan menitis kembali. Dalam penitisan, orang ini mungkin menjadi binatang, manusia dan lain-lain. Penitisan ini akan terjadi berulang-ulang, sampai ia menerima sakramen penghiburan ini. Dengan kata lain, orang yang belum menjadi “Umat yang Sempurna” tidak akan masuk surga !
LIBERTINISME
Menurut pendapat mereka di tengah-tengah dunia ini, hanya ada satu roh, yaitu : Roh Allah ! Sebab itu, tidak ada malaikat yang baik ataupun yang jahat. Dan tentu juga tidak ada iblis maupun setan.
Menurut mereka, hakekat dosa itu tidak ada. Konsep dosa hanyalah semacam khayalan. Arti keselamatan adalah melepaskan diri dari khayalan dosa.
SOSIRNUSISME
Bidat Sosirnusisme menolak kebenaran pengampunan karya Kristus di atas kayu salib, karena mereka berpendapat bahwa pengorbanan orang benar untuk menggantikan orang bersalah, sangat tidak adil ! Kematian Yesus di kayu salib, hanyalah untuk menyatakan ketaatanNya kepada Allah dan untuk dijadikan sebagai teladan. Meskipun pengorbanan Yesus sangat besar, tapi bukan sebagai pengganti, melainkan kewajiban dan keharusan. Menurut mereka, jika kematian Yesus dapat dijadikan pengganti, maka manusia boleh tidak bertanggung-jawab lagi di bidang etika-moral dan mereka tidak perlu lagi menuntut kesucian, keadilan dan sebagainya. Mereka mengakui manusia telah jatuh dalam dosa dan akan menerima hukuman. Diakui pula bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Untuk menolong manusia terhindar dari hukuman, maka Allah memberi Alkitab dan hidup Yesus sebagai teladan untuk ditaati, agar dapat menemukan dan memperoleh jalan menuju hidup yang kekal.
MORMON
Menurut orang-orang Mormon, Adam terpaksa berbuat dosa dengan makan buah pengetahuan baik dan jahat. Karena jika Adam tidak makan buah itu, maka ia tidak mungkin mengetahui hal yang baik dan jahat dan tidak mungkin pula ia mempunyai
keturunan. Dengan demikian berarti ia tidak mentaati perintah Allah yang menghendaki manusia beranak-cucu untuk memenuhi bumi.
Perintah Allah yang terutama adalah beranak -cuculah dan perintah kedua adalah jangan makan buah terlarang. Adam demi mentaati perintah yang pertama, maka dengan terpaksa melanggar perintah yang kedua. Yang berbuat dosa, bukanlah Adam melainkan Hawa. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan rasul Paulus dalam I Tim. 2:14 yang berbunyi, “lagi pula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.”
Menurut pendapat mereka, kematian Yesus tidak dapat menyelamatkan orang lain, melainkan hanya Adam saja. Keselamatan yang sesungguhnya hanya diperoleh melalui ketaatan pada peraturan-peraturan, sakramen-sakramen dari Mormon dan perbuatan baik. Baptisan yang dilaksanakan pendeta Mormon dapat menghapus dosa. Dengan kata lain, baptisan merupakan syarat mutlak untuk mendapat keselamatan. Mereka juga mengajarkan bahwa anggota Mormon ini dapat menggantikan sanak famili yang sudah meninggal untuk dibaptiskan dan ini berarti pula bahwa orang yang sudah meninggal masih mempunyai kesempatan untuk diselamatkan, asalkan ada orang yang hidup mau dibaptiskan untuk mereka.
SAKSI YEHOVA
Keselamatan yang terdapat di dalam Yesus Kristus tidak dapat memberi hidup yang kekal, melainkan hanya membuka kesempatan untuk masuk kerajaan seribu tahun. Di dalam kerajaan seribu tahun ini, membuka kesempatan untuk memperoleh hidup yang kekal. Kematian Yesus Kristus di atas kayu salib tidak dapat menebus dosa umat manusia, melainkan hanya menebus dosa Adam saja. Alasan mereka adalah bahwa tidak mungkin satu jiwa yang dikorbankan dapat menebus seluruh umat manusia, melainkan satu jiwa yang dikorbankan hanya dapat menebus satu jiwa.
CHRISTIAN SCIENCE
Allah itu baik adanya dan alam semesta berwujud roh, maka dosa itu tidak mempunyai realitas. Dengan kata lain, dosa itu sebenarnya tidak ada. Sekarang manusia mempunyai perasaan akan keberadaan dosa disebabkan khayalan yang berasal dari rasa bersalah. Cara untuk menghilangkan perasaan tersebut dengan menyadari bahwa dosa tersebut tidak ada.
Darah Yesus yang dialirkan di bukit Golgota, meskipun terus mengalir sampai sekarang itu tidak mempunyai sangkut-paut dengan dosa manusia. Biar bagaimana besar dan hebatnya pengorbanan diri Yesus Kristus, tidak mungkin dapat membayar lunas hutang dosa manusia. Arti sebenarnya Yesus disalibkan adalah lambang pernyataan kasih allah terhadap manusia. Allah mempergunakan akal pikiranNya menciptakan segala sesuatu dan akal pikiran Allah itu baik adanya, maka segala sesuatu yang diciptakan tentu baik juga. Sebab itu doktrin untuk dilahirkan kembali itu tidak perlu dan tidak usah ada.
ARMSTRONGISME
Mereka tidak menyangkal perlunya kita percaya kepada Yesus Kristus, tapi untuk mendapat keselamatan tidak cukup dengan percaya kepada Yesus Kristus, melainkan juga bersandar pada ketaatan terhadap hukum dan tata ibadah yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Pengajaran tentang keselamatan dari Armstrong, sama dengan doktrin dari bidat Nomianisme dan Assentisisme yang menambahkan keselamatan yang berdasarkan anugerah dan iman dengan perbuatan.
CHRISTIAN-UNITISME
Mereka menyangkal eksistensi dosa. Mereka berpandangan bahwa dosa itu hanyalah “Ketidakharmonisan dalam iman percaya” atau hanya “Konsep pemikiran” saja. Mereka menyatakan bahwa dalam dunia ini tidak ada dosa, tidak ada penyakit dan tidak ada kematian. Menurut mereka penebusan ayng dimaksud dalam Alkitab adalah persekutuan orang-orang di dalam Kristus dan Allah Bapa. Dengan kata lain, “penebusan” hanyalah keharmonisan antara pemikiran manusia dengan pemikiran Allah melalui Yesus Kristus.
LIBERALISME/MODERNISME
Manusia hanya merupakan sebagian dari proses evolusi, tetapi tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia tidak pernah jatuh dalam dosa. Bukan saja tidak pernah berdosa, bahkan manusia makin hari makin maju dan akan mencapai kesempurnaan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia, disebabkan oleh faktor situasi dan sosial. Jika faktor-faktor ini diperbaiki, secara otomatis manusia akan menjadi baik. Mereka sangat menitik beratkan perombakan-perombakan radikal di kalangan masyarakat. Karena sikapnya ini, maka gerakan mereka disebut gerakan “Social Gospel”. Teori Evolusi Darwin sangat mempengaruhi, sehingga mereka berpandangan bahwa manusia berasal dari binatang, melalui proses evolusi akan mencapai kemajuan-kemajuan.
Menurut mereka, manusia harus berbuat baik, berbuat amal, karena perbuatan ini akan mempengaruhi keselamatan. Cerita tragis tentang Yesus mati disalib, tidak dapat diterima. Karena cerita ini berasal dari pengaruh tahyul abad pertengahan. Injil keselamatan dengan darah sudah ketinggalan jaman. Neraka itu tidak ada. Allah yang Mahakasih, tidak mungkin menghukum atau membinasakan makhluk ciptaanNya. Dengan demikian, pengajaran tentang penghakiman bagi mereka hanyalah isapan jempol saja.
UNIFICATION CHURCH
Dengan cara memberi dan menerima (persetubuhan) antara unsur negatif dan positif, Allah menciptakan manusia. Setelah itu dengan cara yang sama, Allah menyalurkan darah ilahi ke tubuh Hawa. Dengan cara yang sama juga Hawa menyalurkan darah ilahi ke tubuh Adam, sehingga mereka menjadi anak-anak Allah dan melahirkan keturunan anak-anak yang baik dan benar. Komandan malaekat (iblis) tidak tahan terhadap godaan Hawa yang seksi itu, sehingga mengadakan hubungan gelap (berzinah), sebagai
akibatnya maka tersalurlah darah yang amoral (dosa) itu, sehingga menajiskan roh manusia. Kemudian dengan persetubuhan Hawa dan Adam (dianggap zinah juga), mengakibatkan kenajisan pada tubuh manusia. Dengan kenajisan roh dan tubuh, maka manusia mendapat keturunan yang jahat dan darah yang najis tersebut terus tersalur pada generasi berikutnya, sehingga bumi ini dipengaruhi oleh anak-anak iblis dan dunia ini di bawah kekuasaan iblis.
Untuk mengembalikan (memulihkan) keadaan yang tidak baik ini, maka pada dua ribu tahun yang lampau, Allah memilih seorang yang mengetahui isi hatiNya, yaitu : Yesus Kristus untuk melaksanakan pekerjaan “Pemulihan” keadaan manusia seperti semula. Dalam melaksanakan tugas ini, Yesus hanya melaksanakan sebagian saja. Menurut dasar keselamatan, yaitu harus dengan cara bersetubuh menyalurkan darah ilahi tersebut kepada orang lain. Yesus Kristus, selama di dunia ini tidak menikah, sehingga gagal menyalurkan darah ilahi tersebut. Karena kegagalan itu, maka Yesus mengakhiri hidupNya di Golgota. Moon (pendiri Unification Church) mengatakan, “Jesus failed in His Christly mission. His death on the cross was not an essential part of God’s plan for redeeming sinful man.” (Yesus gagal dalam misi kekristenanNya. KematianNya di atas salib bukan bagian penting dari rencana Allah bagi penebusan orang berdosa). Lebih lanjut ia mengatakan, “The ministry of Christ, however, was not a total failure for He did accomplish a “spiritual” salvation at the cross of Calvary, but He failed in achieving a “physical salvation” for mankind.” (Pekerjaan Yesus bukan gagal total, karena di Kalvari Ia disalibkan telah melakukan keselamatan bagi “spiritual” manusia, tapi gagal menyelamatkan tubuh jasmani manusia).
Oleh karena kegagalan Yesus Kristus menyelamatkan tubuh manusia, maka pada akhir jaman ini, Allah memilih Sung Myung Moon untuk mengerjakan keselamatan yang belum selesai, yaitu keselamatan tubuh manusia. Cara menyelamatkan tubuh manusia adalah sebagai berikut : Dengan perkawinan Moon dengan istri mudanya yang bernama Hak Ja Han pada tanggal 1 Maret 1960 sebagai “The Marriage of the Lamb” (pernikahan domba). Sejak itu, Moon menetapkan dirinya sebagai “Father of the universe” (bapak universal) dan istrinya sebagai “Mother of the universe” (ibu universal). Melalui hubungan seksual antara ibu dan bapak universal dengan anggotanya, maka mulailah pekerjaan penyaluran darah ilahi tersebut, sehingga dapat “memulihkan” manusia kepada keadaan semula, yaitu menjadi anak-anak Allah. Dengan kata lain, dengan cara bersetubuh, tubuh jasmani manusia diselamatkan ! Dengan demikian, maka lengkaplah keselamatan manusia, yaitu: roh, jiwa, dan tubuh.
CHILDREN OF GOD
Mereka menyamakan kebenaran keselamatan di atas kayu salib dengan hubungan seksual. Allah memberikan Putra TunggalNya untuk menyelamatkan manusia, demikian juga kita harus memberikan pacar/istri untuk digauli asal dapat menarik orang untuk percaya. Arti keselamatan menurut mereka adalah kebebasan dari kutuk pakaian dan rasa malu bertelanjang. Dengan melampiaskan nafsu seksual untuk mencapai penyerahan roh yang total kepada Allah.
THE WAY INTERNASIONAL
Wierwille (pendiri ajaran ini) percaya keselamatan bukan hanya percaya kepada Yesus dan juga dengan bahasa roh. Ia mengatakan, “... the only visible and audible proof that a man has been born again and filled with the gift from the Holy Spirit is always that he speaks in a tongue or tongues”. (Bukti nyata dan jelas seseorang dilahirkan kembali dan penuh dengan karunia Roh Kudus, apabila ia selalu berbahasa roh atau berbahasa-bahasa roh). Ia membedakan berdosa dalam roh dan berdosa dalam tubuh dan jiwa. Menurutnya, orang Kristen tidak bisa berbuat dosa dalam roh dan hanya bisa berdosa dalam jiwa dan tubuh saja. Baginya berdosa dalam jiwa dan tubuh bukan masalah, hal tersebut dianggap biasa yang tidak akan mempengaruhi keselamatan itu.
Disadur dari buku Bidat Kristen dari Masa ke Masa yang dikarang oleh Pdt. Paulus Daun, M.div., Th. M.
Dosa Dalam Pengertian Alkitab
Disadur dari buku Dosa, Keadilan, & Penghakiman, Stephen Tong, Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1993.
Dosa adalah istilah yang sedemikian penting, sedemikian serius, dan sedemikian berat, tetapi yang kini sudah dianggap ringan. Psikologi-psikologi modern berusaha melarikan diri untuk membahas dosa. Psikologi-psikologi modern hanya berusaha mengerti manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna, sehingga secara tidak terlalu sadar atau secara tidak dikehendaki, setiap pribadi tergelincir ke dalam kelemahan-kelemahan yang bersifat kesalahan atau dosa itu.
Tetapi Alkitab mengatakan dengan jelas ada perbedaaan antara kelemahan dengan dosa. Roma 5:6,8,10 menggunakan tiga istilah yang berbeda untuk mencerminkan status manusia di hadapan Allah, di hadapan diri, di hadapan Taurat, dan di hadapan setan.
Roma 5:6 mengatakan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka, pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Ayat 8, “ketika kita masih berdosa” atau istilah yang lebih tepat dari bahasa aslinya “pada waktu kita masih sedang ditaklukkan oleh dosa”, Kristus telah mati untuk kita. Dalam ayat 10, “ketika kita masih menjadi seteru Allah”, maka melalui kematian Anak Allah, kita sudah diperdamaikan, maka apalagi dengan kebangkitan Kristus, bukankah kita pasti akan diselamatkan oleh hidupNya ?
Di dalam Roma 5:6 tercetus istilah pertama : weak (lemah), lalu di dalam ayat 8 tercetus istilah kedua : berdosa, kemudian dalam ayat 10 tercetus istilah ketiga : seteru. Ketiga istilah ini menyatakan bagaimana status manusia di hadapan Taurat yang menjadi suatu perwujudan keadilan dan kebenaran allah. Kita adalah orang yang tidak bisa menggenapi tuntutan Taurat. Oleh sebab itu kita disebut lemah. Kelemahan ini adalah status yang pertama yang disebut oleh Tuhan. Status kedua yaitu kita adalah orang berdosa dan kita ditaklukkan ke bawah kuasa dosa. Seperti apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 7 : 14, “ kita sudah terjual di bawah kuasa dosa” dan ayat 10 mengatakan status ketiga yang lebih berat lagi: kita sudah menjadi seteru atau musuh Tuhan Allah.
Kelemahan perlu dimengerti, dosa perlu diampuni, dan musuh perlu diperdamaikan. Dengan demikian kita tidak mengerti manusia hanya karena dia mempunyai kelemahan sehingga hanya perlu diampuni dan diajar secara cukup. Pendidikan belum pernah secara tuntas membereskan persoalan manusia. Psikologi belum pernah secara tuntas bisa membereskan masalah-masalah manusia. Hanya Injil dengan status kedua, yaitu pengampunan dosa dan perdamaian antara manusia yang berdosa dengan Allah yang suci, yang memberikan jalan keluar dan tuntas kepada manusia di hadapan Tuhan Allah.
Dosa itu apa ? Istilah “dosa” muncul sangat banyak di dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
I. Perjanjian Lama 1. Hatta
Istilah ini berarti jatuh dan mengurangi standard dari Tuhan yang suci itu (falling short of the standard of God). Allah telah menetapkan suatu standar dan pada waktu kita lepas, kita turun dari standar yang ditetapkan oleh Allah, hal ini disebut hatta (dosa). Istilah ini berbeda dengan pengertian dosa dalam dunia hukum.
Dosa dalam pengertian hukum dunia adalah pelanggaran terhadap sesuatu yang sudah secara perjanjian bersama (konsensus) ditetapkan oleh ahli-ahli hukum agar menjadi patokan untuk mengatur hidup sosial dan etika dalam masyarakat. Kelemahannya adalah tidak ada suatu hukum yang bisa langsung menghukum orang yang mempunyai niat atau rencana di dalam hati namun belum melakukan sesuatu di luar. Tetapi Alkitab tidak demikian. Alkitab berkata dengan jelas “yang membenci seseorang, sudah membunuh” (Mat 5 : 21-22).
Istilah hatta dipakai 580 kali dalam Perjanjian Lama.
2. Avon
Avon berarti sesuatu guiltiy (kesalahan) atau suatu hal yang mengakibatkan kita merasa kita patut dihukum. Suatu perasaan di dalam diri kita yang menganggap diri cacat atau perasaan di dalam jiwa yang merasa diri kurang benar, sehingga kita selalu merasa mau menegur diri. Hal ini bersangkut paut dengan fungsi hati nurani yang diberikan hanya kepada manusia saja.
3. Pesha
Pesha berarti semacam pelanggaran. Pelanggaran berarti ada suatu batas yang sudah ditetapkan, tetapi Saudara melewatinya atau sudah ada suatu standar namun bukan saja tidak bisa mencapai tetapi juga Saudara mau melawan atau melanggar. Tahu batas dan tahu tidak baik, tapi sengaja melewati, itu disebut pesha.
Disini kita melihat dosa dinyatakan oleh Alkitab, wahyu Tuhan, begitu jelas di dalam ketiga aspek yang besar. Pertama, tidak mencapai atau menyeleweng dari standar yang ditetapkan Allah. Kedua, merupakan suatu hal yang salah atau sesuatu yang tidak seharusnya Saudara kerjakan, tapi Saudara kerjakan. Waktu Saudara sadar, Saudara tahu sudah berlaku tidak benar. Ketiga, adalah suatu pelanggaran yang sengaja dari seseorang.
II. Perjanjian Baru 1. Adikhia
Adikia berarti perbuatan yang tidak benar. Hal ini merupakan perbuatan lahiriah atau dari luar, yang dinilai merupakan sesuatu perbuatan yang tidak benar sama seperti yang dikatakan oleh hukum-hukum dunia tentang orang bersalah.
2. Hamartia
Hamartia artinya kehilangan, meleset dari target atau sasaran yang ditetapkan. Jika saya melepaskan satu anak panah menuju pada satu sasaran yang sudah jelas, yaitu lingkaran tertentu yang harus dicapai, tetapi anak panah itu jatuh satu meter sebelum sasaran, maka itu disebut hamartia. Sekali lagi saya berusaha untuk melepaskan panah, tetapi kini bukan tidak sampai, tapi terus lewat jauh dari target yang ditetapkan, itu pun disebut hamartia. Atau ketiga kalinya saya melepaskan panah, panah itu terbang menuju sasaran, namun menancap 2 cm dari sasaran, berhenti di pinggir target itu, itu tetap artinya hamartia.
Jadi disini tidak peduli kurang berapa meter, lebih berapa cm, atau meleset hanya beberapa mm, itu semua dianggap sama. Hanya mereka yang betul-betul kena dengan sasaran asli, itu yang dianggap benar. Yang lain semua dianggap hamartia.
Dari kelima istilah, 3 di PL, dan 2 di PB, kita melihat suatu gambaran yang jelas, manusia dicipta bukan untuk kebebasan yang tanpa arah, tetapi manusia dicipta dengan standar yang sudah ditetapkan. Tugas seumur hidup yang paling penting bagi Saudara ialah menemukan target yang Tuhan tetapkan bagi Saudara demi kemuliaan Allah (Efesus 2 : 10). Kalau kita sudah tepat pada target yang Tuhan tetapkan bagi kita, barulah kita menjadi satu manusia yang tidak ada pelanggaran atau tidak ada keadaan jatuh daripada standar asli, baru kita disebut orang benar, orang yang sesuai dengan kehendak Allah.
Pengertian Keadilan/Justice Dari Kacamata Alkitab
Keadilan merupakan kata yang kita dengar setiap hari. Kita menggunakan kata ini dalam hubungan antar pribadi, dalam pertemuan sosial, berkaitan dengan hukum, dan untuk menentukan penghakiman di pengadilan. Kata yang sangat umum dipakai orang ini telah cukup membingungkan para filsuf pada waktu mereka mencoba untuk mencari definisi yang tepat.
Kadang-kadang kita menghubungkan atau menyamakan keadilan dengan apa yang sepatutnya diterima. Kita berbicara tentang orang yang menerima keadilan dalam bentuk upah atau penghukuman. Tetapi upah tidak selalu berdasarkan usaha kita. Misalnya kita mengadakan kontes kecantikan dan menyatakan bahwa hadiah akan diberikan kepada orang yang paling cantik. Apabila dengan kecantikan kita dapat menerima hadiah, maka itu bukan hasil usaha seseorang untuk menjadi cantik. Tetapi, keadilan dijalankan pada waktu kontestan yang paling cantik mendapatkan hadiah. Apabila juri memberikan hadiah pada orang yang bukan paling cantik (karena alasan politik atau karena juri disuap) maka hasil dari kontes itu menjadi tidak adil.
Berdasarkan alasan di atas, Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai “memberikan kepada seseorang apa yang menjadi miliknya”. Apa itu yang menjadi miliknya atau haknya dapat ditentukan berdasarkan pada tanggung jawab etika atau berdasarkan perjanjian sebelumnya. apabila seseorang dihukum terlalu berat dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukannya, maka penghukuman itu tidaklah adil. Apabila seseorang menerima upah yang lebih kecil daripada yang sepatutnya ia terima, maka upah itu tidaklah adil.
Dalam bahasa Ibrani, kata keadilan/justice ada 2, yaitu :
1. Sedaqah, dalam hal ini berhubungan dengan righteousness.
2. Misphat, dalam hal ini berhubungan dengan judgement. Dalam bahasa Yunani, kata keadilan ada 3, yaitu :
1. Dikaiosune, dalam hal ini berhubungan dengan righteousness.
2. Krima, dalam hal ini berhubungan dengan judgement.
3. Krisis, dalam hal ini berhubungan dengan judgement.
Salah satu contohnya ada di dalam II Kor 9:9-10, yaitu kebenaranNya - justice - dikaiosune (ay 9) dan kebenaranmu - justice - dikaiosune (ay 10).
Manusia mengenal keadilan dari Allah (bersifat derivatif/turunan):
1. Justice bukan milik manusia tapi milik Allah. Man menjalankan justice yang berasal dari Allah.
2. Justice dalam alkitab dikaitkan dengan righteousness (kebenaran/pembenaran) dan judgement (penghukuman).
3. Ada 2 model justice dalam alkitab, yaitu :
a. Distributive justice
Keadilan Allah dinyatakan kepada seluruh umat manusia tanpa pengecualian. Hal ini berkaitan dengan righteousness.
b. Retributive justice
Keadilan yang akan memberikan hukuman bagi mereka yang melawan. Hal ini berkaitan dengan judgement.
Baca Kel 23:7 dan Rom 3:20.
Authority
Truth → righteousness
Power → judgment
Lalu bagaimana kaitan kemurahan (mercy) dengan keadilan ? Kemurahan dan keadilan merupakan suatu hal yang berbeda, meskipun kadang keduanya dapat dikaitakan. Kemurahan terjadi pada saat seseorang yang melakukan kesalahan diberikan hukuman yang lebih ringan dari yang seharusnya ia terima atau upah yang lebih besar dari yang seharusnya ia terima. Kemurahan bukan ketidakadilan. Ketidakadilan berada di luar kategori keadilan dan merupakan pelanggaran terhadap keadilan. Kemurahan juga merupakan hal yang di luar kategori keadilan, tetapi tidak melanggar keadilan. Kemurahan adalah bentuk baik dari non keadilan, sementara ketidakadilan adalah bentuk buruk dari non keadilan. Kemurahan bukan keadilan, dan juga bukan ketidakadilan. Lihatlah gambar di bawah ini !
KEADILAN NON-KEADILAN
Kemurahan
Ketidakadilan
Allah mengaitkan keadilanNya dengan kemurahan. AnugerahNya pada dasarnya adalah semacam kemurahan. Allah bermurah hati kepada kita pada waktu Ia tidak menghukum kita dengan penghukuman yang sepatutnya kita terima dan pada waktu Ia memberikan upah atas ketaatan kita padahal kita memang seharusnya taat kepadaNya, jadi sebenarnya kita tidak seharusnya menerima upah. Kemurahan Allah adalah hal yang didasarkan atas kebebasan kehendakNya. Dia tidak pernah diharuskan untuk bermurah hati. Dia mempunyai hak untuk memberikan anugerah berdasarkan kehendakNya. Seperti yang dikatakanNya kepada Musa: “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.” (Rom 9:15).
Orang-orang sering kali mengeluh bahwa Allah tidak memberikan anugerahNya atau menyatakan kemurahanNya secara sama rata bagi semua orang karena itu Allah dinyatakan tidak adil. Kita menganggap bahwa apabila Allah mengampuni seseorang maka itu berarti Allah berkeharusan untuk mengampuni semua orang.
Problemanya adalah apakah adil berarti sama rata ? Contoh seorang ibu mempunyai empat orang anak. Yang tertua, Amir, berusia 25 tahun, sudah lulus kuliah dan tidak bekerja karena malas. Anak kedua, Budi, masih SMA dan sedang mengalami puber. Karena sedang mengalami masa puber maka ia sering kelaparan dan ia makan 4 kali sehari. Anak ketiga adalah seorang perempuan cilik, bernama Cica dan sekolah kelas 4 SD.Anak yang paling kecil, Deni, baru berusia 6 bulan. Pada suatu hari minggu si ibu mendengar khotbah tentang keadilan Allah dari seorang pendeta, yang mengajarkan
bahwa Allah itu adil maka Ia akan mengaruniakan berkat secara sama rata kepada setiap orang yang percaya kepadaNya. Pendeta itu mengatakan bahwa Allah memberikan Abraham kekayaan, dan karena Allah adil maka ia akan memberikan kita juga kekayaan. Maka bagi yang miskin diminta berdoa kepada Tuhan agar Tuhan memberi mereka kekayaan karena Allah adil. Oleh karena khotbah itu maka ia berpikir bahwa ia harus adil pula maka ia menjalankan keadilan kepada anak-anaknya. Semua anak diberi makan sepiring nasi ukuran sedang yang sama besar dan dijatah 3 kali sehari. Si Amir, Budi, Cica, dan Deni diberi jatah yang sama. Apa akibatnya ?
Justru ibu ini tidak adil karena tidak memberi sesuai dengan kebutuhan. Bagi Deni maka jatahnya terlalu banyak. Bagi Cica cukup, tapi bagi Budi, yang sedang puber dan butuh banyak makanan untuk pertumbuhan, sangat tidak cukup. Sedangkan bagi si Amir seharusnya tidak perlu diberi jatah makan karena Alkitab berkata, “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (II Tes 3:10). Berdasarkan hal ini keadilan bukan hanya berarti tidak selalu sama rata tetapi juga bisa berarti ada yang tidak mendapatkan apa-apa. Dengan perumpamaan ini jelas bahwa Allah tidak berkeharusan untuk memberikan anugerahNya atau kemurahanNya secara sama rata.
Kita melihat sendiri di Alkitab bahwa Allah tidak memperlakukan semua orang sama rata. Dia menyatakan diriNya kepada Abraham dengan cara yang tidak dilakukanNya pada orang- orang lain pada zaman itu. Dia dengan murah hati menyatakan diri kepada Paulus dengan cara yang tidak dilakukanNya kepada Yudas Iskariot.
Paulus menerima anugerah dari Allah; Yudas Iskariot menerima keadilan. Kemurahan dan anugerah merupakan bentuk dari non keadilan, tetapi itu bukan merupakan tindakan yang tidak adil. Apabila penghukuman atas diri Yudas lebih berat dari yang seharusnya ia terima, maka ia mempunyai alasan untuk protes. Paulus menerima anugerah, tetapi ini tidak berarti Yudas pun harus menerima anugerah. Apabila anugerah sudah merupakan suatu keharusan bagi Allah dan apabila Allah bertanggung jawab untuk memberikan anugerah, maka kita tidak sedang berbicara mengenai anugerah melainkan keadilan.
Secara alkitabiah, keadilan dijelaskan berkaitan dengan kebenaran. Pada saat Allah adil, maka itu berarti Ia melakukan apa yang benar. Abraham ditanya Allah dengan suatu pertanyaan yang bersifat retoris, dimana hanya ada satu jawabannya: “Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil ?” (Kej 18:25). Sama halnya dengan pertanyaan yang diajukan oleh rasul Paulus : “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan ? Apakah Allah tidak adil ? Mustahil !” (Rom 9:14).
Status Manusia Sebelum Berdosa
Kaum Protestan mengajarkan bahwa Adam diciptakan dalam kesempurnaan relatif, yaitu suatu keadaan yang benar dan kudus. Hal ini tidak berarti bahwa ia telah mencapai kedudukan kemuliaan yang tertinggi. Kesempurnaan relatif adalah seperti seorang bayi, bayi itu sudah sempurna semua segala bagian tubuhnya, tetapi belum mencapai seluruh titik kesempurnaan. Bayi itu masih memerlukan proses untuk bertumbuh, belajar, dan pematangan kepribadian. Adam ditentukan untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi derajatnya dalam ketaatan (perjanjian kerja).
Keadaannya masih merupakan keadaan awal yang akan menuju kepada kesempurnaan yang lebih tinggi atau kemudian berhenti karena jatuh dalam dosa.
Perjanjian Kerja (Covenant of Work)
Pada waktu Adam dan Hawa diciptakan, mereka memiliki hubungan moral dengan Allah, sebagai Pencipta mereka. Mereka bertanggung jawab untuk taat kepada Dia tanpa ada upah atau
Keadilan Allah
Disadur dari buku “Kaum Pilihan Allah”, karangan R.C. Sproul, SAAT, Malang, 2000.
Apakah Allah menyelamatkan semua manusia ? Tidak ! Tidak semua manusia diselamatkan dan masuk ke dalam kerajaan surga. Memang Allah hanya berkenan untuk menyelamatkan sejumlah orang dan tidak semuanya, hal ini sama sekali tidak ada salahnya. Allah tidak berkewajiban untuk menyelamatkan semua orang. Jikalau ia memilih untuk menyelamatkan sejumlah orang saja, itu tidak berarti bahwa Allah berkewajiban untuk menyelamatkan yang lain pula.
Bantahan yang sering didengar oleh kaum Calvinis berkenaan dengan hal ini yaitu: Ini tidak “fair” ! Namun apakah yang dimaksud dengan “fair” di sini ? Jikalau “fair” yang dimaksudkan adalah sama rata, tentu saja protes tersebut sangat akurat. Allah memang tidak memperlakukan semua manusia sama rata. Hal ini merupakan hal yang paling jelas dinyatakan di dalam Alkitab. Allah menampakkan diriNya kepada Musa dan Ia tidak melakukan hal yang sama kepada Hamurabi. Allah memberikan berkatNya kepada Israel dan berkat itu tidak diberikan kepada Persia. Kristus menampakkan diriNya kepada rasul Paulus dalam perjalanannya ke Damsyik, hal itu tidak dilakukanNya kepada Pilatus. Jelas terlihat dalam sejarah bahwa Allah tidak memperlakukan semua manusia dengan cara yang sama.
Mungkin sekali apa yang dimaksudkan dengan “fair” bagi mereka yang protes tentang pandangan tersebut di atas adalah “adil”. Allah terlihat tidak adil apabila Ia hanya memilih sejumlah orang saja untuk menerima kemurahanNya, sementara yang lain tidak menerima hasil dari kemurahan Tuhan. Untuk memecahkan persoalan ini, kita harus memikirkannya dengan serius. Marilah kita berasumsi bahwa semua manusia bersalah karena dosa mereka di hadapan Allah. Berdasarkan kebersalahan manusia ini, maka Allah berdasarkan kedaulatanNya memutuskan untuk memberikan kemurahanNya kepada sejumlah orang. Apakah yang akan diterima oleh yang lain ? Mereka menerima keadilan. Orang-orang yang diselamatkan mendapatkan kemurahan Tuhan, dan yang tidak diselamatkan mendapatkan keadilan Tuhan. Jadi sebenarnya tidak seorang pun yang mendapatkan ketidakadilan.
Kemurahan bukan keadilan, dan juga bukan ketidakadilan. Lihatlah gambar di bawah ini :
KEADILAN NON-KEADILAN
KEMURAHAN
KETIDAKADILAN
Ada keadilan dan non-keadilan. Non-keadilan mencakup segala sesuatu di luar kategori keadilan. Dalam kategori non-keadilan kita mendapatkan dua sub- konsep, yakni ketidakadilan dan kemurahan. Kemurahan adalah bentuk baik dari non- keadilan, sementara ketidakadilan adalah bentuk buruk dari non -keadilan. Dalam rencana keselamatan, Allah tidak berbuat sesuatu yang buruk. Ia tidak pernah bertindak tidak adil. Sebagian orang mendapatkan keadilan sesuai dengan apa yang layak mereka terima, sementara sebagian orang mendapatkan kemurahan. Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa fakta seseorang mendapatkan kemurahan, itu tidak berarti bahwa yang lain harus mendapatkannya pula. Allah mempunyai hak untuk memberikan grasi (pengampunan).
Sebagai manusia, saya lebih suka bahwa Allah memberikan kemurahanNya secara merata kepada setiap orang, namun saya tidak boleh menuntut Allah untuk berlaku demikian. Jikalau Allah tidak berkenan untuk menyalurkan kemurahan keselamatanNya kepada semua manusia, maka saya harus menaklukkan diri di bawah kekudusan dan kebenaran keputusanNya. Allah tidak pernah mempunyai kewajiban untuk bermurah hati kepada orang-orang berdosa. Ini merupakan hal yang harus ditekankan supaya kita dapat mengerti secara keseluruhan dan benar tentang anugerah Allah.
Pertanyaan yang sebenarnya perlu diajukan adalah mengapa Allah berkenan bermurah hati kepada orang berdosa. KemurahanNya bukan merupakan suatu kewajiban, namun Allah secara sukarela memberikan kemurahanNya kepada orang-orang pilihanNya. Ia memberikan kepada Yakub dan tidak memberikannya kepada Esau. Ia memberikannya kepada Petrus dan tidak kepada Yudas. Kita harus belajar untuk memuji Allah baik atas kemurahan maupun atas keadilanNya. Allah tidak melakukan kesalahan pada waktu ia menjalankan keadilanNya. Oleh karena Ia melakukan keadilanNya sesuai dengan kebenaranNya.
Kedaulatan Allah
Dikutip dari buku Kaum Pilihan Allah, R.C. Sproul, Malang : SAAT, 1995, hal. 15-25, 32-36.
Allah bukan ciptaan, Ia adalah pribadi yang “maha” terhormat dan “maha” bebas. Kita sadar akan berbagai masalah di sekeliling hubungan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia. Kita juga harus sadar akan hubungan yang erat antara kedaulatan Allah dengan kebebasan Allah. Kebebasan dari yang berdaulat selalu lebih besar dari kebebasan orang yang ada di bawah kedaulatanNya.
Pada waktu kita berbicara tentang kedaulatan Allah, itu berarti kita sedang berbicara tentang otoritas Allah dan kuasa Allah. Sebagai Allah yang berdaulat, Allah mempunyai otoritas yang tertinggi atas langit dan bumi. Semua otoritas lain berada di bawah otoritas Allah. Otoritas lain yang berada di dalam alam semesta ini berasal dari Allah dan bergantung pada otoritas Allah. Segala bentuk otoritas yang ada terjadi oleh karena diperintahkan atau diijinkan oleh Allah.
Kata “otoritas” (authority) mengandung kata “author” (penyebab, secara hurufiah diterjemahkan “penulis”). Allah adalah penyebab dari segala sesuatu yang berada di bawah otoritasNya. Ia menciptakan alam semesta, dan Ia memiliki alam semesta. PemilikanNya itu memberikan hak-hak tertentu kepadaNya. Salah satunya adalah ia berkenan memperlakukan alam semestaNya sesuai dengan kehendakNya yang kudus.
Demikian juga dengan semua kuasa yang ada dalam alam semesta ini, semua itu berasal dari kuasa Allah. Semua kuasa yang ada di alam semesta ini berada di bawah kuasa Allah (termasuk kuasa setan) . Setan tidak berkuasa untuk melakukan apa-apa kalau kedaulatan Allah tidak memberi ijin kepada setan untuk bertindak.
Kekristenan tidak dualisme. Kita tidak percaya pada dua kuasa yang seimbang yang terbelenggu dalam pergumulan kekal untuk mencapai keutamaan. Jikalau setan sederajat dengan Allah, maka kita tidak dapat memiliki keyakinan, tidak ada harapan untuk mencapai kemenangan atas kejahatan. Kita ditakdirkan untuk berada di tengah peperangan antara dua kekuatan yang seimbang secara kekal.
Setan adalah suatu ciptaan. Ia secara pasti adalah jahat, namun kejahatannya itu tunduk kepada kedaulatan Allah, demikian juga dengan kejahatan diri kita sendiri. Otoritas Allah adalah yang tertinggi. Kuasa-Nya adalah “maha-kuasa”. Ia adalah Allah yang berdaulat penuh
Kalimat pembukaan pasal 3 dari Westminster Confession of Faith (WCF) adalah sebagai berikut :
Allah dari kekekalan, telah bertindak secara bebas dan tidak berubah untuk menentukan segala sesuatu yang terjadi berdasarkan kehendakNya yang mahabijak dan mahakudus.
Pernyataan bahwa Allah menetapkan sebelumnya segala sesuatu yang terjadi sama dengan menyatakan bahwa Allah berdaulat atas seluruh ciptaanNya. Apabila ada sesuatu yang bisa terjadi di luar kedaulatan ijinNya, maka kedaulatan Allah tidaklah mutlak. Apabila Allah menolak untuk mengijinkan sesuatu terjadi, namun sesuatu itu tetap terjadi juga, maka apa saja yang menyebabkan sesuatu itu terjadi tentu memiliki otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah. Apabila ada sebagian ciptaan yang berada di luar kedaulatan Allah, maka itu berarti Allah tidak berdaulat. Jikalau Allah tidak berdaulat, maka Allah bukanlah Allah.
Jikalau ada satu molekul yang terlepas dari kedaulatan Allah di alam semesta ini, maka kita tidak dapat mempunyai jaminan bahwa janji-janji Allah akan digenapi untuk kita. Mungkin molekul yang satu itu dapat menjadi penyebab tersia-sianya semua kebesaran dan kemuliaan rencana-rencana Allah yang telah dibuat dan dijanjikan bagi kita.
Keseluruhan pernyataan dari WCF itu berbunyi demikian : Allah dari kekekalan, telah bertindak secara bebas dan tidak berubah untuk menentukan segala sesuatu yang terjadi berdasarkan kehendakNya yang mahabijak dan mahakudus. Namun demikian itu sama sekali tidak berarti bahwa Allah adalah penyebab/pencipta dosa, dan penyebab dari kejahatan yang ada berada dalam kehendak ciptaan. Allah tidak mengambil kemerdekaan dari penyebab kedua, malahan meneguhkanNya.
Perhatikanlah bahwa WCF meneguhkan kedaulatan Allah atas segala sesuatu dan menandaskan bahwa Allah tidak berbuat kejahatan dan melanggar kebebasan manusia. Kebebasan manusia dan kejahatan ada di bawah kedaulatan Allah.
Kedaulatan Allah dan Masalah Kejahatan
Sesungguhnya pertanyaan yang paling sulit adalah : Bagaimana kejahatan itu bisa berada bersama-sama dengan Allah yang mahakudus dan mahaberdaulat. Saya takut kebanyakan orang Kristen tidak menyadari keseriusan masalah ini. Kaum Skeptik menyebut masalah ini sebagai titik kelemahan dari kekristenan.
Saya masih ingat dengan jelas untuk pertama kalinya saya menderita karena masalah sulit ini. Pada waktu itu saya masih tingkat pertama di college dan baru beberapa minggu saja menjadi orang Kristen. Tatkala saya sedang bermain tenis meja di asrama putra, tiba-tiba terlintas suatu pemikiran : Jika Allah adalah sepenuhnya kebenaran, mengapa Ia menciptakan alam semesta dimana di dalamnya ada kejahatan. Jikalau segala sesuatu berasal dari Allah, bukankah ini berarti bahwa kejahatan juga datang daripadaNya?
Sejak dahulu sampai sekarang saya menyadari bahwa kejahatan adalah satu masalah bagi kedaulatan Allah. Apakah kedatangan kejahatan ke dalam dunia bertentangan dengan kehendak Allah yang berdaulat ? Jikalau ya, maka Allah tidaklah mutlak berdaulat. Jikalau tidak, maka kita harus menyimpulkan bahwa, dalam pengertian tertentu, kejahatan termasuk yang ditetapkan sebelumnya oleh Allah.
Bertahun-tahun lamanya saya mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut dengan cara mempelajari karya-karya yang sudah dilakukan oleh para teolog dan para filsuf. Saya menemukan beberapa usaha yang bijak untuk memecahkan persoalan ini, namun saya tetap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Jalan keluar yang umum kita dengar untuk memecahkan dilema ini adalah menunjuk pada kehendak bebas manusia. Kita mendengar pernyataan sebagai berikut : “Kejahatan masuk ke dalam dunia melalui kehendak bebas manusia. Manusia adalah penyebab dari dosa bukan Allah.” Memang pernyataan tersebut cocok dengan catatan Alkitab tentang dosa asal. Kita tahu bahwa manusia diciptakan dengan kehendak bebas dan manusia dengan bebas memilih untuk berdosa. Bukan Allah yang berbuat dosa, tetapi manusia yang berbuat dosa. Bagaimana pun juga kita masih diperhadapkan pada suatu persoalan, yaitu dari mana manusia dapat memperoleh kecenderungan untuk berbuat dosa ? Jikalau ia diciptakan dengan suatu keinginan untuk berdosa, maka integritas Pencipta akan disoroti. Jikalau ia tercipta dengan tidak mempunyai keinginan untuk berdosa, lalu dari manakah datangnya keinginan untuk berdosa ?
Misteri dosa itu berhubungan erat dengan pengertian kita akan kehendak bebas, status manusia sebagai ciptaan, dan kedaulatan Allah. Sekarang kita akan membatasi pada pembahasan tentang dosa pertama manusia.
Bagaimana Adam dan Hawa dapat jatuh ke dalam dosa ? Mereka diciptakan dalam keadaan baik. Kita boleh mengatakan bahwa mereka jatuh dalam kelicikan setan. Setan telah membuat mereka ragu-ragu. Setan telah berhasil menipu mereka untuk memakan buah larangan Allah. Kita boleh menduga bahwa ular itu begitu licik sehingga secara sempurna telah berhasil menipu Adam dan Hawa.
Penjelasan seperti ini tetap tidak luput dari beberapa persoalan. Jikalau Adam dan Hawa tidak menyadari apa yang sedang mereka perbuat, jikalau mereka benar-benar semata-mata telah tertipu oleh setan, maka yang berdosa sepenuhnya adalah setan. Namun Alkitab dengan jelas
Doktrin Keselamatan - 23
menyatakan bahwa selain dari kelicikan ular yang berbicara secara langsung untuk menantang perintah Allah, Adam dan Hawa telah mendengar larangan serta peringatan Allah. Mereka mendengar perkataan setan yang kontradiksi dengan perkataan Allah. Keputusan ada di tangan mereka. Mereka tidak dapat menyalahkan tipu daya setan sebagai alasan untuk meloloskan diri dari tanggung jawab.
Meskipun setan tidak hanya menipu tetapi juga memaksa Adam dan Hawa untuk berdosa, kita tetap masih belum terlepas dari dilema kita. Apabila Adam dan Hawa mempunyai hak untuk mengatakan : “Setan yang menyebabkan kami melakukannya,” kita tetap menghadapi masalah dosa dari setan. Dari manakah asal setan ? Bagaimana ia dapat jatuh dari kebaikan ? Setiap kita membicarakan kejatuhan manusia atau kejatuhan setan, kita tetap berurusan dengan masalah ciptaan baik menjadi ciptaan jahat.
Sekali lagi, kita mendengar penjelasan “mudah” yang menyatakan bahwa kejahatan datang melalui kehendak bebas ciptaan. Kehendak bebas adalah hal yang baik. Kehendak bebas yang diberikan Allah kepada kita jangan dipakai sebagai alasan untuk menyalahkan Dia. Dalam penciptaan manusia diberi kemampuan untuk berdosa dan kemampuan untuk tidak berdosa. Ia telah memilih untuk berdosa. Pertanyaannya adalah : Mengapa ?”
Di sinilah letak persoalannya. Sebelum seseorang dapat melakukan suatu tindakan dosa ia pertama-tama harus memiliki keinginan untuk melakukan tindakan tersebut. Alkitab menyatakan kepada kita bahwa tindakan-tindakan jahat keluar dari keinginan yang jahat. Dan kehadiran dari keinginan jahat itu sendiri sudah merupakan dosa. Kita berdosa karena kita adalah orang-orang berdosa. Kita dilahirkan dengan natur dosa. Namun Adam dan Hawa tidak diciptakan sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Mereka pada awalnya tidak memiliki natur dosa. Mereka adalah ciptaan yang baik dengan suatu kehendak bebas. Tetapi mereka memilih untuk berdosa. Mengapa ? Saya tidak tahu, dan saya juga belum menemukan seorang pun yang tahu akan jawaban tersebut.
Terlepas dari persoalan yang luar biasa sulitnya ini, kita harus tetap menegaskan bahwa Allah bukanlah penyebab dari dosa. Alkitab tidak menyatakan jawaban untuk semua pertanyaan kita, namun Alkitab menyatakan sifat dan karakter Allah. Suatu hal yang mutlak tidak mungkin adalah Allah mungkin sebagai penyebab (pencipta) dosa atau pelaku dosa.
Dalam bagian ini kita sedang membicarakan tentang kedaulatan Allah. Oleh karena itu kita masih tetap harus menjawab pertanyaan : apakah hubungan antara fakta adanya dosa manusia dengan kedaulatan Allah ? Jikalau benar dalam pengertian tertentu Allah telah menetapkan sebelumnya segala sesuatu yang terjadi, maka itu berarti Allah telah menetapkan sebelumnya untuk masuknya dosa ke dalam dunia ini. Namun itu tidak berarti Allah memaksa dosa untuk terjadi atau ia telah memaksakan dosa atas ciptaanNya. Tapi semua itu berarti Allah harus berketetapan untuk mengijinkan hal itu terjadi. Jikalau Allah tidak mengijinkan itu terjadi, maka hal itu tidak akan terjadi, atau Ia tidak berdaulat.
Kita mengetahui bahwa Allah berdaulat sebab kita tahu bahwa Allah adalah Allah. Sebab itu, kita harus menyimpulkan bahwa Allah menetapkan keberadaan dosa sebelumnya. Apa lagi yang dapat kita simpulkan ? Kita harus menyimpulkan bahwa keputusan Allah untuk mengijinkan dosa masuk ke dalam dunia merupakan suatu keputusan yang baik. Namun ini tidak berarti bahwa dosa kita sebenarnya adalah suatu hal yang baik. Semua itu semata-mata hanya menyatakan bahwa perijinan Allah untuk kita berdosa (yang adalah jahat) adalah suatu hal yang baik. Allah mengijinkan kejahatan adalah baik, namun kejahatan yang Allah ijinkan terjadi itu adalah tetap jahat. Keterlibatan Allah di dalam semuanya ini adalah mutlak benar. Tetapi keterlibatan kita di dalamnya adalah jahat. Fakta bahwa Allah memutuskan untuk mengijinkan kita berdosa tidak membebaskan kita dari tanggung jawab kita atas dosa itu.
Bantahan yang sering kita dengar adalah : jikalau Allah sebelumnya telah mengetahui kita akan jatuh dalam dosa, mengapa Ia menciptakan manusia pada mulanya ? Seorang filsuf menyatakan persoalan ini sebagai berikut : “Jika Allah tahu bahwa kita kan berdosa namun tidak dapat menghentikannya, maka itu berarti Allah tidak mahakuasa dan tidak berdaulat. Apabila Ia dapat
menghentikannya, tetapi ia memilih untuk tidak menghentikannya, maka Allah bukan Allah yang kasih dan murah hati.” Dengan pendekatan ini, apa pun jawaban yang kita berikan Allah tetap berada dalam posisi yang tidak baik.
Kita harus berasumsi bahwa Allah sudah mengetahui sebelumnya bahwa manusia itu akan jatuh ke dalam dosa. Kita juga harus berasumsi bahwa Ia dapat berintervensi untuk menghentikan dosa, atau Allah dapat memilih untuk tidak menciptakan kita. Kita menerima segala kemungkinan-kemungkinan dari hipotesa di atas. Pada dasarnya, kita tahu bahwa Allah mengetahui kita akan jatuh dalam dosa dan Ia tetap saja menciptakan kita. Mengapa itu harus berarti bahwa Ia tidak kasih ? Allah juga tahu sebelumnya bahwa Ia akan melaksanakan rencana penebusan bagi ciptaanNya yang jatuh dan rencana itu akan mencakup perwujudan yang sempurna dari keadilanNya serta ekspresi yang sempurna dari kasih dan kemurahanNya. Sesungguhnya Allah, yang penuh kasih, yang mempredestinasikan keselamatan bagi umatNya, merekalah yang Alkitab sebut sebagai “pilihanNya” atau umat yang dipilih.
Umat yang tidak dipilih itulah yang jadi persoalan. Apabila sejumlah orang tidak dipilih untuk diselamatkan, ini sepertinya menunjukkan bahwa Allah tidak begitu mengasihi golongan ini. Bagi mereka nampaknya Allah lebih kasih apabila tidak mengijinkan mereka lahir ke dunia ini.
Ini adalah pokok permasalahan yang sebenarnya. Namun kita harus mengajukan pertanyaan ini : Adakah suatu alasan bagi Allah yang benar untuk harus mengasihi ciptaanNya, yang membenci Dia dan yang secara terus menerus memberontak melawan otoritas dan kekudusanNya ? Bantahan yang diajukan oleh filsuf yang telah disebut di atas mengandung pengertian bahwa Allah berhutang kasih kepada orang-orang berdosa. Asumsi yang terkandung di dalamnya adalah Allah wajib untuk murah hati kepada orang-orang berdosa. Apa yang luput dipikirkan oleh filsuf itu adalah : jikalau anugerah itu diwajibkan, berarti itu bukan lagi suatu anugerah. Esensi sebenarnya dari anugerah adalah tidak layak diterima. Allah selalu mempunyai hak untuk berbelas kasihan kepada siapa Ia berkenan untuk menyatakan belas kasihanNya. Allah mungkin dapat dikatakan berhutang keadilan kepada manusia, tetapi Ia tidak pernah berhutang kemurahan kepada manusia.
Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia
Setiap orang Kristen tidak berkeberatan untuk menyatakan bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat. Kedaulatan Allah merupakan suatu penghiburan bagi kita. Oleh karena kedaulatanNya merupakan suatu jaminan bagi kita bahwa ia mampu untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikanNya. Namun fakta kedaulatan Allah menimbulkan satu pertanyaan besar. Bagaimanakah kita menghubungkan kedaulatan Allah dengan kebebasan manusia ?
Pertanyaan tentang hubungan antara kedaulatan Allah dengan kebebasan manusia membawa kita pada suatu dilema. Pilihan pertama, kita berusaha untuk memberikan jawaban yang logis. Pilihan kedua, kita berusaha untuk melarikan diri dari pertanyaan ini.
Kebanyakan dari kita berusaha untuk melarikan diri dari pertanyaan di atas. Pelarian ini ditempuh dengan cara yang berbeda. Pada umumnya pelarian ini ditempuh dengan menyatakan bahwa kedaulatan Allah berlawanan dengan kebebasan manusia, oleh karena itu kita harus berani untuk menerimanya. Kemudian kita berusaha mencari analogi yang dapat menenangkan pikiran kita yang kacau.
Pada waktu saya masih seorang siswa di College, saya pernah mendengar dua analogi yang memberikan ketenangan sementara, yakni seperti sebuah paket teologi Rolaids:
Analogi #1 — “Kedaulatan Allah dan kebebasan manusia sama seperti dua garis sejajar yang bertemu dalam kekekalan”.
Analogi #2 — “Kedaulatan Allah dan kebebasan manusia adalah seperti tali timba di sebuah sumur. Dari permukaan nampaknya keduanya seperti terpisah, tetapi dalam kegelapan dasar sumur mereka bersatu”.
Pertolongan ini ternyata hanya bersifat sementara saja. Segera saya membutuhkan suatu dosis Rolaids yang lebih kuat. Pertanyaan ini terus menerus menganggu saja dan tidak dapat diabaikan.
Bagaimana mungkin garis sejajar dapat bertemu, baik itu dalam kekekalan atau di mana saja ? Jikalau kedua garis itu bertemu, berarti ke dua garis itu tidak selalu sejajar. Jikalau keduanya terus sejajar, maka keduanya tidak akan pernah bertemu. Semakin saya memikirkan analogi ini semakin saya menyadari bahwa analogi itu tidak memecahkan persoalan yang ada. Mengatakan bahwa kedua garis sejajar itu akan bertemu dalam kekekalan adalah pernyataan yang tidak masuk akal. Pernyataan itu merupakan kontradiksi yang sangat menyolok.
Saya tidak suka kontradiksi. Saya heran bila orang Kristen nampaknya puas dengan kedua analogi tersebut. Saya mendengar pernyataan : “Allah lebih besar dari logika !” atau “iman lebih tinggi dari pikiran”. Pernyataan ini dipakai untuk mempertahankan penggunaan kontradisksi-kontradiksi dalam teologi.
Saya tentu saja setuju bahwa Allah lebih besar dari logika dan iman lebih tinggi dari pikiran. Saya setuju dengan segenap hati dan segenap akal budi saya. Justru saya ingin menghindari Allah yang lebih kecil dari logika dan iman yang lebih rendah dari pikiran. Allah yang lebih kecil dari logika akan dihancurkan oleh logika. Iman yang lebih rendah dari pikiran adalah tidak rational dan absurd.
Saya pikir persoalan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia merupakan alasan yang telah mendorong banyak orang Kristen untuk mengklaim kontradiksi sebagai unsur yang sah dalam iman. Artinya logika tidak dapat menyatukan kedaulatan Allah dengan kebebasan manusia. Keduanya menentang keharmonisan logika. Oleh karena Alkitab mengajarkan kedua hal itu berkontradiksi, maka kita harus dengan rela menerima keduanya meskipun keduanya saling berkontradiksi.
Kiranya orang Kristen dijauhkan dari pemikiran seperti itu ! Oleh karena apabila orang Kristen menerima kontradisksi yang semacam itu, ini berarti pembunuhan terhadap intelektual dan penghujatan terhadap Roh Kudus. Roh Kudus bukanlah pembuat kekacauan. Allah tidak bercabang lidah.
Jikalau kebebasan manusia dan kedaulatan Allah sungguh -sungguh berkontradiksi, maka salah satu harus dihilangkan. Apabila tidak ada kebebasan dalam kedaulatan, dan tidak ada kedaulatan dalam kebebasan, maka ini dapat berarti Allah itu tidak berdaulat atau manusia tidak bebas.
Bersyukur kita masih memiliki alternatif, di mana kita tetap dapat mempertahankan keduanya apabila kita dapat memperlihatkan bahwa keduanya tidak berkontradiksi.
Dari sudut pandang manusia kita dapat melihat bahwa rakyat dapat menikmati kebebasan dalam derajat tertentu di bawah pemerintahan seorang raja yang berdaulat. Jadi sebenarnya bukanlah kebebasan yang menghapuskan kedaulatan, melainkan otonomi yang tidak dapat berada bersama-sama dengan kedaulatan.
Apakah yang dimaksud dengan otonomi ? Kata ini berasal dari kata depan auto dan akar kata nomos. Auto berarti “sendiri”. Automobile adalah sesuatu yang bergerak sendiri. “Automatic” melukiskan sesuatu yang bertindak dengan sendirinya.
Akar kata nomos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “hukum”. Kata otonomi berarti “hukum sendiri” (self-law). Menjadi otonom berarti membuat hukum sendiri untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, hidup berdasarkan aturan permainan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Ciptaan yang otonom tidak dapat bertanggung jawab kepada siapa pun juga. Ia tidak memiliki pemerintah, apalagi pemerintah yang berdaulat di atasnya. Oleh karena itu mutlak tidak mungkin bagi manusia untuk memiliki Allah yang berdaulat dan pada saat yang sama ia adalah ciptaan yang otonom. Kedua konsep tersebut sama sekali tidak dapat bersatu. Jikalau Allah berdaulat, maka manusia tidak mungkin memiliki otonomi. Jikalau manusia memiliki otonomi, maka Allah tidak mungkin berdaulat. Ini merupakan kontradiksi.
Seseorang tidak perlu memiliki otonomi untuk dapat bebas. Otonomi mempunyai pengertian kebebasan yang mutlak. Kita bebas, tetapi kebebasan kita terbatas. Batas kita adalah kedaulatan Allah.
Pada suatu kali saya pernah membaca suatu pernyataan seorang Kristen, bahwa kedaulatan Allah tidak pernah dapat membatasi kebebasan manusia. Bayangkan seorang pemikir Kristen dapat
mengeluarkan pernyataan seperti itu. Ini semata-mata pernyataan seorang humanis yang tulen. Apakah hukum Allah membatasi kebebasan manusia ? Apakah Allah membatasi apa yang dapat saya pilih ? Allah tidak hanya berhak memberikan batasan moral pada kebebasanku, melainkan Ia juga berhak untuk kapan saja mencabut nyawa saya, apabila itu dirasa perlu demi untuk menghalangi saya melakukan hal yang jahat. Jikalau Allah tidak mempunyai hak untuk melaksanakan kehendakNya, maka Ia tidak mempunyai hak untuk memerintah ciptaanNya.
Sebaiknya kita membalikkan pernyataan di atas menjadi : Kebebasan manusia tidak pernah dapat membatasi kedaulatan Allah. Itulah yang diartikan dengan kedaulatan. Jikalau kedaulatan Allah dibatasi oleh kebebasan manusia, maka bukan Allah yang berdaulat melainkan manusia.
Allah bebas. Saya bebas. Namun Allah lebih bebas dari saya. Jikalau kebebasan saya berbenturan dengan kebebasan Allah, maka saya yang kalah. KebebasanNya membatasi kebebasan saya, dan kebebasan saya tidak membatasi kebebasanNya. Ada sebuah analogi keluarga. Saya mempunyai kehendak bebas. Anak -anakku juga mempunyai kehendak bebas. Tatkala terjadi bentrokan antara kehendak bebas kami, maka saya mempunyai otoritas untuk menguasai kehendak bebas mereka. Kehendak bebas mereka harus berada di bawah kehendak bebas saya, dan kehendak bebas saya tidak berada di bawah kehendak bebas mereka. Tentu saja analogi pada level manusia ini tidak bisa dibicarakan sebagai sesuatu yang mutlak.
Lima Pokok Calvinisme
Edwin H. Palmer
Palmer adalah seorang Executive Secretary Alkitab New International Version dan General Editor dari NIV Study Bible, versi Alkitab yang paling populer dan banyak dipakai gereja berbahasa Inggris. Palmer juga pernah melayani sebagai pendeta Gereja Kristen Reformed di Spring Lake, Ann Arbor dan Grand Rapids. Ia juga menjadi dosen di Westminster Seminary dan penulis buku “The Person and Ministry of The Holy Spirit.”
Pengantar
Sebenarnya Calvinisme tidak hanya sebatas 5 point, dan bukan Calvin yang menjadi pencetus dari 5 point ini. Namun inti dasar yang menjadi ciri ajaran Calvinisme dikenal sebagai 5 point yang disebut T-U-L-I-P, akronim dari
1. Total depravity,
2. Unconditional election,
3. Limited atonement,
4. Irresistible grace, dan
5. Perseverance of the saints.
TOTAL DEPRAVITY
(KERUSAKAN TOTAL)
Karena banyak kesalah mengertian terhadap total depravity ini maka perlu dijelaskan :
I. Yang bukan total depravity :
A. Total Depravity bukan kerusakan yang mutlak (absolute depravity).
Kadang-kadang kata depravity digabung dengan kata total memberikan kesan bahwa manusia itu sedemikian buruknya, dan menjadi jahat sejahat mungkin, seperti
iblis. Tetapi sebenarya total depravity bukanlah absolute depravity. Absolute depravity
berarti seorang mengekspresikan kerusakannya setiap saat pada tingkat kerusakan tertentu. Tidak hanya dalam seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan berdosa, melainkan terjahat yang mungkin ia lakukan. Total depravity tidak berarti seorang
berbuat jahat secara intensif, tetapi berbuat jahat secara ekstensif. Ini bukanlah berarti
bahwa seseorang tidak dapat melakukan kejahatan yang lebih jahat, tetapi lebih dimaksudkan bahwa tidak ada satu pun hal yang baik yang dapat dilakukannya.
Kejahatan telah merembes di setiap bagian dari jiwa dan semua lingkup kehidupannya. Manusia tidak mampu untuk melakukan satu hal yang disebut baik. Misalnya : Ketika anak-anak berbohong, sering dia berbohong hal yang kecil. Dan kebohongan demikian dapat berakibat lebih buruk. Tetapi tetap hal ini salah. Tidak ada kebaikan dalam kebohongan mereka. Namun mereka tidak demikian jahat sekali nampaknya. Hitler dikatakan seekor binatang yang ganas, namun ia membiarkan beberapa desa Perancis atas permohonan seorang imam. Raja Saul dalam pemerintahannya yang mula-mula tidaklah bertindak sejahat pada akhir masa pemerintahannya.
Dosa-dosa manusia tidaklah sejahat ia dapat berbuat jahat, dan tidaklah seluas ia dapat berbuat jahat. Seseorang tidak melakukan semua dosa yang mungkin ia dapat lakukan. Kita semua melanggar perintah Allah dalam pikiran, tetapi tidak semua kita melanggar dalam perbuatan. Setiap orang memiliki kebencian, tetapi tidak setiap orang membunuh. Setiap orang memiliki nafsu birahi tetapi tidak setiap orang melakukan perzinahan. Alasan mengapa ada pembatasan terhadap dosa ini adalah bahwa Allah melalui anugerah umumnya (common grace) menahan kejahatan yang akan dilakukan orang itu (Kej 20, II Tes 2:7).
B. Bukanlah berarti sama sekali tidak ada kebaikan yang relatif.
Orang yang belum dilahirkan kembali bukan saja tidak melakukan dosa sejahat mungkin dan tidak melakukan segala macam dosa, tetapi mereka mampu melakukan sejumlah perbuatan-perbuatan yang baik.
Menurut Heidelberg Catechism ada tiga elemen di dalam pekerjaan baik yang sesungguhnya, yakni : perbuatan yang lahir dari iman yang benar, sesuai dengan hukum Allah, dan mempunyai motivasi yang memuliakan Allah Tritunggal. Sedangkan pekerjaan baik yang relatif secara bentuk luar tampak benar tetapi tidak dilakukan dari iman yang benar dan bertujuan untuk memuliakan Allah. Jadi meskipun orang non Kristen itu total depravity, namun bisa melakukan pekerjaan baik yang relatif. Misalnya, seorang pencuri mencuri sepuluh juta rupiah dari suatu bank, tetapi memberikan sumbangan dua juta rupiah untuk palang merah agar mendapat pujian. Albert Schweitzer, seorang yang menyangkal kekristenan yang Alkitabiah namun membuat banyak orang Kristen orthodoks malu karena kasih dan kebajikannya. Albert Schweitzer berani meletakkan tiga karirnya yang baik dan meninggalkan kebudayaan Eropa untuk bekerja dan menderita dengan orang kulit hitam di Afrika. Tetapi pekerjaan baiknya ini hanya dalam pengertian relatif karena ia tidak percaya kepada Allah Tritunggal dan tidak mempunyai motivasi yang memuliakan Allah.
Alkitab memberikan contoh, “sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apa jasamu? Orang -orang berdosapun berbuat demikian.” (Luk 6:33) Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang berdosa pun melakukan hal yang baik, tetapi di sini tentulah kebaikan yang relatif. Orang berdosa yang tidak mengenal Tuhan Yesus Kristus dan tidak memiliki Perjanjian Lama tetapi melakukan apa yang secara lahiriah sesuatu dengan hukum Allah, melakukan hal yang baik juga dalam pengertian relatif (Rm 2:14).
Jadi total depravity bukanlah berarti setiap manusia adalah sama seperti Iblis. Karena secara kenyataan manusia tidak melakukan semua dosa yang mungkin ia lakukan; dan tidak selalu melakukan dosa sejahat yang mungkin ia bisa lakukan. Tetapi manusia juga bisa melakukan sejumlah kebaikan yang relatif. Kita patut mengucapkan syukur kepada Allah, yang memberikan anugerah umumNya, sehingga bukan saja kejahatan dari orang berdosa dapat dibatasi, tetapi juga mereka dimampukan untuk melakukan kebaikan yang relatif.
II. Yang dimaksud dengan total depravity
A. Secara positif : Manusia hanya dan selalu berdosa.
Meskipun orang berdosa dapat melakukan kebaikan yang realtif, tetapi sesungguhnya itu bukanlah kebaikan yang sesungguhnya di hadapan Allah. Kenyatannya, kebaikan yang relatif itu dalam pengertian yang lebih mendalam, tidak lain dan tidak bukan adalah termasuk dosa dan jahat.
Total depravity berarti bahwa manusia alamiah tidak pernah dapat melakukan kebaikan apapun yang sungguh-sungguh menyenangkan Allah, dan kenyataan selalu melakukan yang jahat setiap waktu. Alkitab menyaksikan hal ini secara jelas. Dalam Kej 6:5, “bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata.” Segala kecenderungan manusia itu sudah berdosa dan itu terjadi setiap waktu. Kej 8:21 menambahkan bahwa sejak kecil orang sudah berbuat dosa. Bahkan Pemazmur mengatakan sejak dalam kandungan ibu manusia sudah berdosa (Mzm 51:7). Yang dimaksud Pemazmur di sini bukanlah hubungan seksual itu jahat, tetapi bahwa sejak masa di kandungan dan kelahiran, manusia itu telah tercemar oleh dosa karena kejatuhan dari Adam. Paulus mengatakan dalam Rm 3:10-18 “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak, tidak ada yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah, semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. ... rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.”
Jadi total depravity ini lebih bersifat ekstensif daripada intensif. Manusia berdosa dalam segala sesuatu yang ia lakukan. Ia tidak dapat mengerjakan satu pekerjaan pun yang menyenangkan Allah.
B. Secara negatif : Ketidakmampuan total (total inability)
Cara lain untuk mendeskripsikan total depravity adalah menyebutnya dengan total inability. Banyak orang lebih suka menggunakan istilah ini, karena istilah total depravity membuat orang berpikir bahwa manusia itu seburuk ia dapat menjadi buruk. Tetapi istilah total inability lebih bersifat negatif, hanya menunjukkan kekurangan manusia daripada suatu karakteristik positifnya. Tetapi istilah ini sangat berguna untuk membawa manusia melihat fakta dari ketidakmampuannya untuk melakukan, mengerti, atau bahkan menginginkan sesuatu yang baik.
1. Manusia tidak dapat melakukan kebaikan.
Belgic Confession mengatakan manusia alamiah tidak dapat melakukan kebaikan yang sesungguhnya. Canons of Dort mengatakan semua manusia tidak dapat melakukan kebaikan yang menyelamatkan.
Tuhan Yesus pernah menanyakan, “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri ?” (Mat 7:16). Ia sendiri menjawab, “Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik.” (Mat 7:18). Dengan perkataan lain orang yang belum dilahirkan kembali tidak dapat melakukan perbuatan baik yang sesungguhnya. Tuhan Yesus juga pernah mengatakan, “diluar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).
Paulus juga pernah mengatakan hal yang serupa, “Tidak ada seorangpun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata, “Terkutuklah Yesus !” dan tidak ada
Doktrin Keselamatan - 30
seorangpun, yang dapat mengaku : “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus. Paulus juga menyatakan ketidakmampuan orang non-Kristen untuk melakukan kebaikan, “Sebab keinginan daging (non-Kristen) adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya. Mereka yang hidup dalam daging tidak mungkin berkenan bagi Allah” (Rm 8:7-8). Jadi di sini orang non-Kristen adalah musuh Allah, ia tidak menaati hukum Allah, dan mustahil baginya untuk melakukan kebaikan dan menyenangkan Allah.
2. Manusia tidak dapat mengerti kebaikan.
Bukan saja manusia tidak dapat melakukan kebaikan, tetapi dirinya juga tidak dapat mengerti kebaikan. Misalnya, Lidia mendengar Paulus mengkhotbahkan Kristus di tepi sungai di Filipi. Hanya setelah Allah membuka hatinya ia dapat memberikan perhatian kepada apa yang Paulus katakan (Kis 16:14). Sebelum itu pengertiannya gelap (Ef 4:18), ada selubung yang menutupi hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran (II Kor 3:12-18). Hanya ketika Allah bekerja dalam hatinya, ia dapat memberikan tanggapan terhadap khotbah Paulus.
Selama pelayanan Tuhan Yesus, orang Yahudi menolak Dia, (Bnd. Yoh 1:11). Permasalahannya bukanlah presentasi dari kebenaran itu. Kebenaran itu ada di dalam Tuhan Yesus. Terang bersinar dalam kegelapan, tetapi kegelapan tidak dapat memahaminya. Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat dan berkotbah kepada orang Yahudi, tetapi mereka menghujat Dia. Mereka tidak dapat mengerti perkataan Tuhan Yesus (Yoh 8:43; Mat 13:14). Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa beberapa teolog dan mahasiswa Alkitab dapat memberikan banyak waktu mereka untuk mempelajari Alkitab, tetapi tetap menolak Yesus Kristus sebagai Allah, Tuhan, dan Juruselamat mereka. Sebab dari penolakan ini bukanlah pada kesaksian yang jelas dari Firman Allah, tetapi pada kebutaan, kegelapan, dan kekerasan hati mereka. Jika seorang tidak dilahirkan kembali ia tidak dapat mengerti. Meskipun mereka sangat pintar mereka tidak dapat menerima kekristenan karena pikiran mereka dibutakan, dan tidak dapat mengerti hal-hal rohani kecuali Roh Kudus melahirkan mereka kembali. (I Kor 1:18, 21; 2:14).
3. Manusia tidak dapat mengingini kebaikan.
Manusia bukan saja tidak dapat melakukan, tidak dapat mengerti, tetapi yang lebih buruk lagi adalah tidak mengingini kebaikan.
Ketidakmampuan manusia untuk mengingini sesuatu yang baik dinyatakan oleh Tuhan Yesus secara jelas dalam Mat 7:18; Yoh 3:3; 8:43; 15:4-5). Selain itu Ia juga mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku” (Yoh 6:44); “Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.” (Yoh 6:65).
Ini menunjukkan manusia tidak dapat memilih Tuhan Yesus. Bahkan langkah pertama untuk datang kepada Tuhan Yesus pun tidak mungkin kalau tidak ditarik oleh Bapa. Ketidakmampuan ini bersifat universal, karena dikatakan “tidak ada seorangpun” bukan “beberapa orang”.
Misalnya, Perjanjian Lama menggambarkan orang yang tidak percaya itu memiliki hati yang keras, hati batu, yang tidak mempunyai kehidupan, dan tidak dapat melakukan apa-apa (Yeh 11:19). Tetapi orang yang dilahirkan kembali akan diberikan roh yang baru dan hati yang baru, yang memampukan mereka untuk menaati Allah.
Tuhan Yesus menggunakan analogi kelahiran (Yoh 3:3). Seorang bayi tidak pernah ingin atau menetapkan dilahirkan. Dalam seluruh proses dari konsepsi sampai
lahir, ia total pasif. Demikian juga orang yang tidak percaya juga bersifat pasif di dalam kelahiran kembali mereka. Paulus menggunakan ilustrasi penciptaan (II Kor 5:17; Gal 6:15). Ketidakberadaan tidak pernah menghasilkan dirinya sendiri. Obyek yang akan diciptakan bersifat pasif dan tidak mampu secara total. Demikian juga setiap orang secara total tidak mampu membuat mereka menjadi ciptaan baru di dalam Kristus.
Paulus juga menggunakan ilustrasi kebangkitan. Paulus menuliskan bahwa orang berdosa itu mati, tetapi Allah membangkitkan bersama Kristus (Ef 2:1,5 bnd. Kol 2:13). Di sini jelas mengatakan manusia itu mati bukan sakit, sehingga mampu meminta pertolongan dari Tuhan untuk keselamatan mereka. Kalau sakit berarti manusia masih mempunyai kekuatan untuk percaya atau tidak percaya. Tetapi Alkitab dengan jelas mengatakan manusia berdosa itu mati, sehingga ia tidak dapat mempunyai keinginan untuk minta tolong. Ketika Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus, orang mati ini tidak dapat datang kepadaNya dan meminta pertolongan. Tetapi Tuhan Yesus membangkitkan dia, kemudian baru ia dapat berespon.
Dengan demikian pengajaran total depravity ini menjelaskan tidak ada usaha manusia, agar ia dapat diselamatkan. Tetapi semata-mata hanya pekerjaan Allah. Sehingga segala kemuliaan hanya bagi Allah, tidak ada sedikitpun untuk manusia.
Kesimpulan
Ada tiga hal yang dapat ditarik dari pengajaran Alkitab tentang total depravity manusia :
1. Total depravity menjelaskan masalah-masalah yang ada dalam dunia kita, tidak mungkin terselesaikan secara mendasar sampai manusia dilahirkan kembali dan berpaling kepada Yesus Kristus. Karena Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak mempunyai kehidupan rohaniah, sehingga tidak mungkin baik (Rm 3:12-18). Orang berdosa bahkan akan bertambah lebih buruk, bukan lebih baik. Tetapi bukan berati pertobatan seluruh dunia akan menyelesaikan segala perkara. Karena orang Kristen yang telah dilahirkan kembali juga masih bisa berdosa, meskipun mereka secara mendasar telah diubah. Dunia perlu lebih dari sekedar pertobatan. Dunia memerlukan orang-orang Kristen yang menjalankan prinsip-prinsip Kristen dalam bidang politik, pekerjaan, ekonomi, dan masyarakat secara umum.
Pengajaran total depravity ini mengingatkan orang Kristen seharusnya tidak terkejut melihat kejahatan di dalam dunia pada masa kini; dan seharusnya menunjukkan kepada kita perlunya Injil untuk menyelesaikan masalah ini.
2. Total depravity mengajarkan bahwa jika Allah tidak menolong kita, kita adalah sama sekali jahat dan dalam status yang akan dibinasakan. Dengan kesadaran ini kita akan ke butir yang ketiga.
3. Total depravity mengajarkan setiap orang bahwa jika ia mempunyai keinginan untuk meminta agar Allah menolongnya, ini hanya dikarenakan Allah yang telah bekerja di dalam dia baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya. Orang yang mengalami ini akan berkata betapa baiknya Tuhan. Ia bukan saja memberikan Kristus untuk menanggung hukuman saya, tetapi juga menjadikan saya percaya dan mengasihi Tuhan Yesus. Terima kasih Tuhan untuk jiwa yang Dikau selamatkan.
UNCONDITIONAL ELECTION
(PEMILIHAN TAK BERSYARAT)
Istilah Predestinasi dan pemilihan Allah yang tak bersyarat merupakan istilah yang tidak menyenangkan bagi sebagian orang Kristen. Mendengar istilah ini mereka membayangkan manusia berada dalam perangkap yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan. Sedangkan orang Kristen lainnya termasuk yang percaya akan doktrin ini membahasnya sebagai bahan dalam kelas teologi atau pada kelompok PA di tempat yang tersembunyi, tetapi sama sekali tidak membicarakannya di mimbar gereja.
Sikap yang demikian terjadi karena kurangnya pengetahuan terhadap doktrin pemilihan ini. Karena kalau konsep pemilihan ini sungguh-sungguh dimengerti secara alkitabiah tidak akan menakutkan lagi, bahkan akan menjadi pengajaran yang paling baik, paling hangat dan paling menggembirakan. Doktrin pemilihan ini akan membuat orang bersyukur dan memuji Allah karena kebaikanNya dalam menyelamatkan manusia yang tidak ada apa-apanya, orang berdosa yang akan binasa di neraka.
Supaya dapat mengerti pengajaran ini, maka terlebih dahulu kita harus mengerti istilah yang dipakai.
A. Penetapan (Foreordination)
Penetapan berarti rencana Allah yang berdaulat, dimana Allahlah yang memutuskan segala sesuatu terjadi di seluruh alam semesta. Di dunia ini tidak ada sesuatu yang terjadi kebetulan. Allah berada di balik segala peristiwa. Ia memutuskan dan menyebabkan segala sesuatu dan melakukannya. Ia tidak pernah terkejut dan takut terhadap apa yang akan terjadi. Ia telah menetapkan segala sesuatu “menurut keputusan kehendakNya” (Ef 1:11), bnd. Kej 45:5-8; Kis 4:27-28.
B. Predestinasi (Predestination)
Predestinasi adalah satu bagian dari Penetapan Allah. Jika Penetapan mengacu kepada rencana Allah terhadap segala sesuatu yang pernah terjadi, Predestinasi adalah bagian dari penetapan yang menunjuk kepada nasib kekal manusia: surga atau neraka. Predestinasi terdiri dari dua bagian: Pemilihan (election) dan Reprobasi (reprobation). Pemilihan berkenaan dengan mereka yang masuk ke surga, dan Reprobasi berkenaan dengan mereka yang pergi ke neraka.
C Pemilihan tak bersyarat (Unconditional election)
1. Pemilihan
Pemilihan Allah berarti Allah memilih beberapa orang untuk masuk ke surga, yang lain akan masuk neraka.
2. Tak bersyarat.
Pemilihan bersyarat adalah suatu pemilihan yang tergantung pada kondisi dari orang yang dipilih. Misalnya, pemilihan dalam bidang politik adalah pemilihan yang tergantung pada syarat yang ada pada orang itu, karakternya dan apa yang dijanjikannya.
Doktrin Keselamatan - 33
Tetapi Allah tidak pernah mendasarkan pilihanNya pada apa yang manusia pikir, katakan, lakukan atau yang lain. Memang kita tidak tahu, berdasarkan apa Allah menentukan pilihanNya, tetapi yang pasti itu bukan disebabkan apa yang ada dalam diri manusia. Jika Allah menentukan pilihanNya berdasarkan pada keberadaan manusia, apa yang dipikirkan dan dilakukannya, siapa yang dapat diselamatkan? Alkitab mengatakan, “Kita semua mati dalam dosa dan pelanggaran” (Ef 2:2). “Tidak seorang pun berbuat baik, seorang pun tidak” (Rm 3) . Jika Allah memilih kita berdasarkan atas satu kebajikan kita, maka tidak ada orang yang terpilih, tidak ada orang yang masuk surga, semua akan ke neraka, karena tidak ada seorangpun yang baik. Maka kita patut bersyukur kepada Allah atas pemilihanNya yang tak bersyarat.
Untuk lebih jelas mengerti pemilihan yang tak bersyarat ini, kita perlu membandingkannya dengan pandangan Armenianisme. Hal ini bukan untuk menyatakan kita bermusuhan dengan kelompok Armenian, karena kitapun percaya mungkin merekapun adalah orang Kristen yang telah dilahirkan kembali. Kelompok Armenian percaya akan Allah Tritunggal, percaya Yesus Kristus adalah Allah, dan percaya bahwa Kristus mati bagi dosa manusia. Mereka percaya bahwa keselamatan datang melalui iman, bukan karena perbuatan baik manusia. Jadi kita dapat memiliki persekutuan yang sesungguhnya dengan mereka, karena kita satu dalam Kristus.
Meskipun kaum Armenian merupakan orang Kristen yang tulus, namun mereka salah mengerti mengenai T-U-L-I-P. Satu-satunya alasan saya menyebut Armenianisme adalah untuk menunjukkan pengajaran Alkitab yang lebih jelas. Karena kebenaran Alkitab yang dipegang oleh Calvinisme akan lebih jelas kalau dibandingkan gagasan Armenianisme yang salah. Saya akan menjelaskan ini tanpa meninggalkan sikap yang hormat dan menghargai tetapi juga mau menghadirkan iman Kristen yang penuh sukacita yang tidak ditutupi oleh gagasan yang salah dari yang memegang pemilihan bersyarat.
Menurut kelompok Armenian, pemilihan Allah merupakan suatu pemilihan yang bersyarat. Mereka berpikir Allah mengetahui terlebih dahulu (foresees) siapa yang akan percaya kepada Kristus, dan kemudian didasarkan pada pengetahuanNya yang lebih dulu ini (foreknowledge) Allah memutuskan untuk memilih orang-orang yang percaya ke surga. Kelompok Armenian percaya bahwa pada waktunya secara alamiah, orang yang tidak dilahirkan kembali tetap memiliki cukup kebaikan pada dirinya sehingga jika Roh Kudus menolongnya dia akan mau memilih Yesus. Manusia memilih Allah, dan kemudian Allah memilih manusia. Pemilihan Allah berdasarkan pada pilihan manusia. Jadi kelompok Armenian mengajarkan pemilihan yang bersyarat, sedangkan kelompok Calvinis mengajarkan pemilihan yang tak bersyarat.
Dasar Alkitabnya
Lima butir dari Calvinisme ini saling berkait satu dengan yang lain. Orang yang menerima satu butir dari Calvinisme akan menerima butir -butir yang lain. Pemilihan yang tak bersyarat ini merupakan konsekuensi logis dari total depravity.
Jika manusia memang rusak total, dan jika beberapa di antaranya masih diselamatkan, maka jelas bahwa alasan mengapa sebagian diselamatkan dan sebagian terhilang sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Pada dasarnya manusia itu mati secara rohani (Ef 2), tidak hanya sekedar sakit. Manusia tidak memiliki kehidupan spiritual atau
kebaikan. Manusia tidak dapat melakukan apa yang baik bahkan tidak mengenal Allah dan Kristus, dan berdasarkan dirinya sendiri tidak menghendaki keselamatan yang ada di dalam Kristus. Hanya ketika Roh Kudus melahir-barukan manusia dan membuatnya hidup secara rohani, baru manusia dapat memiliki iman di dalam Kristus dan diselamatkan. Karena itu jika Kerusakan Total adalah kebenaran Alkitab, maka iman dan keselamatan diperoleh hanya ketika Roh Kudus bekerja melalui lahir baru sepenuhnya, seratus persen harus bergantung pada Allah, karena manusia ada mati secara rohani. Jadi Pemilihan tak bersyarat adalah: Pilihan Allah tidak bersandar pada apa yang ada pada manusia atau sesuatu yang dilakukan manusia.
A. Yoh 6:37,39: “Semua yang diberikan Bapa kepadaKu akan datang kepadaKu, dan barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan Kubuang.... Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikanNya kepadaKu jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman”.
Jelas, orang yang dapat datang kepada Kristus dan dibangkitkan pada akhir zaman hanyalah mereka yang diberikan Bapa kepadaNya. Hanya mereka yang diberikan kepada Kristus yang akan selamat. Jadi keselamatan sepenuhnya bergantung pada Bapa yang memberikannya kepada Kristus. Dengan kata lain ini adalah pemilihan yang tak bersyarat.
B. Yoh 15:16: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu”.
Ini merupakan ayat yang jelas bahwa Kristus yang memilih kita. Bukan kita yang memilih Kristus, seperti pendapat kelompok Armenian. Kristus memberitahukan meskipun orang Kristen dapat berpikir bahwa mereka adalah faktor penentu dalam memilih Kristus, tetapi yang benar adalah Kristus yang memilih mereka. Baru setelah Kristus memilih mereka, mereka bisa memilih Kristus. Kita sering berpikir bahwa kitalah yang mengerjakan pekerjaan baik dalam kehidupan ini, termasuk percaya kepada Kristus. Tetapi Fil 2:13 mengatakan: "Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya". Yohanes mengatakan, "Kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita" (1 Yoh 4:19).
C. Kis 13:48: “Semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya” .
Ayat ini menceritakan hasil pelayanan dari Paulus dan Barnabas di Antiokhia, yang menjelaskan Allah yang menentukan lebih dahulu, baru orang bisa menjadi percaya.
Tetapi oleh kelompok Armenian, dan diikuti oleh Unitarianisme dan Socinus, yang merasa teologi mereka terganggu oleh ayat ini memutarbalikkannya menjadi: “semua orang yang percaya, ditentukan untuk hidup yang kekal”. Memang kalimat ini bisa menguatkan teologi mereka yang mengatakan "Allah mengetahui lebih dulu siapa yang akan percaya baru kemudian Allah menentukan mereka." Tetapi sesungguhnya teks Alkitab berkata sebaliknya.
D. 2 Tes 2:13 : “Akan tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai. "
Pertama-tama, ayat ini mengatakan bahwa jemaat Tesalonika dikasihi oleh Allah. Kasih ini sesungguhnya ialah kasih yang memilih. Karena di dalam bagian mana saja di Alkitab, kata "dikasihi oleh Allah" ini tidak pernah digunakan untuk orang yang tidak percaya atau untuk dunia. Kata ini hanya digunakan untuk orang yang dikasihi Tuhan Yesus dan yang diselamatkan oleh kematianNya. Jadi ini menunjukkan kasih Allah yang kekal dan memilih.
Selanjutnya, Paulus mengatakan bahwa Allah memilih jemaat Tesalonika, yang berimplikasi: Ia tidak memilih yang lain.
Kemudian, Paulus juga menuliskan bahwa Allah memilih mereka dari mulanya, yakni sebelum dunia dijadikan, dari kekekalan (Ef 1:4).
Tetapi mungkin orang akan mengatakan, "Betul, memang Allah memilih mereka dari kekekalan dan menetapkan mereka untuk masuk surga, tetapi Ia melakukannya berdasarkan apa yang Ia ketahui lebih dulu, yakni bahwa mereka akan percaya pada Kristus."
Namun Paulus menjelaskan disini Allah memilih jemaat Tesalonika bukan karena mereka kudus atau percaya, tetapi “untuk diselamatkan”. Keselamatan hanya melalui iman; sehingga ketika Paulus mengatakan bahwa Allah memilih jemaat Tesalonika “untuk diselamatkan”, tentu saja maksudnya adalah Allah memilih untuk memberikan mereka satu-satunya alat untuk mendapatkan keselamatan itu, yaitu iman. Imanpun adalah anugerah Allah, bukan usaha manusia. Paulus menjelaskan keselamatan, pengudusan, dan iman dalam kebenaran semua merupakan satu paket yang diberikan Allah kepada jemaat Tesalonika.
E. Ef 1:4-5: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya. Dalam kasih la telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya.”
Betapa jelas Paulus mengungkapkan hal Pemilihan ini. Paulus mengatakan Allah memilih kita, bukan kita yang memilih Allah. Dan Allah memilih kita bukan karena diri kita sendiri, melainkan semata-mata karena Kristus. Barangkali beberapa orang Armenian akan mencoba memberikan alasan bahwa Allah menetapkan/menentukan beberapa orang berdasarkan atas Ia tahu lebih dulu bahwa orang itu akan percaya. Jadi keputusan itu sepenuhnya pada manusia bukan pada Allah. Tetapi Paulus dengan jelas mengatakan bahwa Allah memilih kita bukan karena kita kudus tetapi supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya. Paulus juga menambahkan bahwa penentuan itu bukan berdasarkan pada apa yang ada pada manusia, tetapi hanya berdasarkan “kerelaan kehendakNya”, yang menunjukkan kebebasan dari pemilihan Allah.
F. Rm 8:29, 30: “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya la, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggilNya. Dan mereka yang dipanggilNya, mereka juga dibenarkanNya. Dan mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakanNya.”
Jika ada ayat yang tampaknya mendukung konsep Armenian, mengenai penetapan Allah yang berdasar atas pengetahuanNya dari semula akan manusia yang mau percaya
kepadaNya, maka inilah ayatnya. “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula” dalam terjemahan bahasa Inggris, “For whom God foreknew” (Sebab semua orang yang diketahuiNya dari semula). Tetapi kata “know” dalam idiom bahasa Ibrani (yada’) maupun Yunani (ginosko), sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “mengasihi”. Jadi diterjemahkan “mengasihi lebih dulu”. Karena kata “know” dalam Kej 4:1, bukan berarti Adam mengenal tinggi pendek atau sikap temperamen Hawa. Tetapi Adam mengasihi Hawa (LAI: “bersetubuh” dengan Hawa). Ketika Daud mengatakan, “Allah mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan” (Mzm 1:6) bukan berarti Allah mengenal/mengetahui jalan orang benar tetapi tidak mengetahui jalan orang fasik. Allah mengetahui segala sesuatu dan setiap orang, termasuk orang fasik. Tetapi maksud Daud adalah Allah mengasihi jalan orang benar dan membenci jalan orang fasik, yang akan ia binasakan. Demikian juga dengan Am 3:2: “Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi”. Ayat ini bukan berarti melawan kemahatahuan Allah, tetapi ayat ini dapat dikatakan "Hanya kamu yang Kukasihi dari segala kaum di muka bumi". Demikian juga dengan Rm 8:29 ini Paulus berkata, “Sebab semua orang yang dikasihi sejak semula, mereka juga ditentukan dari semula...” Dalam Rm 8 ini Paulus menjelaskan suatu urutan keselamatan yang dimulai dari kekekalan, kasih Allah yang memilih dan dilanjutkan melalui penentuan, panggilan yang efektif, pembenaran dan akhimya kepada pemuliaan di surga. Jadi penentuan orang percaya adalah berdasarkan kasih Allah yang kekal.
G. Rm 9:6-26
Setelah menjelaskan bahwa Firman Allah tidak mungkin gagal, Rm 9:7 menjelaskan bahwa Allah sendiri memilih secara berdaulat keturunan Ishak. Kemudian Paulus juga menunjukkan pemilihan Allah yang berdaulat dalam memilih Yakub dan tidak memilih Esau. Pemilihan Allah ini bukan berdasarkan pengetahuanNya tetapi Ia memilih sebelum mereka dapat melakukan hal yang baik dan jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihan diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan tetapi berdasarkan panggilan (9:11-13). Apa pemilihan berdasarkan kedaulatan Allah ini berarti Allah tidak adil ? Paulus menjawab: “mustahil!” (9:14). Karena Allah berhak untuk berbelas kasihan kepada siapa Ia mau berbelas kasihan (9:15). Ia berhak mengasihi dan tidak mengasihi berdasarkan kedaulatan Dia. Jadi tidak bergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi bergantung kepada kemurahan hati Allah (9:16).
Satu-satunya alasan dari kelompok Armenian lebih memilih manusia menjadi faktor penentu dalam keselamatan daripada Allah adalah karena ingin menyelamatkan kehendak bebas manusia. Mereka menganggap jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka manusia tidaklah bebas dan bertanggung jawab. Maka mereka mengatakan Allah adalah maha tahu, Ia mengetahui apa yang akan dipilih oleh manusia. Tetapi ini berarti membatasi pengetahuan Allah hanya pada hal yang pasti akan terjadi, tidak ada alternatif yang lain. Juga mengatakan bahwa manusia yang menguasai dan mengontrol segala peristiwa ini. Sedangkan kelompok Calvinis mengatakan Allah yang mengontrol semuanya ini.
Apakah manusia memiliki kebebasan yang sejati ? Calvinis mengajarkan bahwa manusia itu seratus persen bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Tetapi justru
Doktrin Keselamatan - 37
kebebasan ini menjadikannya budak. Karena manusia melakukan apa yang ia mau, justru ia tidak mempunyai kehendak bebas.
Seperti orang yang menjadi pecandu alkohol tidaklah bebas. Secara teknis ia dapat memilih untuk minum atau tidak minum. Tetapi sesungguhnya hanya satu hal yang ia dapat lakukan. Kalau sudah minum ia harus terus minum dan menjadi budak dari alkohol. Demikian juga orang berdosa, ia bebas melakukan segala sesuatu yang disebut dosa tetapi tidak dapat berbuat baik. Demikian juga Allah tidak bebas, Ia hanya bebas berbuat yang baik, tidak bisa berbuat hal yang jahat.
Ada kalanya orang mengeluh bahwa predestinasi adalah doktrin yang kejam yang memaksa orang untuk melakukan apa yang tidak mau ia lakukan. Mereka berkata, jika seseorang mau percaya, mereka tidak dapat percaya kecuali Allah sudah mempredestinasikan mereka; dan jika mereka tidak mau percaya Allah akan memaksa mereka yang telah dipredestinasikan ke surga. Jadi apa gunanya percaya?
Tetapi sebenarnya setiap orang menerima apa yang mereka inginkan. Misalnya, ketika seorang non Kristen mengeluh mengenai ajaran predestinasi, sebenarnya sering merupakan suatu rasionalisasi yang munafik untuk menolak Kristus. Kita dapat menanyai setiap orang: Apa yang anda inginkan? Apakah anda minta pengampunan akan dosamu? Apakah anda mau percaya kepada Kristus sebagai juruselamatmu? Apakah anda sungguh mengasihi Allah dan ingin masuk surga? Jika anda menjawab ya, maka anda seharusnya tahu bahwa anda sudah Kristen dan sudah percaya Anda mendapatkan apa yang anda inginkan Tetapi jika anda menjawab tidak. Maka kami bertanya, “mengapa anda mengeluh? anda sudah mendapat yang anda inginkan. Anda tidak mau bertobat, tidak memerlukan Kristus, tidak ingin ke surga. Anda tepat mendapatkan apa yang anda inginkan”. Orang Kristen bergembira karena mereka bersama Allah di surga, orang yang masuk nerakapun seharusnya bergembira karena mereka tidak bersama dengan Allah.
Keuntungan-keuntungan Praktis Dari Doktrin Ini
Keselamatan tidak bergantung pada pengetahuan teologi kita, tetapi bergantung apakah sungguh-sungguh kita percaya kepada Kristus atau tidak. Karena itu baik dari kelompok Armenian maupun Calvinis yang sungguh-sungguh percaya, bertobat dari dosa mereka dan berbalik kepada Kristus akan diselamatkan dan masuk ke surga.
Tetapi jika saya seorang Armenian, saya mau untuk mengetahui secara pasti apa yang Alkitab katakan mengenai pemilihan; karena tidak dapat disangkal orang Armenian kehilangan banyak kekayaan dalam kehidupan Kristen karena pandangan mereka, misalnya:
A. Memuji Dan Bersyukur.
Kita dapat memuji dan bersyukur kepada Tuhan yang telah memilih bukan berdasarkan sesuatu yang ada pada kita. Kita tidak mungkin memilih Dia, kalau Dia tidak memilih kita terlebih dulu. Kita tidak mungkin mengasihi Dia, kalau Dia tidak terlebih dulu mengasihi kita. Kita sadar betapa baiknya Tuhan itu, sehingga hidup kita penuh dengan pengucapan syukur.
B. Jaminan Keselamatan.
Jika keselamatan kita bergantung kepada kehendak bebas kita untuk menerima Tuhan Yesus, maka jaminan keselamatan juga bergantung kepada kita sendiri. Betapa mengerikan hal ini, karena kita ini secara natur adalah rusak dan tidak mengasihi Allah. Di dalam diri kita juga masih ada manusia lama, keraguan, mudah goncang bahkan dosa. Kita hari ini bisa percaya, besok mungkin sudah tidak percaya. Kita masih sering lebih tunduk kepada hawa nafsu yang berdosa daripada kepada Kristus. Kita bisa meragukan kebenaran Alkitab.
Tetapi kelompok Calvinis tahu bahwa keselamatannya bergantung pada Allah bukan pada dirinya sendiri. Kita tahu bahwa Kristus mati untuk dosa kita, dan Allah menganugerahkan iman kepada kita. Allah yang memulai pekerjaan baik diantara kita akan meneruskannya sampai pada akhirnya (Fil 1:6). Dengan demikian kita mempunyai kepastian.
Berbeda dengan kelompok Armenian yang kehilangan sukacita dan kenikmatan keselamatan karena mereka meletakkan keyakinan iman mereka pada diri mereka sendiri bukan pada Allah.
LIMITED ATONEMENT
(PENEBUSAN YANG TERBATAS)
Untuk siapa Kristus mati ? Sesungguhnya dosa siapa yang dibayar oleh Kristus ? Siapa yang sesungguhnya diperdamaikan dengan Allah oleh Kristus ? Apakah penebusan Kristus untuk semua orang atau hanya untuk orang-orang pilihan ?
Orang Kristen yang ortodoks mempunyai dua jawaban untuk permasalahan ini. Kaum Armenian mengatakan, “Kristus mati untuk semua orang”; sedangkan kaum Calvinis mengatakan, “Kristus mati hanya untuk orang yang percaya”. Kaum Armenian mengajarkan penebusan yang universal, sedangkan Calvin penebusan yang terbatas.
Kaum Armenian berkata bahwa Kristus mati untuk seluruh dunia, termasuk bagai Esau dan Yudas. Mereka katakan, Kristus mati membayar dosa-dosa semua orang yang secara sadar menolak Yesus, termasuk mereka yang masuk neraka. Mereka membuat perbedaan natara apa yang Kristus lakukan (Ia mati untuk semua orang) dengan apa yang Kristus capai (tidak semua yang diselamatkan). Penebusan bagi kaum Armenian adalah seperti suatu karung undian yang universal : disediakan untuk semua orang, tetapi hanya beberapa orang yang mendapatnya. Allah memberikan pengampunan berdasarkan kematian kristus, tetapi orang berdosa yang terhukum itu bisa menolak pengamunan itu. Pendapat Armenian bahwa kematian Kristus untuk semua orang ini didukung dengan ayat seperti I Yoh 2:2; II Kor 5:14-15; Yoh 4:42.
Sedangkan kaum Calvinis, yang menyatakan bahwa kematian Kristus itu hanya untuk orang percaya, orang pilihan, dan hanya mereka saja yang sesungguhnya diselamatkan dan masuk surga. Menurut kaum Calvinis, penebusan Kristus itu hanya dimaksudkan untuk membayar dosa-dosa orang yang diberikan Bapa kepada-Nya (Yoh 6:37-40). Kaum Calvinis berkata bahwa jika Kristus sungguh-sungguh memikul hukuman setiap orang, maka setiap orang selamat. Tetapi kenyatannya tidak setiap orang selamat. Maka Kristus tidak mati untuk setiap orang, tetapi hanya bagi umatNya (Mat 1:21), dombaNya (Yoh 10:15 bnd. 10:26), sahabat-sahabatNya (Yoh 15:13), “jemaatNya” (Kis 20:28), dan mempelaiNya (Ef 5:25).
Kaum Calvinis memakai kata ‘terbatas’ (limited) bukanlah berarti penebusan itu terbatas dalam kuasanya yang menyelamatkan, tetapi percaya bahwa kuasa dan nilai penebusan Kristus itu tidak terbatas (unlimited). Kaum Calvinis percaya bahwa penebusan Kristus, yang tidak terbatas dalam kuasa dan nilainya itu, terbatas dalam jangkauannya (scope), bahwa Kristus bermaksud dan dengan sungguh-sungguh melakukan penghapusan dosa dari sejumlah orang yang terbatas, yaitu orang yang telah dipilih sebelum dunia dijadikan. Dengan kata lain kaum Calvinis percaya bahwa korban penebusan kristus yang tidak terbatas itu hanya terbatas untuk orang tertentu. Ini tetap merupakan penebusan yang tidak terbatas.
Jawaban Alkitab
Dalam Yoh 10:15, Kristus mengatakan bahwa Ia memberikan nyawaNya bagi domba- dombaNya, hanya untuk domba-dombaNya saja. Dan dalam Yoh 10:26, Kristus berkata kepada orang-orang Yahudi yang mengelilingi dan bertanya kepadaNya, “...kamu tidak percaya karena kamu tidak termasuk domba-dombaKu”.
Ef 5:25-27 mengatakan bahwa Kristus telah mengasihi jemaat dengan menyerahkan diriNya bagi jemaatNya. Di sini tidak dikatakan bahwa Kristus telah mengasihi dunia dan menyerahkan nyawaNya bagi dunia. Lagipula dikatakan Ia juga menguduskan dan menyucikan jemaat, yang untuk mereka Ia telah mati. Tidak dikatakan Ia menguduskan dan menyucikan dunia. Kalau pandangan Armenian benar bahwa Kristus mengasihi dunia dan memberikan diriNya bagi dunia, maka paralel hubungan istri dari suami yang disebutkan itu dengan mempelai dan Kristus hancur. Bahkan pandangan Armenian ini akan menunjukkan adanya kontradiksi dalam Alkitab. Karena pandangan ini berarti suami harus mengasihi dan memberikan dirinya untuk wanita lain, yang bukan istrinya sendiri, seperti Kristus yang tidak memberikan diriNya hanya untuk gereja saja, tetapi yang di luar gereja.
Dari kesatuan dan keharmonisan pekerjaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kita dapat melihat dasar Alkitab bagi penebusan yang terbatas ini, yakni :
A. Pemilihan Sang Bapa
Kaum Calvinis dan Armenian setuju bahwa ada kesatuan antara kasih Bapa dan kematian Anak (I Yoh 4:2).
Kaum Armenian berpendapat bahwa Allah mengasihi semua orang, maka Allah mengutus AnakNya mati bagi semua orang. Ini adalah kasih yang tidak terbatas dan universal, maka penebusan Kristus juga tidak terbatas dan universal. Tetapi Alkitab berkali-kali mengajarkan bahwa Allah hanya mengasihi orang tertentu (Am 3:2), mengasihi Yakub membenci Esau (Rm 9:13). (Lihat kembali pembahasan Unconditional Election). Karena kasih Allah itu ditujukan pada orang tertentu dan terbatas, maka kematian Kristus juga demikian, yakni untuk orang tertentu dan terbatas. Kalau begitu bagaimana dengan Yoh 3:16 ? Jawabnya, kata “dunia” dalam Yoh 3:16 ini tidaklah menunjukkan setiap orang secara individu, melainkan mengacu kepada semua suku bangsa, kaum dan bahasa, tidak hanya orang Israel saja.
Kematian Kristus adalah untuk orang-orang yang diberikan Bapa kepadaNya. Kehendak Allah secara langsung bukanlah untuk menyelamatkan setiap orang, tetapi setiap orang yang diberikan Bapa kepada Tuhan Yesus tidak ada yang hilang (Yoh 6:37-40). Sedangkan kata “kita” dalam I Yoh 4:10; Rm 5:8 itu menunjuk kepada orang yang telah diselamatkan (bnd I Yoh 2:12-13; 3:1-2; Rm 1:7; 5:1). Demikian juga Rm 8:32 menunjukkan penebusan Kristus yang terbatas untuk orang-orang pilihan Bapa yang terbatas. Jadi penebusan yang terbatas ini berdasar atas pemilihan yang tidak bersyarat.
B. Penebusan Sang Anak
Alkitab menyatakan ketika Kristus mati, (1) Ia menjadi korban penggantian bagi dosa (Ibr 9:10). (2) Ia meredakan kemarahan, yakni, memenuhi tuntutan atau merujukkan kembali, kemarahan yang adil dari Allah (Rm 3:25; Ibr 2:17; I Yoh 2:2; 4:10) . (3) Ia mendamaikan umatNya dengan Allah, yakni Ia menghilangkan permusuhan antara mereka dengan Allah (Rm 5:10; II Kor 5:20); dan (4) Ia menyelamatkan umatNya dari kutuk Hukum Taurat (Gal 3:13). Apakah Kristus sungguh-sungguh menebus Yudas dari kutuk hukum Taurat dan mendamaikan Esau dengan Bapa melalui kematianNya ? Kalau Kristus mati untuk semua orang, maka jawabannya adalah ya, tidak seorang yang
terhilang. Tetapi kalau mengatakan semua manusia selamat, ini bertentangan dengan Alkitab.
Kalau demikian bagaimana sesungguhnya penebusan itu ? Kalau penebusan itu bukan untuk menyelamatkan dan tidak menghilangkan kutukan Allah dari manusia, maka penebusan itu bisa untuk seluruh dunia, bahkan termasuk untuk mereka yang di neraka. Tetapi jika penebusan Kristus itu adalah sungguh-sungguh korban pendamaian dan menyelamatkan, di mana orang berdosa sungguh-sungguh diperdamaikan dengan Allah - jelas, ini tidak untuk setiap orang di dunia, sebab tidak setiap orang selamat.
Jadi salah satu ini harus dipilih, tidak boleh kedua-duanya, yakni :
1. Penebusan itu terbatas dalam jangkauannya tetapi tidak terbatas pada natur dan kuasanya. Ini yang dipegang oleh kaum Calvinis. Penebusan itu pasti berhasil dan mempunyai kuasa untuk menyelamatkan, sehingga orang yang telah dipilih pasti selamat.
2. Kaum Armenian, yang menyatakan bahwa korban pendamaian itu dimaksudkan untuk setiap orang (unlimited), tetapi kenyataannya tidak semua orang percaya kepada Kristus dan diselamatkan, jadi kuasa dan nilainya terbatas (limited) karena tidak mampu menyelamatkan semua orang itu.
C. Pekerjaan Roh Kudus
II Kor 5:14-15 : “Sebab kasih Kristus menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus sudah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka”. Ayat ini sekilas nampaknya mendukung teori penebusan yang universalistik, tetapi sebenarnya justru menentang teori itu. Paulus berkata, “karena Kristus sudah mati untuk semua orang, maka semua orang sudah mati”. Kata ‘maka’ menunjukkan adanya hubungan sebab akibat dalam kalimat tersebut. Kata ‘semua sudah mati’ tidak menunjukkan kematian fisik, karena kematian Kristus tidak menyebabkan kematian fisik manusia, tetapi menunjukkan kematian spiritual dari orang percaya seperti pada Roma 6. Mereka telah mati terhadap dosa melalui pekerjaan Roh Kudus dalam hati mereka. Jelas tidak semua orang mati dalam pengertian ini, sebab masih banyak orang yang hidup dalam dosa, mereka tidak mati terhadap dosa. Maka Kristus tidak mati bagi mereka. Jadi kata “semua” ini menunjukkan kepada orang percaya, bukan kepada dunia.
II Kor 5:14-15 ini bisa disimpulkan : (1) Kristus mati bagi semua orang percaya; maka (2) semua orang percaya mati secara spiritual di dalam Kristus; dan (3) mereka semua hidup secara spiritual di dalam Kristus. Kata ‘semua’ menunjuk kepada orang Kristen. Ini adalah penebusan yang terbatas.
Roh Kudus tidaklah mengaplikasikan keselamatan kepada semua orang dan tidak tinggal dalam setiap orang, tetapi hanya dalam diri orang yang dipilih oleh Bapa, ditebus oleh Anak.
Keberatan-keberatan Terhadap Penebusan Terbatas
Secara tradisional muncul keberatan-keberatan terhadap pengajaran Alkitab mengenai penebusan yang terbatas.
A. Injil Yang Diberikan Secara Bebas
Jika Bapa, Anak, dan Roh Kudus tidak bermaksud menyelamatkan semua, bagaimana orang Calvinis bisa berkata bahwa Allah sungguh-sungguh memberikan keselamatan secara bebas untuk semua termasuk mereka yang tidak ditentukan untuk diselamatkan ?
Di sini kita menghadapi suatu misteri yang mendasar. Pada satu sisi, Alkitab mengajarkan bahwa Allah bermaksud memberikan keselamatan itu pada orang tertentu. Di pihak lain, Alkitab menyatakan bahwa Allah sungguh-sungguh secara cuma-cuma memberikan keselamatan itu kepada setiap orang (Yeh 33:11; Yes 55:1; 45:22; Mat 11:28; 23:37; II Ptr 3:9; Why 22:17).
Bagaimana menyelaraskan kedua hal di atas ini ? Di sini kita kembali ke permasalahan yang fundamental tentang Allah. Jalan Allah lebih tinggi dari jalan kita, dan rancanganNya lebih tinggi dari rancangan kita. Bagi manusia tampaknya mustahil untuk menyelaraskan kedua kebenaran itu, karena tampaknya begitu bertentangan satu dengan yang lain. Namun Alkitab adalah Firman Allah yang tidak menyesatkan dan tidak dapat salah. Karena kedua kebenaran itu ada dalam Alkitab, maka keduanya harus diterima; dan manusia harus menerima fakta bahwa dirinya tidak dapat mengerti Allah dan jalanNya. Manusia harus mengakui bahwa ciptaan tidak dapat memahami rancangan Allah. Jika menemukan keduanya memang ada di dalam Alkitab, seharusnya menerima keduanya seperti yang dilakukan oleh kaum Calvinis. Manusia tidak boleh berkata bahwa ia hanya mau menerima apa yang dapat dimengerti oleh pikirannya yang terbatas itu, karena Allah jauh lebih besar dari pikiran kita dan Allah tak terpahami.
B. Bagian Alkitab Yang Universalistik
Keberatan yang lain terhadap pengajaran penebusan terbatas adalah adanya beberapa bagian Alkitab yang mengatakan bahwa Kristus pendamai untuk dosa seluruh dunia (I Yoh 2:2), Ia adalah Juruselamat dunia (Yoh 4:42), bahwa Ia mengangkut dosa dunia atau semua orang (Yoh 1:29; II Kor 5:14-15; I Tim 2:6). Jawaban terhadap keberatan ini adalah bahwa Alkitab sering menggunakan kata dunia dan semua dalam pengertian yang tertentu dan terbatas. Semua ayat ini harus ditafsirkan dalam konteksnya dan dalam terang seluruh bagian Alkitab lainnya. Misalnya, jika surat kabar memberitakan bahwa ada sebuah kapal yang tenggelam, tetapi semua selamat, jelaslah ini berarti semua orang yang ada di kapal itu selamat, bukan semua yang ada di dunia selamat.
Jadi kata ‘semua’ dan ‘dunia’ dalam Alkitab bisa berarti dua :
1. Rm 8:32 dan II Kor 5:14-15 menunjukkan ‘dunia’ atau ‘semua’ itu berarti orang percaya, semua jemaat.
2. I Yoh 2:2 menunjukkan bahwa Kristus mati bukan hanya untuk dosa orang Yahudi
tetapi juga untuk bangsa lain. Namun, hal ini bukan berarti setiap orang dari semua bangsa di dunia.
Demikian juga bagian-bagian lainnya.
Doktrin Keselamatan - 43
C. Penghalang Bagi Penginjilan
Beberapa alasan mengatakan seorang penginjil tidak dapat berkata kepada pendengarnya, “Kristus telah mati bagi kalian”, sehingga keefektifannya dalam memenangkan jiwa akan hilang.
Jawaban untuk keberatan ini adalah jika memang harus memilih, lebih baik memilih mengatakan kebenaran dan tidak memenangkan banyak orang bertobat daripada memenangkan banyak orang dengan kepalsuan. Tujuan tidak dapat menghalalkan cara. Jika Alkitab berkata bahwa Kristus mati bagi orang pilihan, maka seorang penginjil tidak boleh berperan sebagai Allah dengan berkata ia mengetahui setiap orang dari pendengarnya adalah orang pilihan, karena itu ia berkata Kristus telah mati untuk mereka. Perlu dicatat bahwa keefektifan dari penginjilan tidak bergantung pada kalimat yang tidak Alkitabiah, “Kristus mati bagi kalian”. Saudara tidak akan pernah menjumpai kalimat seperti ini dalam khotbah George Whitefield dan Charles Spurgeon, meskipun mereka adalah penginjil yang sukses. Kepada orang yang belum bertobat, cukuplah untuk berkata, “Kristus telah mati bagi dosa. Ia memberikan DiriNya kepada orang berdosa seperti Saudara dan saya. Jika Saudara ingin diselamatkan, percayalah kepadaNya. Ini tanggung jawab Saudara, dan Allah memberikan keselamatan secara cuma-cuma kepadamu melalui Tuhan Yesus. Percayalah.” Kalimat yang demikian Alkitabiah dan sangat efektif. Charles Haddon Spurgeon, pengkhotbah besar dari Baptis adalah contoh yang baik, bagaimana seorang pengkhotbah bisa efektif tanpa memperlemah pengajaran-pengajaran Alkitab dari Calvinisme.
Penebusan yang terbatas bukannya penghalang penginjilan, justru sebaliknya merupakan dorongan yang sangat besar untuk penginjilan. Karena kita percaya apa yang dikatakan Alkitab bahwa natur dari setiap orang telah rusak, namun Allah memiliki umatNya dalam setiap bangsa, suku, kaum dan bahasa (Why 5:9), dan Kristus telah menghapus dosa dari umatNya. Pemahaman ini akan sangat mendorong kita untuk memberitakan Injil, pasti akan sukses karena ada orang pilihan yang akan diselamatkan (2 Tim 2:9-10). Yang harus kita lakukan adalah setia menjalankan tugas kita, yakni memberitakan kepada orang lain tentang Kristus. Amin.
IRRESISTABLE GRACE
(ANUGERAH YANG TIDAK DAPAT DITOLAK)
Dua orang mahasiswa mengikuti pemahaman Alkitab di IVCF (di Indonesia bernama PERKANTAS). Setelah mereka mendengar khotbah tentang Yoh 14:6, yang satu percaya dan berkata, “Luar biasa”; yang lainnya tidak percaya dan berkata, “Omong kosong”. Ada dua saudara kembar yang dibesarkan dalam keluarga dan pengajaran agama yang sama. Hasilnya Yakub mengasihi Tuhan sedangkan Esau tidak.
Mengapa dua orang yang mempunyai latar belakang atau situasi yang sama tetapi berlawanan reaksinya ? Mengapa ada yang percaya namun ada juga yang menolak Kristus ? Jawaban Alkitab atas pertanyaan ini adalah Anugerah yang tidak dapat ditolak. Inilah masalah yang akan dibahas di bawah ini.
I. Apakah Anugerah Yang Tidak Dapat Ditolak Itu ?
A. Anugerah
Anugerah adalah kebaikan yang tidak bersyarat atau pemberian yang bukan karena jasa. Misalnya: Ada seorang mahasiswa yang menjadi pengacau di kelas dan bersama gang- nya ia membakar perpustakaan kampusnya, kemudian bahkan membunuh seorang rekan mahasiswa yang merupakan pemimpin dari kelompok yang melawan kelompoknya. Ia seharusnya dihukum mati. Ketika ada di penjara, ia mengeluarkan kata-kata yang membenci dan mau membalas dendam terhadap orang bekerja untuk perdamaian, keharmonisan, dan kebebasan. Tetapi badan hukum negara itu memberikannya pengampunan total bahkan memutuskan untuk memberikan US $10,000,- untuk kehidupannya setahun. Ini adalah anugerah.
Demikian juga, setiap orang yang bersalah terhadap Allah sepatutnya menerima hukuman yang lebih dahsyat dari hukuman mati. Secara natur kita membenci Allah, penuh dendam dan membenci orang lain. Dalam keadaan yang demikian, tatkala manusia berdosa belum bertobat, Allah mengasihi orang-orang tertentu, mengutus Kristus untuk mati bagi mereka, serta mengirimkan Roh Kudus untuk memampukan mereka dapat menerima pengorbanan yang telah Kristus lakukan bagi mereka. Allah menetapkan anak-anak haram secara rohani (Ibr 12:8) menjadi anak- anakNya sendiri dan akan mewariskan kepada mereka kekayaan yang berlimpah-limpah. Inilah anugerah itu. Ini terbuka untuk siapa saja yang menginginkannya. Jika seseorang menginginkannya, ia harus percaya kepada Kristus sekarang, dan memintaNya untuk menyelamatkannya dari dosa-dosanya.
B. Tidak Dapat Ditolak
Tidak dapat ditolak berarti ketika Allah telah memilih umatNya untuk diselamatkan dan ketika Ia mengirim Roh Kudus untuk mengubah mereka dari membenci Allah menjadi mengasihi Allah, tidak ada seorang pun dari umatNya itu yang dapat menolakNya. Allah adalah Allah yang tidak dapat ditolak. Ia melakukan apa-apa saja yang telah Ia tetapkan untuk dilakukan.
Janganlah salah mengerti. Tidak dapat ditolak disini bukanlah berarti bahwa Allah memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mau ia lakukan. Bukan seperti seorang yang kuat menculik anak yang berusia 3 tahun, dan anak itu tidak dapat menolak
penculikan itu. Bukan seperti yang digambarkan orang, bahwa Allah itu menyeret orang masuk surga, padahal orang itu meronta-ronta dan menendang karena tidak ingin masuk surga. Jangan pernah berpikir bahwa Allah memaksa dan melakukan kekerasan terhadap kehendak manusia.
Karena kata ini sering disalah-mengerti maka digunakan juga kata lain untuk menggantikan kata “tidak dapat ditolak” seperti “manjur/efficacious”, atau “efektif”, atau “tak kunjung padam”, atau “pasti”. Anugerah yang tidak dapat ditolak ini berarti bahwa Allah mengirim Roh Kudus untuk bekerja dalam kehidupan umat, yang telah dipilih Allah dan bagi mereka Kristus telah mati, sehingga mereka secara pasti akan percaya kepada Tuhan Yesus dan diubah dari orang jahat menjadi orang baik. Tetapi Allah selalu mengerjakan ini dengan cara yang disukai manusia. Sering kita mengatakan bahwa manusia itu selalu bebas dan berbuat apa yang ia suka buat. Ini tidaklah berarti bahwa manusia memiliki kehendak bebas karena manusia tidak mempunyai kemampuan yang sama untuk memilih yang baik dan yang jahat. Manusia sesungguhnya tidak memiliki kebebasan yang sebenarnya karena ia membenci Allah dan mencintai dosa secara bebas tanpa paksaan dari luar. Manusia tidak pernah memilih yang baik, Allah, dan Kristus, karena ia adalah budak Iblis dan hawa nafsunya sendiri yang berdosa.
Tetapi melalui irresistable grace ini, Allah melahirkannya kembali, merubah naturnya, sehingga dengan hati yang diubah itu ia bisa jijik terhadap hidupnya yang lama, menyesali dosanya, dan mengasihi Allah. Kekristenan sekarang menjadi hal yang menarik baginya. Ia secara bebas dan dengan senang hati mencari Allah.
C. Pandangan-pandangan Yang Salah
Agar memperjelas pengertian anugerah yang tidak dapat ditolak, maka pandangan Alkitab tentang hal ini dipertentangkan dengan 2 pandangan yang salah, yakni : Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme.
1. Pelagianisme
Pelagianisme adalah bidat lama. Pelagius, tokohnya hidup pada abad ke-5. Namun saat ini Pelagianisme masih ada hanya dengan nama yang berbeda. Pelagianisme merupakan antitesis (lawan) dari Calvinisme atau khususnya Agustinianisme. Agustinianisme atau Calvinisme berpendapat bahwa manusia itu rusak total dan berdasarkan dirinya sendiri, tanpa pekerjaan roh Kudus yang tidak dapat ditolak sama sekali, tidak dapat berbuat baik. Pelagianisme berpendapat bahwa manusia itu tidak rusak sama sekali baik secara total maupun hanya pada bagian-bagian tertentu tetapi manusia waktu lahir itu sepenuhnya baik dan dapat atau mempunyai kemampuan yang sama dalam memilih yang baik atau yang jahat. Sebagai faktanya, ada beberapa orang yang tidak berbuat dosa. Jadi menurut Pelagianisme, manusia berbuat baik tidak memerlukan pertolongan Roh Kudus atau anugerah yang tidak bisa ditolak itu. Sesungguhnya ini adalah ajaran kafir, dan gereja Kristen yang benar menolaknya pada the Synod of Carthage (th.418), the council of Ephesus (th.431) dan the Synod of Orange (th.529).
2. Semi-Pelagianisme
Semi-Pelagianisme atau Armenianisme merupakan posisi tengah di antara Calvinisme dan Pelagianisme. Pandangan ini tidak seperti Pelagianisme yang berpendapat bahwa manusia dapat tidak berbuat berdosa tanpa pertolongan dari Roh
Kudus. Pandangan ini juga tidak seperti Agustinianisme yang berpendapat bahwa manusia itu jahat total, tidak mampu melakukan satu kebaikan jika tanpa pekerjaan Roh Kudus yang tidak dapat ditolak itu.
Kaum Semi-Pelagian ingin kompromi. Mereka mengajarkan bahwa manusia memiliki beberapa kebaikan dan kemampuan di dalam dirinya untuk percaya kepada Kristus. Mereka berkata bahwa manusia natural tidak dapat percaya tanpa pertolongan Allah: manusia perlu dukungan dari Roh Kudus. Tetapi orang Semi-Pelagian, Katholik, dan Armenian berpendapat bahwa Allah tidak memberikan dia iman dalam suatu cara yang tidak dapat ditolak, tetapi bekerja sama. Allah melakukan bagiannya dan manusia melakukan bagiannya.
Seorang penginjil yang berpandangan ini berkata, “Ada satu tempat di dalam hidupmu yang Allah tidak pernah sentuh, yakni : kehendakmu”. Allah tidak pernah menyebabkan anda percaya. Itu tugas anda. Hanya anda yang dapat melakukannya”. Atau ada penulis yang menulis, “Kita harus menolak pandangan bahwa Allah melahirkan kembali manusia terlebih dulu sebelum manusia itu menyadari akan dosanya, menyesal, bertobat, dan percaya ... karena tidak ada seorangpun termasuk Allah yang mampu mempertobatkan kita jika kita tidak mau percaya”. Jadi menurutnya orang harus bertobat dan percaya dulu baru kemudian Allah melahirkan dia kembali.
Hal ini semua membuat kita kembali kepada pertanyaan, “Mengapa orang dengan latar belakang dan situasi yang sama, yang satu percaya kepada Kristus dan yang lain menolak Kristus ? Jawaban dasarnya ada 2, yakni : karena kehendak manusia itu sendiri atau kehendak Allah. Orang Pelagian, Semi-Pelagian atau Armenian akan berkata bahwa perbedaan itu terletak pada kehendak orang itu sendiri. Manusia adalah faktor penentu yang terakhir. Jika manusia tidak menerima Kristus, maka Allah juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Orang Calvinis berkata bahwa perbedaan ini terletak pada kehendak Allah bukan manusia. Karena manusia itu mati secara rohani, ia tidak dapat percaya, meskipun ia sudah mendengar dan membaca Firman Tuhan itu berulang kali. Jika orang percaya, itu karena Roh Kudus bekerja dengan cara yang tidak dapat ditolak, melahirkan dia kembali sehingga ia mengerti secara penuh bahwa ia orang berdosa dan perlu Allah, maka ia ingin percaya dan diselamatkan.
Jadi kedua pandangan ini sangat bertolak-belakang. Semi-Pelagian atau Armenian mengatakan bahwa manusia itu penentu, dan iman adalah pemberian manusia kepada Allah. Sebaliknya Calvinis mengatakan bahwa Allah adalah penentu, dan iman itu adalah pemberian Allah kepada manusia.
II. Dasar-dasar Alkitabnya
Kelima butir Calvinisme ini bergantung satu dengan yang lain. Karena itu marilah kita melihat bagaimana Anugerah yang tidak dapat ditolak ini bergantung pada butir lainnya.
A. Penebusan Yang Terbatas
Alkitab mengajarkan bahwa dari kekekalan Allah mengasihi umatNya yang telah ditentukan itu, dan karena itu mengirim AnakNya untuk mati bagi mereka. Kristus, AnakNya itu menganggung dan menghapus dosa mereka. Jika Kristus sungguh-sungguh
membuat mereka merdeka dari dosa, dan jika keselamatan itu hanya oleh iman, maka Allah harus mengirim Roh Kudus ke dalam hidup mereka agar mereka dapat menerima keselamatan yang telah dikerjakan untuk mereka. Roh Kudus harus bekerja dengan cara yang tidak dapat ditolak. Jika tidak, itu berarti bahwa Kristus tidak menyelamatkan atau tidak menebus atau tidak menggantikan mereka.
B. Pemilihan Yang Tidak Bersyarat
Jika benar bahwa Allah dengan tidak bersyarat memilih sebagian orang untuk diselamatkan, maka tentulah Roh Kudus bekerja di dalam orang itu dengan cara yang tidak dapat ditolak. Setiap orang karena kerusakan totalnya akan menolak Kristus. Jika Allah tidak menetapkan sebagian untuk percaya dan diselamatkan maka semua akan menolak Kristus. Tetapi karena Allah telah menetapkan maka Roh Kudus akan bekerja menggenapi apa yang telah ditetapkan Allah itu.
1. Yoh 6:37, 44 menjelaskan ada orang tertentu yang Bapa berikan kepada Tuhan Yesus, dan mereka semua pasti akan datang kepadaNya. Semua orang ini bisa datang tentulah karena pekerjaan Allah yang tidak dapat ditolak itu. Kata “menarik” dalam “Bapa menarik mereka” itu sama dengan kata “menarik” jala (Yoh 21:6, 11), Petrus “menghunus” pedangnya (Yoh 18:10), seperti orang banyak “menyeret” Paulus dan Silas (Kis 16:19). Semua obyek dari kata kerja “menarik” disini tidak dapat menolak, tidak dapat melawan. Demikian juga orang yang ditarik Bapa kepada Tuhan Yesus itu tidak menolak.
2. Yoh 10:16 menjelaskan ada domba-domba lain yang akan dituntun dan akan mendengarkan suara Tuhan Yesus. Saat itu mereka belum tetapi Roh Kudus akan bekerja dalam hidup mereka dan mereka tidak akan menolak sehingga mereka akan mejadi satu kawanan dan satu gembala.
3. Rm 8:29-30 menyatakan Allah telah mengasihi lebih dulu dan panggilan ini adalah panggilan yang berhasil (lihat penjelasan di Pemilihan Yang tidak Bersyarat). Semua urutan keselamatan (ordo salutis) dari kasih Allah yang menetapkan lebih dahulu sampai pemuliaan ini pasti terjadi. Allah tidak pernah frustasi atau gagal dengan rencanaNya. Sehingga ini bisa pasti karena Allah bekerja secra tidak dapat ditolak dalam orang yang telah dikasihi terlebih dahulu.
C. Kerusakan Total
Semua ilustrasi Alkitab tentang pandangan bahwa manusia itu rusak menunjukkan bahwa manusia itu tidak keselamatan.
kelahiran baru di bawah ini berdasarkan total dan tidak mampu secara total, dan mampu menolak maksud Allah di dalam
1. Kebangkitan
Alkitab menyatakan bahwa manusia natural itu mati dalam dosanya dan tidak memiliki kehidupan rohani. Manusia yang mati tidak dapat menolak kuasa kebangkitan Allah. Pada hari penghakiman orang tidak dapat menolak untuk dibangkitkan oleh Allah agar dihakimi. Ketika Lazarus diberikan kehidupan oleh Tuhan Yesus, Lazarus tidak dapat tetap tinggal dalam kubur. Dengan cara yang sama, ketika Allah membangkitkan orang dari kematian rohani, tidak mungkin ada orang mati itu menolak.
2. Kelahiran Baru
Jelas merupakan kebodohan, jika mengatakan ada orang yang bisa menolak untuk dikandung dan dilahirkan. Orang tidak dapat menolak untuk dilahirkan. Demikian juga kelahiran kembali (Yoh 3:8).
3. Ciptaan Baru
Tidak ada ciptaan yang dapat menolak untuk dicipta. Ketika Allah menetapkan untuk menciptakan alam semesta, tidak ada yang dapat berkata, “Saya tidak ingin dicipta”. Allah adalah Allah yang maha kuasa: Ia mengerjakan apa yang ingin Ia kerjakan. Demikian juga dalam ciptaan baru secara rohani tidak ada yang dapat menolak maksud Allah ini (II Kor 5:17; Gal 6:5; Ef 2:10).
4. Buatan
Seperti halnya boneka, telepon, radio tidak dapat menolak untuk dibuat, demikian juga kita yang adalah buatan Allah tidak dapat menolak untuk dibuat (Ef 2:10).
Dengan demikian semua ilustrasi Alkitab mengenai kelahiran kembali mengajarkan manusia natural itu rusak total dan bukan saja tidak mampu untuk berbuat baik, tetapi juga tidak mampu menolak pekerjaan Roh Kudus. Kita patut mengucap syukur kepada Allah atas anugerahNya yang tidak dapat ditolak karena tanpanya tidak ada seorang pun yang dapat diselamatkan.
Ketika seseorang menghadapi masalah, seperti kemiskinan, kekecewaan, kesepian, atau penyakit, secara natural orang itu memerlukan pertolongan dari orang lain, dan mungkin secara natural kita berpikir mereka akan berbalik kepada Allah. Tetapi manusia yang berdosa itu tidak akan berbalik kepada Allah, jika Roh Kudus tidak mengubah hatinya. Sebaliknya orang yang memiliki harta yang banyak di dunia, juga tidak akan berbalik kepada Allah karena merasa segala berkat ini datang dariNya. Orang yang berkecukupan dan sehat juga tidak akan datang kepada Allah, jika Roh Kudus tidak bekerja dalam hidup mereka.
Bahkan orang yang telah melihat mujizat juga tidak akan percaya, jika Roh Kudus tidak bekerja dalam hidup mereka (Luk 16). Atau orang yang telah mendengarkan khotbah tentang penghakiman akan menertawakan dan mencemooh pengkhotbah itu seperti pada zaman Nuh. Atau orang yang mendengar khotbah yang logis, sistematis, sangat baik dan juga melibatkan emosi, tidak akan percaya, jika Roh Kudus tidak bekerja. Sehingga kita sekali lagi patut mengucap syukur kepada Allah akan anugerahNya yang tidak dapat ditolak karena tanpa ini semua manusia akan binasa. Anugerah yang tidak dapat ditolak ini dialami Paulus, yang berusaha menangkap orang percaya dan memenjarakan mereka. Di dalam perjalanannya menuju Damaskus yang bertujuan untuk menangkap orang percaya itu, Allah masuk ke dalam kehidupannya dengan cara yang tidak dapat ditolak. Paulus ditaklukkan, ia tidak dapat berbuat apa-apa selain percaya.
Demikian juga pada abad ke-4, seorang Afrika, yang lahir dari ibu Kristen dan ayah kafir, mencoba mencari damai. Ia hidup menurut apa yang ia mau, bahkan melanggar perintah-perintah Allah. Ia mencoba agama kafir, Manicheanisme. Ia mencoba berlogika dan belajar. Tetapi semua sia-sia hingga suatu hari ia ada di sebuah taman dan mendengar suara berkata, “Ambil, baca! ambil, baca!” Ia keluar dari kebun itu dan ke rumah temannya, Alypsius, mengambil Alkitab, membukanya secara acak dan mendapatkan Rm 13:13- 14. Damai masuk ke dalam jiwa Agustinus dan ia berkata kepada sahabatnya, “Saya telah dilahirkan kembali”.
Begitulah cara Allah bekerja. Di tengah-tengah keberdosaan dan kekerasan hati kita, Ia datang dengan kuasa yang tidak dapat ditolak melahirkan kita kembali sehingga kita berbalik kepada Allah dan berdamai denganNya. Meskipun benar bahwa orang tidak dapat diselamatkan tanpa anugerah Allah yang tidak dapat ditolak, orang tidak boleh secara rasional berkata bahwa ia tidak perlu berbuat apa-apa. Ia tidak boleh beralasan bahwa karena segala sesuatu bergantung kepada Roh Kudus, ia tidak perlu percaya, atau ia hanya menunggu Roh Kudus menggerakkan dia, dan tidak ada sesuatu yang dilakukannya untuk diselamatkan. Namun seharusnya tanpa menyangkal momen anugerah Allah yang tidak dapat ditolak itu, Alkitab memberikan satu perintah kepada kita : Percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Sekarang, jika kamu percaya, maka kamu akan tahu dari bagian Alkitab lainnya bahwa ini dikarenakan Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya (Flp 2:13). Maka kita harus percaya. Allah memerintahkan kita untuk percaya. Tetapi jika percaya, bersyukurlah kepada Allah yang menyebabkan kita bisa percaya.
PERSEVERANCE OF THE SAINTS
(KETEKUNAN ORANG-ORANG KUDUS)
I. DEFINISI
A. Sekali selamat, pasti selamat
Sekali selamat, pasti selamat merupakan deskripsi ketekunan orang-orang kudus yang paling sederhana dan singkat. Sekali Saudara percaya, Saudara tidak akan pernah terhilang dan pergi ke neraka. Kristus akan selalu menjadi Juruselamat dan menjamin nasib kekal ini sehingga Saudara tidak harus khawatir lagi.
B. Ketekunan orang-orang kudus
Orang-orang kudus di sini adalah orang Kristen. Jadi ketekunan orang kudus ini menekankan bahwa orang-orang Kristen akan terus tekun percaya kepada Kristus. Mereka tidak akan berubah-ubah, suatu saat percaya suatu saat tidak percaya, tetapi terus percaya kepada Kristus sampai selamanya. Sehingga mereka pasti selamat.
C. Ketekunan Allah
Istilah "Ketekunan orang- orang kudus" bisa digantikan dengan "ketekunan Allah" karena sesungguhnya ketekunan orang-orang kudus bergantung pada ketekunan Allah. Allah di dalam kasihNya terus memelihara gerejaNya sehingga gereja bisa terus bertekun dalam kasih Allah dan mengasihi Allah. Ketekunan orang kudus dapat dibandingkan dengan providensia Allah. Allah tidak hanya menciptakan alam semesta, tetapi Ia juga memeliharanya. Jika Ia menarik pemeliharaanNya dalam satu detik, maka alam semesta itu akan segera berbalik menjadi tidak ada lagi. Kenyataan ini juga benar dalam dunia rohani. Allah tidak hanya mencipta ulang kita, tetapi Ia terus menjaga kehidupan rohani kita setiap hari. Jika Ia menarik Roh KudusNya dari kita untuk seketika waktu saja, maka kita akan kembali kepada natur yang rusak. Seperti halnya manusia bisa tetap hidup kalau ada oksigen, tetapi kalau tidak ada oksigen maka manusia akan mati. Jadi ketekunan Allah menjadi dasar dari ketekunan orang kudus.
D. Pemeliharaan orang-orang kudus
Istilah ketekunan (perseverance) orang-orang kudus ini menekankan aktivitas dari orang-orang Kristen, di mana kita melakukan sesuatu. Sedangkan istilah pemeliharaan (preservation) orang-orang kudus menekankan aktivitas Allah, di mana Ia memelihara orang-orang kudusNya. Allah menjaga dan memimpin sehingga tidak ada satupun yang akan keluar dari tanganNya.
E. Jaminan yang kekal
Ketekunan orang-orang kudus berarti jaminan yang kekal. Seseorang yang sungguh percaya kepada Kristus sebagai juruselamatnya berada aman di tanganNya dan pasti ke surga. Tidak ada seorangpun yang dapat melukainya.
Armenianisme mengajarkan sebaliknya; yakni, bahwa seorang yang telah sungguh-sungguh dilahirkan kembali, yang telah diselamatkan melalui kematian Kristus, dapat kehilangan imannya sehingga masuk ke neraka. Aliran ini juga mengajarkan bahwa
seseorang tidak bisa menentukan status akhirnya, karena sebentar ia anak Tuhan, sebentar anak iblis; sebentar rohaninya hidup, sebentar mati; sebentar selamat, sebentar terhilang.
II. DASAR ALKITAB
A. Pemilihan yang tidak bersyarat
Sekali lagi ditekankan, yakni, kelima butir Calvinisme ini tergantung satu dengan yang lain. Doktrin Ketekunan orang-orang kudus ini merupakan konsekuensi logis dari pengajaran Alkitab tentang pemilihan yang tidak bersyarat. Jika doktrin pemilihan tidak bersyarat salah, maka doktrin ketekunan orang-orang kudus ini juga salah. Sebaliknya jika doktrin pemilihan yang tidak bersyarat itu benar maka doktrin ketekunan dari orang-orang kudus ini benar harus diikuti.
Doktrin Pemilihan yang tidak bersyarat mengajarkan bahwa Allah telah memilih beberapa orang dari kekekalan untuk diselamatkan. Ia telah menetapkan dengan pasti bahwa mereka akan masuk surga dan tidak akan pernah binasa. Jika bisa ada kemungkinan seperti orang Armenian yang mengatakan mungkin hilang maka tidak ada pemilihan.
Dalam Rm.8:29-30, Paulus menjelaskan bahwa semua yang dipilih dari semula mereka ditentukan untuk masuk ke surga. Mereka yang ditentukan ini pasti dipanggil, dibenarkan dan dimuliakan. Dan dalam Rm 8:31-39, Paulus menjelaskan tidak ada oknum, kuasa, atau penghalang lainnya baik masa lalu, sekarang, maupun akan datang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Jika orang beranggapan bahwa iman itu datang dari dirinya sendiri bukan dari Allah, sedangkan manusia itu sudah berdosa maka sangat mungkin orang itu berubah dan tidak bisa pasti dalam kepercayaanNya, mungkin suatu hari ia akan menolak Kristus. Bisa suatu hari percaya tetapi mungkin besok sudah berubah. Jadi kita bisa mengerti mengapa teori Armenian mengatakan keselamatan bisa hilang, yakni karena iman itu bergantung pada manusia itu sendiri.
Tetapi ketika kita menyadari bahwa iman bukan pemberian manusia kepada Allah, melainkan Allah yang memberikan iman itu kepada manusia maka manusia tidak mungkin kehilangan imannya karena Allah yang memberi adalah Allah yang tidak berubah (Mal 3:6; Ibr 13:8). Allah bukanlah Allah yang "plin-plan" atau berubah-ubah. Allah mengetahui awal sampai akhir segala sesuatu. Ia tetap di dalam kasihNya. Ia stabil dan tidak berubah. Jika Allah memulai suatu pekerjaan, Ia akan meneruskan sampai akhirnya (Flp 1:6). Jadi ini menunjukkan ketekunan Allah. Sedangkan ketekunan orang kudus bergantung pada ketekunan Allah.
Jika kita berpikir bahwa Allah memilih kita karena kita telah melakukan kebaikan tertentu, seperti percaya kepada Kristus, maka jika iman kepercayaan kita itu, Allah juga akan berubah pikiran dan kita akan terhilang.
Tetapi ini bukan yang Allah lakukan. Ia tidak memberikan kita anugerah keselamatan karena kita akan melakukan sesuatu yang baik, seperti percaya kepada Kristus. Karena kita secara natural telah rusak total. Segala sesuatu yang ada di dalam kita tidak ada yang bisa membuat Allah mengasihi kita tetapi sebaliknya membuat Ia membenci kita. Jika Allah yang dari mulanya bahwa kita secara mutlak tidak memiliki apa-apa, maka tidak akan ada sesuatu seperti halnya dosa di dalam diri kita yang
membuat Allah tidak mengasihi kita lagi dan menghilangkan anugerah keselamatan itu. Karena penyebab kasihNya ditemukan dalam diriNya sendiri bukan di dalam kita Dengan demikian doktrin ketekunan orang-orang kudus yang alkitabiah didasarkan atas kasih Allah yang memilih dan kekal.
B. Penebusan yang terbatas
Jika penebusan terbatas itu benar dan alkitabiah, maka ketekunan orang-orang kudus dapat diterima secara natural. Pertanyaan yang penting adalah: Apa yang sesungguhnya Kristus lakukan di atas kayu salib? Apakah Dia sungguh-sungguh menghapus kesalahan umatNya atau Ia hanya melakukan secara teoritis saja? Jika benar Kristus terkutuk oleh Allah karena dosa-dosa dari umatNya, seperti dikatakan Paulus dalam Gal 3:3, jika Ia sungguh -sungguh menanggung penderitaan seperti neraka pada kayu salib, bukan hanya suatu teori, tetapi benar-benar Ia mensubstitusi semua dosa umatNya, baik yang lalu, sekarang maupun yang akan datang, maka umatNya itu tidak akan binasa dan dihukum karena dosa-dosa mereka. Kristus telah dihukum bagi mereka. Jadi mereka pasti masuk surga. Jelas ini adalah ketekunan dari orang-orang kudus.
Dalam Rm 8:32-34, Paulus memberikan alasan ini. Paulus berkata bahwa Kristus telah diserahkan karena kita semua, yakni, orang-orang pilihan. Ini adalah penebusan terbatas. Dengan alasan ini, Paulus bertanya, “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus yang telah mati?”
Dengan demikian penebusan Kristus menjadi dasar bagi ketekunan orang-orang kudus. Ini bukan dasar yang lain karena penebusan Kristus merupakan implementasi dari kasih Bapa yang memilih. Bapa ingin menyelamatkan mereka, dan Kristus menyelamatkan mereka. Jadi ada kesatuan dalam obyek yang diselamatkan, yaitu orang pilihan.
C. Hidup Kekal
Argumentasi alkitabiah yang paling penting untuk jaminan kekal ditemukan dalam kata hidup kekal atau hidup selama-lamanya (Yoh 3:16, 36; 5:24; I Yoh 5:13). Baik Tuhan Yesus maupun Yohanes berkata bahwa orang percaya memiliki hidup yang kekal. Pertama, perhatikan tense kata kerjanya, yakni memiliki. Tidak dikatakan akan memiliki dalam bentuk future, tetapi sekarang dalam bentuk present. Kedua, perhatikan kata kekal, yang berarti hidup selama-lamanya. Jadi sekali selamat, selamat selama-lamanya.
Jika teori Armenian benar, dan orang percaya yang sungguh lahir baru dapat kehilangan iman dan terhilang, dan juga berkata bahwa orang percaya memiliki hidup yang kekal. Ini salah. Karena seharusnya ia berkata bahwa ia memiliki kehidupan yang baik, atau kehidupan yang suci, atau kehidupan yang supranatural, atau kehidupan yang bahagia tetapi tidak boleh pernah ia berkata memiliki hidup yang kekal. Karena menurut Armenian ia tidak mempunyai hidup yang kekal, hanyalah kehidupan yang temporal, waktu tertentu, dan terbatas. Tuhan Yesus berkata, “pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya” (Yoh 10:28). Tetapi Armenian berkata, “Tunggu dan lihat. Mungkin ia akan ke neraka.” Tuhan Yesus berkata, “hidup kekal”. Tetapi Armenian berkata, “hidup yang temporal”. Demikian juga terhadap Yoh 6:51; 11:25, Armenian berkata, “mungkin”.
Doktrin Keselamatan - 53
Pandangan Armenian ini salah. Penggunaan kata kekal yang konstan ini seharusnya membawa sukacita bagi mereka yang sungguh-sungguh percaya. Ucapkanlah syukur kepada Allah untuk hidup kekal ini.
D. Yohanes 6:39
Kristus datang untuk melakukan kehendak Bapa. Kehendak Bapa adalah bahwa “supaya semua orang yang telah diberikanNya kepadaKu jangan ada yang hilang”. Tetapi supaya semua orang itu “Kubangkitkan pada akhir zaman” (bnd. Yoh 6:44). Kata akhir zaman menunjuk kepada akhir dan dunia ini. Pada akhir zaman nanti Kristus akan membangkitkan mereka dan membawa mereka ke surga.
E. Yohanes 10:28-29
Tuhan Yesus berkata kepada domba-dombaNya. Dan setiap bagian dari perkataanNya mengajarkan jaminan kekal secara jelas.
1. “Kehidupan kekal”
Istilah ini saja sudah cukup untuk membuktikan doktrin ketekunan dari orang-- orang kudus. Sebab jika seseorang meninggalkan imannya yang mula-mula, saat ia percaya, maka tidak ada kekekalan dalam kehidupan yang Tuhan Yesus janjikan kepadanya, hanya suatu kehidupan yang pendek. Tetapi Yesus menjanjikan hidup yang kekal, berarti ia tidak mungkin meninggalkan iman yang menyelamatkan itu.
2. “dan mereka tidak akan binasa selama-lamanya”
Orang Armenian berkata bahwa orang percaya dapat kehilangan imannya, ini berarti akan binasa. Tetapi Tuhan Yesus berkata, tidak akan binasa sampai selama-lamanya.
3. “tidak ada seorangpun yang dapat merebut mereka dari tanganKu”
Tidak ada seorangpun yang dapat menyebabkan seseorang yang diselamatkan terhilang. Iblis tidak bisa. Para guru juga tidak bisa. Teman-temanpun tidak bisa. Bahkan kita sendiripun tidak bisa keluar dari tangan Kristus. Karena ini adalah hal yang mustahil.
Tentu sekarang sudah tidak ada pertanyaan lagi tentang ajaran Yesus tentang jaminan kekal. Ketiga kalimat Kristus di atas sudah menyimpulkan. Tetapi untuk membuat keyakinan yang mutlak supaya tidak disalahmengertikan, Tuhan Yesus menambah kalimat selanjutnya.
4. “BapaKu, yang memberikan mereka kepadaKu, lebih besar daripada siapapun; dan tidak seorangpun dapat merebut mereka dari tangan Bapa”
Bapa adalah Allah yang mahakuasa. Ia lebih besar dan kuat daripada gabungan semua umat manusia dan iblis. Karena itu kesimpulannya pasti tidak ada seorangpun yang merebut domba-domba Allah itu dari tanganNya.
Betapa semua kalimat ini menyimpulkan doktrin ketekunan orang-orang kudus. Jika sekarang ada orang yang masih tidak percaya doktrin ini, maka ia buta.
F. Efesus 1:13-14
Pada waktu itu, surat-surat atau barang-barang, seperti halnya kuburan Tuhan Yesus di meterai (Mat 27:66). Meterai digunakan untuk menjamin keaslian dari artikel
itu, dan menunjukkan bahwa ia kepunyaan seseorang, dan untuk memproteksinya. Demikian juga Roh Kudus adalah meterai Allah - menunjukkan bahwa orang percaya itu milik Allah dan bahwa ia akan dijaga dari segala hal yang merugikan. Dalam Ef 1:13-14; 4:30 Paulus berkata bahwa meterai ini akan efektif sampai pada hari penyelamatan. Roh Kudus adalah jaminan bahwa orang yang percaya tidak akan binasa.
Paulus juga menggunakan ilustrasi lainnya, yakni “uang muka” dari segala warisan yang akan kita terima kelak (Ef 1 :14). Dalam bahasa Yunani kata “uang muka” biasa dipakai untuk transaksi bisnis atau perjanjian lainnya, seperti pada dunia kredit sekarang. Pembayaran pertama itu merupakan perjanjian bahwa pembayaran selanjutnya akan mengikuti. Demikian juga Roh Kudus adalah jaminan bahwa warisan sepenuhnya akan mengikuti. Jadi sekali selamat, tetap selamat.
G. I Petrus 1: 4, 5
Petrus sangat menghibur kita dalam hal kepastian yang kekal dari keselamatan kita. Ia mengatakan bahwa orang Kristen memiliki suatu warisan yang tersimpan di surga. Tetapi mungkin orang khawatir bahwa warisan ada di sana tetapi ia tidak akan pernah sampai di sana. Ia berpikir ia adalah seorang Kristen yang lemah.
Untuk menangkis ide-ide seperti itu, Petrus berkata bahwa orang Kristen dipelihara untuk keselamatan ini. Kata “dipelihara” adalah kata yang digunakan sama untuk melindungi atau memelihara sebuah kota oleh prajurit-prajurit (II Kor. 11:32). Tetapi Petrus menekankan bahwa orang Kristen bukan dijaga atau dipelihara oleh elemen-elemen manusia yang lemah seperti prajurit. Tetapi dipelihara oleh Allah sendiri. Allah adalah Allah yang mahakuasa.
Mungkin ada beberapa orang setuju dengan orang Kristen dipelihara oleh kekuatan Allah, tetapi dipelihara untuk sementara waktu saja. Petrus menolak ide ini, maka ia jelaskan dengan menambahkan bahwa Allah akan memelihara keselamatan ini sampai pada zaman akhir.
III. Beberapa penolakan-penolakan yang tradisional
A. Bukankah kita semua mengetahui ada orang yang pada waktu tertentu mengekspresikan bahwa mereka percaya kepada Kristus, pergi ke gereja, membaca Alkitab, berdoa, dan sama seperti orang Kristen asli lainnya. Kemudian terjadi sesuatu dan perlahan-lahan mereka meninggalkan iman mereka dan sampai sekarang tidak berurusan lagi dengan gereja, Kristus, atau Allah ? Bukankah kenyataan ini membuktikan bahwa doktrin ketekunan orang-orang kudus itu salah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita membaginya dalam dua bagian, yakni untuk:
1. Orang-orang Kristen
Memang benar bahwa orang Kristen bisa melakukan kebiasaan buruk yang pernah ia lakukan. Kita semua memiliki pengalaman ini dalam beberapa tingkat. Pada waktu-waktu tertentu kita kelihatan tidak dekat kepada Allah sebagaimana seharusnya. Kita menjadi dingin rohani, bisa lebih membaik atau makin menjadi-jadi. Ada orang Kristen yang melakukan hal-hal yang agak buruk, bahkan kita sulit kenali bahwa mereka adalah Kristen. Daud pernah berzinah dan membunuh. Petrus pernah menyangkal Tuhan Yesus. Ada beberapa hal yang tidak seharusnya Paulus lakukan.
Doktrin ketekunan orang-orang kudus tidak berarti bahwa orang-orang Kristen tidak bisa berdosa. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa orang Kristen bisa melakukan dosa dan dalam beberapa kasus orang itu bisa melakukan banyak perbuatan buruk yang dulu ia pernah lakukan. Tetapi jika ia sungguh sudah lahir baru, Roh Kudus yang menyebabkan dia percaya ada di dalamnya menjadi jaminan dia akan menerima warisannya secara penuh, maka ia memiliki hidup yang kekal, ia pasti selamat.
Namun Alkitab juga tidak menjanjikan bahwa kehidupan orang Kristen senantiasa lancar. Tetapi lebih seperti seorang anak yang mendaki sebuah bukit bersalju. Anak itu mungkin sering tergelincir, tetapi ia bisa mengatur diri sampai ke puncak bukit itu.
Bisa juga seperti garis kurva yang mulai dari pojok kiri bawah naik ke atas pojok kanan atas, tetapi bukan merupakan garis lurus tetapi ada turun dan naik pada garis yang ke atas itu.
Atau bisa seperti seorang Reformed Baptis yang besar, Charles Spurgeon, yang berkata bahwa seorang Kristen seperti dalam sebuah kapal yang aman, meskipun ombak menerpa kapal berkali-kali, tetapi tidak pemah menenggelamkan kapal inl
Paulus yakin seperti ini, karena kita tidak dikuasai oleh dosa lagi (Rm 6:14). Meskipun orang Kristen masih bisa jatuh tetapi dosa tidak akan pemah menguasainya secara total lagi. Meskipun orang Kristen lemah, tetapi akan ada selalu perlawanan terhadap dosa. Ini dikarenakan Roh Kudus yang telah diberikan tidak pemah diambil lagi.
Jadi, satu jawaban untuk permasalahan ini adalah memang kita bisa melihat orang-orang Kristen melakukan kebiasaannya yang buruk lagi dan jatuh, tetapi dengan anugerah Roh Kudus akan selalu kembali kepada iman yang kelihatan telah disangkalinya.
2. Orang-orang bukan Kristen
Jawaban lainnya adalah mungkin orang yang menyangkal itu sesungguhnya sama sekali bukan Kristen. Bukan setiap orang berseru “Tuhan, Tuhan” itu orang Kristen sejati. Ada yang seperti Yudas, yang dapat memberitakan Injil dan melakukan mujizat tetapi binasa (Mat 7:21-23), beberapa orang secara lahiriah menjalankan ibadah, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya (II Tim 3:5). Ada yang menyamar seperti malaikat, padahal iblis (II Kor 11:14). Tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel. Tidak setiap orang yang ada di gereja adalah anggota dari gereja yang sesungguhnya. Mungkin orang yang telah dibaptis, mengikuti perjamuan suci tetapi akan pergi ke neraka. Ini semua tidak menyangkal doktrin ketekunan dari orang- orang kudus, karena mereka bukan Kristen yang sejati. Tetapi sebaliknya orang Kristen harus berusaha sungguh-sungguh supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh (II Ptr 1:10).
B. Bukankah kepercayaan akan doktrin ketekunan orang-orang kudus ini menyebabkan beberapa orang Kristen menjadi tidak bermoral ? Bukankah mereka bisa beralasan bahwa jika mereka pasti selamat, mereka dapat berbuat “semau gue”? Bukankah berarti mereka dapat hidup berdosa, karena mereka pasti selamat?
Palmer berkata, bahwa orang yang berpikiran demikian terus menerus itu menunjukkan dia bukan orang Kristen dan kalau tidak bertobat akan masuk neraka.
Karena orang yang telah lahir baru tidak akan mempunyai sikap mau terus berdosa. Roh Kudus tidak akan membiarkan dia. Dosa juga tidak menguasainya lagi. Allah memilih orang Kristen untuk hidup kudus, bukan untuk tidak bermoral (Ef 1:4). Orang Kristen bukan hanya dibebaskan dari hukuman dosa, tetapi juga dari kuasa dosa.
Ketekunan orang-orang kudus berarti bahwa orang kudus akan terpelihara dalam iman mereka. Iman terdiri dari kesedihan karena dosa dan pertobatan dan dosa. Jika orang tidak pemah menyesal akan dosa-dosanya dan meninggalkan dosa-dosa itu, itu hanya membuktikan bahwa ia tidak pemah memiliki iman yang mula-mula, dan ia bukanlah orang yang diselamatkan.
Istilah ketekunan orang-orang kudus berarti bahwa Allah akan memelihara, melindungi, dan menjaga mereka sampai pada keselamatan yang akan dinyatakan kelak pada akhir zaman. Keselamatan ini tidak hanya berarti mereka akan selamat dari neraka tetapi mereka sekarang dapat selamat dari segala dosa yang mereka inginkan. Adalah mustahil ada situasi seperti neraka di dalam sorga.
Alkitab mengajarkan orang Kristen tidak akan tambah jahat, tetapi tambah kudus. Orang Kristen ingin bersyukur kepada Allah yang memelihara imannya, dan cara terbaik yang bisa ia lakukan adalah dengan menaati perintahNya (Yoh 14:21; Iyoh 5:3-5). Karena ketika ia menyadari betapa buruk dirinya dan secara natur ia membenci Allah, tetapi ia juga sadar bahwa iman yang dimiliki ini datang dari Allah bahkan ia sendiri menjamin dan memelihara iman ini dengan memberikan Roh Kudus tinggal dalam hidupnya, ia tidak ingin berdosa, tetapi ingin bersyukur kepada Allah yang terus memelihara imannya sampai pada akhimya. Jadi tidak mungkin ketekunan orang-orang kudus ini menjadikan orang tidak bermoral.
C Kesimpulan
Ajaran sekali selamat pasti selamat adalah satu ajaran Alkitab paling agung. Jangan biarkan orang merampas sukacita karena kita mengtahui kita pasti selamat. Betapa bahagia kita dimampukan untuk mengambil satu keputusan sekali untuk selama-lamanya mengenai nasib kekal kita. Betapa baiknya, jika kita yang dimampukan menyerahkan diri kepada Kristus, mengetahui bahwa saat itu kita selamat dan dipelihara oleh kekuatan Allah sampai keselamatan penuh itu nanti dinyatakan pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali. Pujilah Tuhan untuk segala berkatNya. Pujilah Bapa karena kasihNya yang memilih. Pujilah Anak karena kematianNya yang menebus. Pujilah Roh Kudus karena karyaNya yang tidak dapat ditolak. Pujilah Allah Tritunggal karena memelihara kita sampai pada akhimya. Haleluya! Amin.
Predestinasi
Dikutip dari buku Pengantar ke dalam Teologi Reformed, Yakub Subsabda, Jakarta : LRII, 1994, hal. 11-16.
Salah satu sumbangan Luther adalah ide tentang predestinasi. Ide tentang predestinasi mula-mula diformulasikan oleh Agustinus sebagai reaksi atas ajaran sesat dari Pelagius. Bagi Pelagius, keselamatan adalah hadiah dari Allah bagi mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan baik. Anugerah tak pernah ada di luar ikatan dengan natur manusia. Oleh sebab itu anugerah Allah tak lain daripada “menghidupkan atau mengaktif natural capacity/ kapasitas alami” yang dimiliki oleh setiap manusia.
Catatan : Ajaran Pelagius ini sangat ditentang oleh teolog-teolog Reformed pada umumnya. Teologi Reformed percaya akan total depravity/kerusakan total manusia. Bagi mereka, anugerah Allah bukan hanya merupakan tindakan Allah yang menghidupkan “natural capacity atau apa yang sudah ada dalam diri manusia.” Anugerah Allah adalah anugerah yang secara total sumbernya dari Allah yaitu dari luar diri manusia. Jadi, bukan sekedar menghidupkan atau mengaktifkan apa yang sudah ada. Bicara mengenai “anugerah keselamatan” maka tidak ada satu unsur pun dalam diri manusia yang ikut memberi andil di dalamnya.
Rupanya Pelagius mencampur-adukan antara “keselamatan ansich” (keselamatan itu sendiri) dengan “kehidupan dalam keselamatan” (proses sanctification atau penyucian Roh Kudus di mana manusia dituntut untuk terlibat secara penuh dalam pertanggung-jawaban imannya). Yang pertama 100 % adalah anugerah, dan yang kedua, meskipun juga anugerah (Filipi 2:13), menuntut inisiatif dan partisipasi manusia. Oleh sebab itu firman Tuhan menyerukan : “percayalah.... berjalanlah dalam Roh..... persembahkan hidupmu.... serahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi senjata kebenaran... (Kis 16:31; Gal 5:16; Rom 12:1; 5:12-13). Kedua hal ini tidak sama dan tidak dapat dicampuradukkan.
Sayang sekali gejala pencampur-adukkan antara kedua macam anugerah Allah ini bukan hanya dilakukan oleh Pelagius dan kaum Armenian. Teolog-teolog Reformed pun kadang-kadang bisa terjerat dalam kesalahan yang sama. Untuk menekankan doktrin “irresistible grace/anugerah yang tak dapat ditolak,” beberapa dari mereka bahkan mengajarkan “automatic progressive sanctification/proses penyucian otomatis yang terjadi secara progresif. Asal mau setiap orang yang sudah dilahir-barukan dapat mencapai kondisi bebas dari jerat dosa.
Doktrin Semi-Pelagius ini telah ditolak oleh konsili di Efesus (431 M) dan di Orange (529 M), tetapi tetap pemahaman gereja akan predestinasi sulit dipertahankan. Oleh sebab itu dengan perjuangan berat Luther coba menformulasikan kembali doktrin ini. Ia menekankan bahwa
“freewill after the Fall exists only in the name, and as long as long as one does what in one lies, one is committing mortal sin/setelah kejatuhan dalam dosa, manusia tidak memiliki kehendak bebas, apa pun yang manusia lakukan selalu
terjerat dengan dosa yang mematikan” (James Atkinson, “Luther:Early Theological Works,” Phil: Westminster Press, 1962, p. 287).
Untuk pernyataan ini Luther di-ekskommunikasikan oleh Paus Leo X (1520). Bagi Luther manusia cuma punya dua pemilihan, yaitu : (1) melakukan free willnya dalam ikatan anugerah atau (2) “berada di luar anugerah” berarti terikat dengan dosa oleh sebab itu tidak memiliki free will sama sekali. Manusia hanya “free to commit sin.” Dan itu bukanlah free will.
Kehidupan dalam Kehidupan di luar
ada Free
Free to please hanya ada false Free Will
or One is free only to
Predestinasi bagi Luther adalah “the only infallible preparation for grace/satu-satunya kondisi yang menungkinkan manusia menerima anugerah Allah,” (Atkinson, ibid, p.268). Pengakuan bahwa keselamatan adalah anugerah adalah pengakuan bahwa Allah yang berdaulat sudah merencanakan anugerah keselamatan tersebut dari kekal sampai kekal. Soal ada, bagaimana dan mengapa, semuanya itu ada di dalam kedaulatan Allah.
Catatan : Kegagalan manusia untuk mengamini doktrin predestinasi terjadi oleh karena :
(1) Manusia selalu mencampur-adukkan dan menyama-ratakan “dunia manusia” dan “dunia (maaf hanya istilah) Allah.” Predestinasi hanya terjadi dalam dunia Allah. Manusia dalam keterbatasannya tak mungkin memahami apa yang terjadi dalam dunia Allah. Predestinasi (kalau disingkapkan oleh Allah hanya disingkapkan untuk diterima dan dipercayai). Predestinasi tak pernah dapat di-analisa, difahami dan diterangkan secara akali. Calvin mengatakan, “there is a great difference between what is fitting for man to will and waht is fitting for God” (ada perbedaan yang besar sekali antara apa yang cocok dengan kehendak manusia dan apa yang cocok dengan kehendak Allah) (Institutes,1.18.3).
Alkitab bicara tentang dua macam waktu. Yang pertama ialah Kairos (waktu Allah/time of the Creator). Apa yang terjadi dalam waktu Kairos ini tidak terikat pada hukum sebab akibat, tidak tergantung pada ruang dan waktu, dan tidak pernah dapat menjadi objek pengamatan, persepsi, dan analisa pikiran manusia, kecuali ... hal-hal tersebut disingkapkan Allah pada manusia. Berarti apa yang terjadi di dalam Kairos hanya dapat difahami manusia pada saat hal-hal tersebut sudah menjadi bagian dari Kronos.
Jenis waktu yang kedua ialah Kronos (waktu yang terikat pada detik, menit, jam, hari, minggu, dst.). Manusia hidup dalam ikatan Kronos, terbatas oleh ruang dan waktu, dan terikat pada hukum alam. Oleh sebab itu, usaha untuk memahami dan menganalisa predestinasi (apa yang terjadi dalam Kairos) merupakan hal yang peka dalam hidup umat kristen. Usaha pemuasan curiosity
(bukan iman) ini hanya menghasilkan “salah mengerti dan ekses” dan tidak membangun iman sama sekali. Cara kerja otak manusia terikat pada kronos, pada hukum alam, pada hukum sebab-akibat. Oleh sebab itu dengan mencoba merasionalisasi predestinasi, otak manusia pasti akan tiba pada konklusi : “jikalau Tuhan memilih dari kekal siapa yang akan diselamatkan berarti Tuhan juga menetapkan dari kekal siapa yang akan binasa. Berarti pula, Tuhan yang berkuasa menciptakan manusia dengan bakat-bakat untuk percaya ternyata adalah juga Tuhan yang memutuskan untuk tidak memberikan bakat -bakat tersebut kepada mereka yang memang akan dibinasakan. Allah bukanlah Allah yang adil dan penuh kasih.”
Dalam jiwa orang-orang Reformed yang “hyper-Calvinistic” terjadi defence mechanism “repression dan rationalization” dan berkata, “pokoknya itu kedaulatan Allah.” Terima saja “tafsiran subjektif” dari doktrin supralapsarianism1 dari Theodore Beza dan Franciscus Gomarus, yang percaya bahwa Allah sudah menetapkan segala sesuatu persis seperti cara manusia melakukan penetapan-penetapan. Sehingga termasuk kejatuhan manusia dalam dosa pun sudah ditetapkan Allah dengan cara seperti itu. Dan percayalah akan kebijaksanaan Allah. (tetapi dalam hati menyimpan ketidak-puasan)
Inilah ekses. Dan syukur Luther memberikan sumbangan pemikiran Reformed yang baik sekali. Ia mengatakan,
“we can only believe this. Predestination like justification is also sola fide. Kita hanya dapat menerima dan percaya. Sama seperti halnya dengan justification, .. predestinasi hanya dapat diterima dengan iman (Gordon Rupp and Philip S. Watson, Luther dan Erasmus: Free will and Salvation,” Phil: Westminster Press, 1969. pp.331-332).
Dan sikap inilah yang juga dipegang oleh Calvin. Tentang predestinasi Calvin menegaskan,
“we should not investigate what the Lord has left hidden in secret .. nor neglect what he has brought out into open.. kita tidak terpanggil untuk menyelidiki apa yang memang tidak disingkapkan Allah, tetapi kita juga tidak boleh mengabaikan apa yang sudah disingkapkanNya” (Institutes, 3.22.1).
(2) Oleh karena salah mengerti tentang “tekanan utama” dari konsep Calvin tentang predestinasi. Memang Calvin melangkah “terlalu jauh” (sampai mengembangkan doktrin tentang reprobasi), tetapi maksud yang sesungguhnya bukanlah untuk menyederhanakan “kekayaan rencana keselamatan Allah” dalam pola pikir dan perhitungan akal manusia. Philip C. Holtrop menyimpulkan dengan tepat bahwa, “in Calvin concepts of predestination and foreknowledge have little to do with deterministic scheme and much to do with the sureness and purposiveness and rootedness of God’s history of salvation and present saving activity ‘in Christo’; that is to say, eternity and history have everything to do with
1 Supralapsarianisme : (1) Tuhan menetapkan umat pilihan & keselamatan manusia, (2) Tuhan menetapkan penciptaan alam semesta, (3) Tuhan mengijinkan manusia jatuh dalam dosa.
Infralapsarianisme : (1) Tuhan tetapkan penciptaan, (2) Tuhan ijinkan manusia jatuh dalam dosa, (3) Tuhan tetapkan pilihan & keselamatan.
each other. Konsep Calvin tentang predestinasi dan kemahatauan Allah bukanlah konsep yang dikembangkan Calvin untuk menjelaskan tentang skema-skema penetapan Allah, kedua istilah tersebut dipakai untuk menjelaskan tentang jaminan keselamatan Allah. Calvin menekankan tentang adanya hubungan yang erat sekali antara sejarah yang Allah ciptakan dan rencana keselamatanNya. (James Daane, “The Freedom of God,” in Calvin Thelogical Journal X, 1975, p.214).
Melalui penelitian atas tulisan-tulisan Calvin, pembaca akan sampai pada pemahaman bahwa hampir seluruh pemikiran teologi Calvin sebenarnya dibangun di atas “basic premise : adanya perbedaan yang mutlak antara Allah dan manusia.” Rancangan Allah tidak sama dengan rancangan manusia, jalan Allah tidak sama dengan jalan manusia (Yes. 55:8). Dalam menjelaskan tentang inkarnasi dan penebusan Kristus, misalnya, Calvin bertolak dari natur Allah yang penuh kasih. Inkanrnasi hanya terjadi oleh karena kasih Allah pada manusia (dan bukan karena ontological necessity, seperti yang dikatakan Anselmus pada abad XII). Begitu juga kematian dan pengorbanan Kristus. Bagi Calvin, “God does not love us because Christ died for us; Christ died for us because God love us” (Institutes, 2.16.4).
Istilah predestinasi baru dipakai Calvin dalam edisi “Institutes”nya yang terbit tahun 1539. Teologinya tidak mulai dari predestinasi. Predestinasi bagi Calvin hanya dapat difahami jikalau ditempatkan dalam konteks penjelasan tentang sejarah keselamatan.
PREDESTINASI
Dikutip dari buku Institutio, Yohanes Calvin, Jakarta : BPK, 1985, hal. 157-173. Buku ini adalah buku terjemahan dan ringkasan dari buku John Calvin dengan judul Institutes of Christian Religion, Book III, Chapter 21-24.
Ajaran predestinasi mengandung bahaya, tetapi perlu juga dikemukakan.
Perjanjian kehidupan tidak sama rata dikabarkan kepada semua orang, dan pada mereka yang mendengar pekabarannya, perjanjian itu tidak selalu disambut dengan cara yang sama dan tidak juga secara merata. Dalam perbedaan itu kedalaman putusan Allah yang mengagumkan menyatakan diri. Sebab tak perlu diragukan bahwa keaneka-ragaman itu juga melayani keputusan pemilihan Allah yang kekal.
Sudah jelas bahwa karena kehendak Allahlah kepada sebagian orang keselamatan dianugerahkan dengan cuma-cuma, dan sebagian orang dicegah untuk memperolehnya. Sebab itu segera timbul masalah-masalah besar dan rumit yang hanya dapat diterangkan jika hati orang-orang yang saleh sudah yakin tentang apa yang harus mereka yakini mengenai pemilihan dan predestinasi. Masalah ini rumit menurut penglihatan banyak orang. Karena menurut anggapan mereka, sangatlah tidak layak apabila dari khalayak ramai ada beberapa yang ditetapkan akan selamat, ada pula yang ditetapkan akan binasa. Kita tidak pernah akan yakin sebagaimana mestinya bahwa keselamatan kita mengalir dari sumber rahmat Allah yang cuma-cuma, sebelum kita mulai mengenal pemilihanNya yang kekal. Pemilihan itu memuliakan rahmat Tuhan dengan perbedaan ini: tidak semua orang diterimaNya hingga mereka dapat mengharapkan keselamatan, tanpa ada pembedaan, tetapi ada orang-orang yang diberiNya apa yang Ia tidak mau berikan kepada orang lain.
Sebelum saya sampai kepada perkara itu sendiri, perlulah saya berbicara dulu kepada dua macam orang dengan dua macam cara. Pembicaraan tentang predestinasi, suatu hal yang pada pokoknya sudah agak sukar, menjadi sulit sekali, bahkan berbahaya, karena rasa ingin tahu orang. Sebab tak ada palang yang dapat mencegah orang-orang itu mengembara menempuh jalan-jalan terlarang yang berputar-putar, dan menerobos ke atas. Kalau bisa, tak bakal ada tersisa bagi Allah satu rahasia pun yang ditelusuri dan diselidikinya.
Maka hendaknya pertama-tama kita ingat bahwa mengejar pengetahuan tentang predestinasi yang tidak disingkapkan oleh Firman Allah sama tololnya seperti apabila orang hendak menjelajahi tempat yang tak ada jalannya, atau hendak melihat didalam gelap. Dan kita tidak usah malu, bila ada yang tidak kita ketahui tentang hal itu, sebab dalam hal ini tidak tahu menandakan adanya pengetahuan (Bnd I Kor 1:18-29).
Ada pula orang-orang lain yang hendak membetulkan hal yang buruk itu. Mereka hampir-hampir berkata bahwa setiap penyebutan tentang predestinasi sebaiknya dibenamkan saja. Mereka dengan sungguh-sungguh mengajarkan bahwa kita harus menghindari setiap usaha untuk menyelidiki hal itu sebagaimana kita menghindari karang di laut.
Jadi supaya dalam hal inipun kita tinggal dalam batas-batas yang layak, kita harus kembali ke Firman Tuhan yang mengandung pedoman yang pasti untuk pengertian kita. Sebab Alkitab itu merupakan sekolah dari Roh Kudus. Didalamnya di satu pihak tidak ada yang dilupakan dari yang perlu dan bermanfaat untuk diketahui, di pihak lain hanya diajarkan apa yang ada manfaatnya diketahui. Maka kita harus menjaga jangan sampai orang-orang percaya dijauhkan dari segala sesuatu yang disingkapkan di dalam Alkitab tentang predestinasi itu, supaya jangan sampai kita seakan-akan dengan jahatnya hendak merampas dari mereka kebaikan Allah mereka, atau mencela dan menegur Roh seakan-akan telah diumumkanNya hal-hal yang seyogyanya tidak diberitahukan dengan cara apa pun juga. Janganlah kita selidiki apa yang dibiarkan Tuhan tersembunyi, dan janganlah kita abaikan apa yang telah disingkapkanNya; supaya kita tidak dihukum karena dalam hal yang satu kita terlalu ingin tahu atau dalam hal yang lain kita tidak bersyukur.
Apa predestinasi itu..?
Orang yang masih mau dipandang sebagai orang beragama tidak berani menyangkal begitu saja predestinasi yang dengannya Allah menerima sebagian orang hingga dapat mengharapkan kehidupan dan menghukum orang lain untuk menjalani kematian kekal. Tetapi orang mengitari ajaran itu dengan aneka macam kritik yang dicari-cari. Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang menganggap bahwa inilah yang menjadi dasar predestinasi: Allah tahu segala hal dari sebelumnya.2 Kami memang menempatkan kedua-duanya3 didalam Allah, tetapi kami berkata bahwa salahlah adanya apabila yang satu dikatakan takluk kepada yang lain.
Apabila Allah kita anggap mengetahui hal-hal sebelum waktunya, maka dengan demikian kita menyatakan bahwa segala sesuatu sudah selama-lamanya dan untuk selama-lamanya ada di depan mataNya, sehingga untuk pengetahuanNya tak ada yang akan datang atau yang sudah lampau, tetapi semuanya ada dalam kekinian. Dan ada dalam kekinian sedemikian rupa, hingga hal-hal itu tidak hanya dibayangkanNya (sebagaimana hal-hal yang tetap tersimpan dalam ingatan kita timbul dalam pikiran kita), melainkan benar-benar dilihatNya dan diamatiNya seakan-akan ditempatkan didepanNya. Predestinasi kita namakan keputusan Allah yang kekal yang dengannya Ia menetapkan untuk diriNya sendiri, apa yang menurut kehendakNya akan terjadi atas setiap orang. Sebab tidak semua orang diciptakan dalam keadaan yang sama; tetapi untuk yang satu ditentukan kehidupan yang kekal, untuk yang lain hukuman yang abadi. Maka sebagaimana orang itu diciptakan untuk tujuan yang satu atau yang lain, ia kita katakan dipredestinasikan untuk kehidupan atau untuk kematian. Dan predestinasi ini tidak hanya telah dinyatakan Allah didalam diri orang perorangan, tetapi diperlihatkanNya juga sebagai contoh dalam seluruh keturunan Abraham.
Maka kami berkata seperti yang sudah jelas ditunjukkan oleh Alkitab, yaitu bahwa dengan putusan yang kekal dan tak berubah-ubah telah ditentukan oleh Allah orang-orang mana yang hendak diterimaNya dalam keselamatan, dan mana sebaliknya yang hendak dibiarkanNya binasa. Kami menyatakan bahwa mengenai mereka yang menjadi pilihanNya, putusan itu berdasarkan rahmatNya yang cuma-cuma, dengan sama sekali tidak mengindahkan apakah manusia layak memperolehnya; dan bahwa bagi
2 Praescientia.
3 Yaitu predestinasi dan praescientia.
mereka yang diserahkanNya kepada kebinasaan, ditutupNya jalan masuk ke kehidupan oleh karena hukumanNya yang benar dan tanpa cela, tetapi yang tak dapat kita pahami. Selanjutnya kami menyatakan bahwa pada orang-orang pilihan, panggilan itu adalah bukti tentang terpilihnya mereka. Bahwa selanjutnya pembenaran adalah tanda kedua yang menyatakannya, sampai tercapai kemuliaan yang merupakan penggenapannya. Tetapi sebagaimana Tuhan menandai orang-orang pilihanNya dengan panggilan dan pembenaran, begitu juga bagi yang ditolak Ia menutup pengetahuan tentang namaNya atau pengudusan oleh RohNya. Itulah yang menjadi tanda-tanda yang memberitahukan kepada mereka hukuman apa yang menantikan mereka.
Ajaran predestinasi dalam Alkitab
Umumnya orang beranggapan bahwa Allah membeda-bedakan manusia sesuai dengan apa yang diketahuiNya sebelum waktunya tentang amal-amal mereka masing-masing. Jadi, menurut anggapan itu, yang diterimaNya sebagai anak-anakNya ialah mereka yang diketahuiNya sebelumnya akan layak menerima rahmatNya; dan yang diserahkanNya kepada hukuman mati ialah mereka yang dilihatNya mempunyai watak yang cenderung ke kejahatan dan kefasikan.
Tetapi ada pula yang mengecam ajaran yang sehat dengan kritik yang sangat keras. Mereka hendak mengadu Tuhan oleh karena sebagian orang dipilihNya menurut perkenananNya, dan sebagian orang dilewatiNya.
Sebaiknya kita memperhatikan sekarang apa yang dikemukakan oleh Alkitab mengenai pemilihan dan penolakan itu. Apabila Paulus mengajarkan bahwa kita dipilih dalam Kristus sebelum dunia dijadikan (Ef 1:4), maka sudah pasti tidak diperhatikan sama sekali apakah kita layak memperolehnya. Dengan demikian ia seakan-akan berkata bahwa, mengingat bahwa Bapa di surga tidak menemukan dalam seluruh keturunan Adam sesuatu apapun yang layak bagi pilihanNya, maka pandanganNya diarahkanNya kepada KristusNya, supaya dari tubuh Kristus dipilihNya anggota-anggota untuk diterimaNya agar mendapat bagian dalam kehidupan. Maka hendaklah bagi orang-orang percaya berlaku pikiran ini: bahwa kita diterima di dalam Kristus untuk mendapat bagian dalam warisan surgawi, karena diri kita sendiri tidak mampu mencapai kemuliaan sedemikian.
Jika Ia memilih kita supaya kita menjadi kudus, maka kita tidak dipilihNya sebab diketahuiNya sebelumnya bahwa kita bakal menjadi kudus. Sebab tidaklah cocok dua hal yang berikut ini: bahwa orang-orang saleh itu kudus karena terpilih, dan bahwa mereka berhasil terpilih karena perbuatan-perbuatan mereka. Dan disini tidak berlaku dalih yang seringkali mereka pakai bahwa Tuhan tidak memberi anugerah pemilihan itu sebagai balasan atas amal-amal yang sudah lampau, tetapi bahwa itu dikaruniakanNya karena amal-amal yang akan datang. Sebab apabila dikatakan bahwa orang-orang percaya dipilih supaya mereka menjadi kudus, maka sekaligus disetujui bahwa kekudusan yang kemudian akan terdapat didalam diri mereka itu berasal dari pilihan itu.
Maka biarlah seluruh perkara ini diputuskan oleh yang Mahatahu dan yang Mahaguru. Tatkala diketahuiNya bahwa di dalam diri pendengar-pendengarNya terdapat kekerasan hati sedemikian besarnya hingga kata-kataNya disebarNya kepada khalayak ramai hampir tanpa hasil, maka agar mencegah hal itu jangan menjadi batu sentuhan [ bagi orang-orang yang imannya lemah], Ia berseru: “Semua yang diberikan Bapa
kepadaKu akan datang kepadaKu. Dan inilah kehendak Bapa, yaitu supaya dari semua yang telah diberikanNya kepadaKu akan datang kepadaKu. Dan inilah kehendak Bapa, yaitu supaya dari semua yang telah diberikanNya kepadaKu jangan ada yang hilang” (Yoh. 6:37,39). Perhatikanlah bahwa hal diserahkannya kita kepada kesetiaan dan penggembalaan Kristus, berpangkal pada pemberian Bapa itu. Kata-kata yang diucapkan Kristus itu begitu jelas sehingga tak dapat diselubungi dengan dalih-dalih. KataNya: “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku. Dan setiap orang yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepadaKu”(Yoh. 6:44 br). “Bukan tentang kamu semua Aku berkata”, kataNya, “ Aku tahu, siap yang telah Kupilih” (Yoh. 13: 18). Kita harus memperhatikan bahwa, apabila ditegaskanNya bahwa Ia tahu siapa yang dipilihNya, yang dimaksudkan ialah suatu jenis istimewa dari umat manusia; lagi pula bahwa yang membedakan jenis itu bukanlah mutu kebaikan-kebaikannya, melainkan keputusan surgawi. Kesimpulannya ialah bahwa tak seorangpun menonjol karena kekuatan atau ketekunannya sendiri, sebab Kristus menetapkan diriNya sendiri sebagai pelaku pemilihan itu. Pendeknya, Allah dengan karunia pengangkatan yang bebas menciptakan orang-orang yang dikehendakiNya menjadi anak-anakNya, dan sebab hakiki dari pemilihan itu terletak dalam diriNya, karena Ia menuruti perkenananNya yang tersembunyi.
Beberapa orang membantah kami, bahwa Allah bertentangan dengan diriNya sendiri, apabila secara umum Ia mengundang semua orang untuk datang kepadaNya, padahal hanya sedikit orang pilihan yang diterimaNya; apabila dengan pemberitaan Firman lahiriah semua orang dipanggil supaya bertobat dan beriman, padahal tidak semuanya diberi Roh tobat dan iman. Dalil mereka itu saya tolak, karena dalil itu salah ditinjau dari dua segi. Sebab dia yang mengancam bahwa ke atas kota yang satu akan turun hujan dan ke atas kota yang lain tidak (Amos 4:7), Dia yang berfirman, bakal ada kehausan akan mendengarkan firman Tuhan (Amos 8:11), Dia tidak mengikat diri dengan hukum yang tetap bahwa Ia akan memanggil semua orang sama rata. Dan Dia yang melarang Paulus memberitakan Injil di Asia dan menjauhkannya dari Bitinia dan menariknya ke Makedonia (Kis 16:6 br), Dia memperlihatkan bahwa Dialah yang berhak menentukan kepada siapa kekayaan itu hendak dibagikanNya.
Akan tetapi melalui Yesaya ditunjukkanNya dengan lebih jelas lagi, bagaimana janji-janji keselamatan secara khusus dimaksudkan untuk mereka yang terpilih. Sebab dinyatakanNya bahwa muridNya hanya akan diambilNya dari antara mereka dan tidak dari seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan (Yes. 8:16). Ternyatalah dari hal itu kesalahan pendapat yang meyatakan bahwa ajaran keselamatan diulurkan kepada setiap orang supaya benar-benar menguntungkannya, pada hal ajaran itu dikatakan disediakan secara khusus bagi anak-anak Gereja semata. Semoga untuk sementara cukuplah kata-kata ini meskipun firman Injil pada umumnya menyapa semua orang namun karunia iman merupakan karunia yang jarang adanya.Bahwa benih itu jatuh diantara duri-duri atau di tempat-tempat berbatu, bukan sesuatu yang baru; bukan hanya karena kebanyakan manusia memang ternyata membangkang terhadap Allah, tetapi juga karena tidak semua orang dianugerahi mata dan telinga. Maka bagaimana Allah dapat memanggil kepada diriNya mereka yang diketahuiNya tidak akan datang ? Iman itu memang pantas dihubungkan dengan pemilihan asal saja mengambil tempat yang kedua. Urutan ini diungkapkan dengan jelas, di tempat lain dengan kata-kata Kristus: “Dan inilah kehendak
Bapa, yaitu supaya dari semua yang telah diberikanNya kepadaKu, jangan ada yang hilang. Sebab inilah kehendakNya yaitu supaya setiap orang yang percaya kepada Anak tidak binasa” (Yoh. 6:39).
Selanjutnya, jika kita tidak dapat memberi alasan mengapa Ia menganggap layak menunjukan kerahiman kepada orang-orang milikNya, selain karena itulah yang berkenan kepadaNya maka jika ada orang-orang lain yang ditolakNya, tidak ada bakal ada alasan lain kecuali kehendakNya. Sebab apabila dikatakan bahwa Allah mengeraskan hati orang atau memperlakukan orang dengan lembut yang berkenan kepadaNya, maka dengan itu orang-orang dianjurkan supaya jangan mencari alasan lain di luar kehendakNya.
Sanggahan terhadap ajaran Predestinasi dijawab
Seolah -olah karena mau mengelak celaan dari Allah, banyak orang mengaku pemilihan itu sedemikian rupa sehingga mereka mengingkari bahwa ada orang yang ditolak. Tetapi itu terlalu bodoh dan kekanak-kanakan: sebab pemilihan itu sendiri tidak akan ada, jika tidak ada penolakan sebagai lawannya. Mereka yang dilewati Allah, ditolakNya; dan alasannya hanyalah karena Ia tidak mau memberikan mereka bagian dalam warisan yang melalui predestinasi Ia peruntukkan bagi anak-anakNya. Bagaimana selanjutnya mereka yang tidak mau menerima bahwa ada orang yang ditolak Allah itu dapat lolos dari ucapan Kristus: “Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh BapaKu akan dicabut” (Mat. 15:13)? Dan jika mereka tidak berhenti membantah, maka semoga kesederhanaan iman puas dengan anjuran Paulus bahwa “Allah menaruh kesabaran dan kelembutan yang besar terhadap benda-benda kemurkaanNya yang telah disiapkan untuk kebinasaan - justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaanNya atas benda-benda belas kasihanNya yang telah dipersiapkanNya untuk kemuliaan” (Roma 9: 22).
Dengan berbagai cara orang-orang yang tolol bertengkar dengan Allah, seakan-akan mereka menganggap bahwa dirinya berhak melancarkan tuduhan-tuduhan terhadap Dia. Pertama-tama mereka bertanya dengan hak apa Allah murka terhadap makhluk-makhlukNya yang sebelumnya sama sekali tidak menentangNya dengan hinaan apapun. Sebab, kata mereka, menetapkan kebinasaan bagi orang-orang tertentu menurut perkenaanNya itu lebih sesuai dengan kesewenang-wenangan seorang diktator daripada hukuman adil seorang hakim. Bahwa orang memang mempunyai alasan untuk mengeluh tentang Allah, apabila hanya karena perkenanNya saja, tanpa mengingat layak-tidaknya mereka, mereka ditetapkan untuk kematian kekal. Kalau pikiran semacam ini timbul dalam hati orang-orang saleh, mereka cukup diperlengkapi untuk mematahkan serangannya melalui pertimbangan yang satu ini: mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang alasan-alasan kehendak Ilahi adalah sangat jahat. Kehendak Tuhan menjadi aturan tertinggi dari keadilan, sedemikian rupa sehingga barang apa yang dikehendakiNya harus dianggap adil, justru karena dikehendakiNyalah. Jadi jika ditanyakan mengapa Tuhan telah berbuat begitu, harus dijawab: karena demikianlah kehendakNya. Tetapi kalau saudara mau maju lewat itu dan bertanya, mengapa Ia menghendakinya, maka saudara mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada kehendak Allah dan itu tak dapat ditemukan.
Apabila seseorang menyerang kita dengan kata-kata seperti: “Mengapa Allah sudah dari mulanya menetapkan kematian bagi beberapa orang yang tidak mungkin
pantas diberi hukuman mati karena mereka belum ada ?”, maka jangan kita memberi jawaban, tetapi kita berganti mengajukan pertanyaan, apakah menurut pendapat mereka ada utang Allah terhadap manusia, jika Ia hendak mengukurnya menurut hakekatNya sendiri. Kita semua, sebagai yang dinodai dosa, tak bisa tidak harus dibenci oleh Allah. Jika semua orang yang menurut predestinasi Allah harus mati karena keadaan kodrati mereka tunduk pada hukuman kematian, maka ketidak-adilan manakah yang telah ditimpakan kepada mereka, tanya saya, yang dapat mereka adukan ?
Mereka membantah pula: “Bukankah mereka ditetapkan sebelumnya oleh ketetapan Tuhan untuk keburukan yang sekarang diajukan sebagai sebab hukuman mereka? Bukankah tidak adil Ia yang mempermainkan makhluk-makhlukNya sekejam itu?”. Bersama Paulus kami akan menjawabnya, demikian: “Siapakah kamu hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian ?’ Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang tidak mulia ?” (Roma 9:20 br). Rasul telah menegaskan bahwa patokan keadilan Allah begitu tinggi, sehingga tidak dapat diukur dengan ukuran manusia, atau ditangkap oleh akal manusia yang kerdil itu.
Ada sanggahan yang kedua yang berasal pula dari kefasikan, tetapi maksudnya bukan untuk langsung mencela Allah, melainkan lebih untuk mencari alasan agar memaafkan orang yang berdosa itu. “Mengapa kiranya Allah memperhitungkan kepada manusia sebagai dosa hal-hal yang dengan ketetapanNya ditetapkanNya perlu ada ? Jika manusia dengan ketetapan Allah diciptakan sedemikian rupa hingga bakal dikerjakannya apa yang memang dikerjakannya sekarang, maka tidak boleh ia dipersalahkan karena telah melakukan sesuatu yang tak dapat dihindarinya dan yang ditempuhnya karena kehendak Allah.”
Marilah kita lihat, bagaimana keruwetan ini dapat diuraikan selayaknya. Pertama-tama hendaknya semua yakin akan kata Salomo bahwa Tuhan membuat segala sesuatu demi diriNya4, bahkan orang fasik dibuatNya untuk hari malapetaka (Amsal 16:4). Lihatlah, oleh karena penetapan tentang segala sesuatu berada dalam tangan Tuhan, oleh karena padaNya terletak penetapan mengenai keselamatan dan kematian, maka dengan putusan dan kehendakNya ditetapkanNya bahwa di antara manusia ada yang dilahirkan dan ditentukan dari kandungan ibunya akan mengalami kematian yang pasti, supaya dengan kebinasaan mereka namaNya dimuliakan.
Mereka yang tertolak itu menginginkan supaya dosa mereka dapat dimaafkan oleh karena mereka tidak dapat luput dari keharusan berdosa; lebih-lebih karena keharusan itu ditanggungkan kepada mereka dengan penetapan Allah. Tetapi kami mengingkari bahwa dengan demikian mereka selayaknya dimaafkan, oleh karena penetapan Allah yang menurut keluhan mereka menentukan bahwa mereka akan binasa, sudah tegas kewajarannya, yang memang tidak kita ketahui, tetapi yang sudah pasti sama sekali. Sebab walaupun manusia dengan providensi Allah yang kekal diciptakan untuk sengsara, namun alasannya diambilnya dari dirinya sendiri dan bukan dari Allah.
Selanjutnya penentang-penentang predestinasi Allah masih menuduhkan kemustahilan ketiga padanya: bahwa [menurut ajaran ini] Ia pilih kasih. Hal ini oleh
4 Demikian naskah Vulgata yang dipakai oleh Calvin. Naskah ynag mendasari Terjemahan Baru dalam bahasa Indonesia berbunyi : “untuk tujuannya masing-masing”.
Alkitab disangkal dimana-mana, dan mereka menarik kesimpulan: atau Alkitab itu bertentangan dengan dirinya sendiri, atau Allah dalam pemilihanNya melihat amal-amal. Mereka bertanya, apa sebabnya dari dua orang yang tidak dibedakan oleh satu amal pun, yang satu dilewati dalam pemilihanNya dan yang lain diterimaNya. Saya berganti bertanya: “apakah mereka menyangkal bahwa dalam diri orang yang diterima itu terdapat sesuatu yang mencenderungkan hati Allah kepadaNya ?”. Jika mereka mengakui bahwa tidak ada apa-apanya - dan mereka tidak bakal dapat berbuat lain dari mengakuinya – maka kesimpulannya ialah bahwa Allah tidak memandang manusianya, tetapi dari kebaikan hatiNya mengambil alasan untuk berbuat baik kepadanya. Jadi bahwa Allah memilih yang satu dan menolak yang lain, alasannya bukanlah Ia melihat manusianya, melainkan hanya belas kasihanNya yang harus bebas memperlihatkan dan menyatakan diri, dimana saja dan kapan saja itu berkenan kepadaNya.
Untuk menumbangkan predestinasi, dengan sengit mereka mengajukan pula bahwa seandainya predestinasi itu dipertahankan, semua ketekunan dan kerajinan untuk berbuat baik akan runtuh. Sebab kata mereka, bila mendengar bahwa dengan keputusan Allah yang abadi dan tak dapat diubah itu kehidupan atau kematian telah ditetapkan untuknya. Siapakah yang tidak akan segera dihinggapi pikiran bahwa bagaimana perilakunya itu tidak menjadi soal. Tetapi Paulus memperingatkan kita bahwa kita telah dipilih untuk maksud ini, yaitu supaya menjalankan kehidupan yang kudus dan tanpa cacat (Ef. 1:4). Jika kesucian hiduplah yang menjadi tujuan pemilihan, maka ajaran itu harus terlebih menggugah dan mendorong kita untuk menaruh perhatian kepada kesucian daripada menjadi dalih untuk kelambanan. Sebab berapa besarkah perbedaan antara dua hal ini: tidak jadi melakukan amal baik, oleh karena pemilihan itu sudah cukup untuk mencapai keselamatan, dan : pemilihan itu mempunyai tujuan supaya kita berusaha keras untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik?
Allah memanggil juga orang-orang yang dipilihNya
Tetapi supaya perkara itu lebih terang lagi adanya, maka kita harus menguraikan baik panggilan orang-orang pilihan maupun pembutaan dan pengerasan hati orang yang tak percaya. Panggilan itu tiada tanpa memilih-milih. Dengannya Allah akhirnya menyatakan pemilihanNya, yang diluar tindakan itu tetap tersembunyi dalam diriNya. Dari sebab itu dengan tepatnya panggilan itu dapat dinamakan “kesaksian” tentang pemilihan itu, “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya; dan mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggilNya; dan mereka akan dipanggilNya, mereka itu juga dibenarkanNya, supaya sekali kelak mereka dimuliakanNya” (Roma 8:29 br). Tuhan memang telah mengangkat orang-orang milikNya menjadi anak-anakNya dengan memilih mereka. Namun kita melihat bahwa mereka tidak dapat sampai memiliki harta yang sebesar itu kalau tidak dipanggil; sebaliknya bahwa setelah dipanggil, mereka dalam arti tertentu sudah mendapat bagian pemilihan mereka dan menikmatinya. Apabila panggilan dikaitkan pada pemilihan, maka Alkitab dengan cara itu cukup jelas menyatakan bahwa dalam panggilan itu tidak boleh dicari hal yang lain daripada belas kasihan Allah yang diberikan dengan cuma-cuma itu. Sebab jika kita bertanya siapa yang dipanggilNya dan dengan alasan apa, maka jawabannya ialah: mereka yang telah dipilihNya. Dan apabila kita sampai pada
pemilihan, maka yang ternyata di sana dari segi manapun juga ialah belas kasihan Allah semata-mata.
Iman adalah hasil pemilihan, bukan sebaliknya
Akan tetapi disini kita harus awas terhadap dua macam kesesatan. Sebab ada orang-orang yang berkata: manusia bekerja sama dengan Allah, sehingga dengan persetujuannya manusia itu mengokohkan pemilihan itu; dengan demikian menurut mereka kehendak manusia mengungguli putusan Allah. Seakan-akan diajarkan oleh Alkitab bahwa yang diberikan kepada kita hanyalah kemampuan untuk beriman, dan bukan iman itu sendiri. Ada pula orang -orang yang – meskipun mereka tidak membuat karunia Roh Kudus menjadi setawar itu – entah dengan alasan apa membuat pemilihan itu tergantung dari apa yang datang kemudian; seakan- akan pemilihan itu tidak ada kepastian dan hasilnya sebelum dikokohkan oleh iman. Memang sudah jelas sekali bahwa pemilihan itu, dilihat dari sudut kita, memang dikokohkan [bilamana kita beriman]. Kita sudah melihat di atas ini bahwa putusan Allah yang tersembunyi yang tadinya tidak diketahui itu terungkapkan juga. Asal saja kata itu tidak punya pengertian yang lain daripada bahwa apa yang tadinya tidak diketahui, kini dibuktikan kebenarannya, dan seakan-akan dipateri dengan meterai. Tetapi tidaklah benar bila dikatakan bahwa pemilihan itu baru berlaku sesudah kita memeluk Injil dan bahwa kekuatannya datang dari situ. Dari hal itulah kita memang harus mencari kepastian pemilihan kita, sebab jika kita mencoba dengan akal kita memasuki ketentuan Allah yang kekal itu, jurang yang dalam itu akan menelan kita. Tetapi apabila Allah telah memperlihatkan pemilihan kita kepada kita, kita harus naik lebih tinggi, agar akibat itu tidak menggelapkan sebabnya. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa kita diterangi sebagaimana kita telah dipilih oleh Allah. Oleh sebab itu adakah yang lebih tidak masuk di akal dan tidak wajar daripada tersilaunya mata kita oleh terang cahaya itu, sehingga tidak lagi mau mengindahkan pemilihan itu ?
Kristus cermin tempat menatapi pemilihan
Jika kita mencari kelembutan Allah selaku Bapa, dan kebaikan hatiNya, maka pertama-tama kita harus mengarahkan pandangan kita kepada Kristus yang kepadaNya sajalah Bapa berkenan (Mat. 3:17). Jika kita mencari keselamatan, kehidupan, dan kebakaan surgawi, maka dalam hal itupun tak ada tempat pelarian kita yang lain, sebab dialah satu-satunya sumber kehidupan, dan sauh keselamatan, dan ahli waris kerajaan surga. Dan apa lagi maksud pemilihan itu selain dari supaya kita yang dipungut oleh bapa di surga sebagai anak-anakNya, memperoleh keselamatan dan kebakaan berkat anugerahNya ? Jadi Kristus adalah cermin tempat kita selayaknya menatapi pemilihan kita dan boleh menatapinya tanpa tertipu.
Jika kita ingin mengetahui apakah keselamatan kita menjadi pokok perhatian bagi Allah, maka kita harus meneliti apakah kita diserahkanNya kepada Kristus yang dijadikanNya satu-satunya Penyelamat bagi seluruh umatNya. Jika kita selanjutnya meragukan apakah kita diterima oleh Kristus supaya dirawatNya dan dijagaNya, maka ditampungNya keraguan kita itu dengan menawarkan diriNya dengan rela sebagai Gembala, dan dikatakanNya bahwa kita akan termasuk kawanan dombaNya jika kita
mendengar suaraNya (Yoh. 10: 3). Maka marilah kita dekap Kristus yang diajukan kepada kita dengan penuh keramahan itu dan yang datang menyongsong kita: dan kita akan dianggapNya termasuk kawananNya, dan akan tetap dijagaNya di dalam kandangNya.
Panggilan lahiriah dan batiniah
Tetapi tiap hari terjadi bahwa mereka yang nampaknya adalah kepunyaan Kristus, melepaskanNya dan jatuh. Hal ini memang benar. Tetapi sama juga pastinya bahwa orang seperti itu tidak pernah melekat pada Kristus dengan kepercayaan hati seperti yang mengukuhkan kepastian pemilihan kita, sesuai dengan apa yang saya katakan tadi. “Mereka berasal dari antara kita”, kata Yohanes (I Yoh. 2 : 19), “tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita”.
Perkataan Kristus bahwa banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih (Mat. 22:14), dengan demikian tidak difahami dengan baik. Tidak akan ada keraguan jika kita meyakini adanya dua macam panggilan. Sebab ada panggilan umum, yang dipakai Allah untuk dengan jalan pemberitaan Firman secara lahir mengundang semua orang sama rata supaya datang kepadaNya, juga mereka yang kepadanya panggilan itu diajukanNya untuk menjadi “bau kematian” (Bnd II Kor. 2:16) dan hukuman yang lebih berat. Ada pula panggilan yang khusus, yang pada umumnya hanya dianggapNya pantas bagi orang-orang percaya, yaitu apabila dengan penerangan batin dari RohNya Ia membuat Firman yang diberitakan itu berdiam di dalam hati mereka. Tetapi ada kalanya Ia juga memberi bagian dalam panggilan ini kepada mereka yang diterangiNya untuk beberapa waktu saja; namun kemudian ditinggalkanNya mereka sesuai dengan sikap mereka yang tidak tahu bersyukur, dan makin dibutakanNya mereka.
Sebelum dipanggil, orang-orang yang terpilih tidak berbeda dari yang lain
Tidak langsung dari rahim ibu, tidak juga semua pada saat yang sama, orang-orang yang terpilih itu dikumpulkan ke dalam kandang domba Kristus oleh panggilan itu. Akan tetapi [saatnya ditentukan] menurut perkenan Allah untuk menganugerahi mereka. Tetapi sebelum mereka dikumpulkan ke tempat Gembala utama itu, mereka mengembara terpencar-pencar di padang pasir sama seperti semua orang, dan mereka tidak berbeda dari yang lain kecuali bahwa mereka dilindungi oleh kerahiman Allah yang khusus sehingga tidak sampai jatuh ke dalam jurang kematian yang terdalam. Bahwa mereka tidak sampai kepada kefasikan yang paling hebat dan yang tak tertolong lagi, sebabnya bukanlah karena pada mereka ada suatu kebaikan yang kodrati, tetapi karena mata Allah menjaga dan tanganNya terulur untuk keselamatan mereka.
Hendaklah perkataan Alkitab ini menetap pada kita (Yes. 53:6): “Kita sekalian telah sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri”, yaitu jalan ke kebinasaan. Bagi mereka yang ditentukan Tuhan akan dikeluarkanNya kelak dari jurang kebinasaan itu, Tuhan mengundurkan waktunya sampai tiba saatNya; mereka hanyalah dijagaNya, jangan sampai mengeluarkan hujat yang tak dapat diampuni.
Alasan Allah untuk menolak orang-orang yang tidak dipilihNya
Sebagaimana Allah dengan keampuhan panggilanNya kepada mereka yang terpilih, melaksanakan keselamatan yang ditentukanNya bagi mereka dengan putusanNya yang kekal, demikian pula terhadap mereka yang ditolak, Ia mempunyai hukuman-hukumanNya yang menjadi jalan pelaksanaan putusanNya mengenai mereka. Bagaimana dengan mereka yang diciptakanNya untuk mengalami keaiban dalam hidup dan kebinasaan dalam mati supaya menjadi benda-benda kemurkaanNya dan contoh-contoh kekerasanNya ? (Roma 9:21). Supaya mereka sampai kepada tujuan itu, bagi mereka kadang-kadang dihilangkanNya kemungkinan untuk mendengar FirmanNya, kadang-kadang justru dengan pemberitaan Firman itu dipekatkanNya kebutaan dan kebodohan mereka.
Apa sebab kepada yang satu diberikanNya rahmatNya dan yang lain dilewatiNya? Mengenai yang satu itu, sebabnya diberitahukan oleh Lukas, yaitu karena mereka “ditentukan untuk hidup yang kekal” (Kis. 13:48). Apa pula anggapan kita mengenai yang lain selain daripada bahwa mereka dilewati Tuhan karena mereka merupakan benda-benda kemurkaanNya yang diciptakan untuk keaiban? Maka janganlah kita enggan berkata bersama Augustinus: “Allah bisa saja mengubah kehendak orang-orang yang jahat menjadi baik, sebab Ia maha kuasa; sudah tentu hal itu dapat dilakukanNya; maka mengapa itu tidak dilakukanNya ? Sebab bukan itu kehendakNya; mengapa tidak dikehendakiNya, itu terletak pada Dia”. Sebab sebaiknya kita jangan mengetahui lebih banyak daripada yang layak.
Kita masih harus meneliti, mengapa Tuhan berbuat apa yang nyatanya diperbuatNya. Jika dijawab bahwa demikianlah terjadi sebab orang-orang, karena kefasikan, kejahatan dan karena tidak bersyukur, sudah sepantasnya diperlakukan begitu, maka pastilah betul dan benar ucapan itu. Tetapi belum juga jelas apa alasan untuk perbedaan itu, yaitu mengapa walaupun ada orang lain yang ditundukkan agar patuh, namun orang-orang itu tetap berkeras hati. Maka dalam penelitian untuk mencari alasan itu, terpaksalah orang sampai pada kesimpulan seperti yang telah dicatat Paulus dari Musa (Kel. 9:16), yaitu bahwa Allah dari semula telah membangkitkan mereka supaya namaNya dimasyurkanNya di seluruh bumi (Roma 9:17). Bahwa mereka yang ditolak itu tidak patuh pada Firman Allah yang telah dipernyatakan kepada mereka, kesalahannya memang sudah sebenarnya dijatuhkan pada kejahatan dan keburukan hati mereka. Asal saja segera ditambahkan bahwa mereka diserahkan kepada kejahatan mereka itu, karena mereka oleh hukuman Allah yang benar tetapi yang tak dapat ditelusuri itu diberi hidup, supaya dengan pembinasaan mereka Ia dimuliakan. Walaupun kita tidak mengerti dengan jelas apa sebabnya, tetapi janganlah kita tidak mau mengakui bahwa kita tidak memahami sesuatu, apabila hikmat Tuhan sedang mencapai puncaknya.
Beberapa keberatan dijawab
Akan tetapi, demikian saudara akan berkata, jika memang begitu, kita tidak dapat percaya benar pada janji-janji Injil (seperti misalnya dalam I Tim 2:4). Sebab janji-janji itu, apabila memberitakan kehendak Tuhan, akan menyatakan bahwa Ia menghendaki apa yang bertentangan dengan keputusanNya yang tak dapat diubah-ubah itu. Sama sekali tidak demikian halnya; sebab walaupun bersifat umum, namun janji-janji keselamatan itu
sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan predestinasi orang-orang yang ditolak, asal saja kita mengarahkan pikiran kita pada akibatnya. Kita mengetahui bahwa janji-janji itu baru mempunyai akibat bagi kita, apabila kita menerimanya dengan iman; akan tetapi bila iman itu disia -siakan, maka janji itu serta merta terhapuskan. Kalau itulah sifat janji-janji, marilah kita lihat apakah ada pertentangan. Di satu pihak dikatakan bahwa sudah dari sejak kekal ditetapkan oleh Allah orang-orang yang hendak dirangkulNya dengan kasihNya, dan orang-orang yang hendak ditimpaNya dengan murkaNya; dan di pihak lain bahwa kepada semuanya tanpa pilih kasih Ia mengabarkan keselamatan. Saya berkata bahwa keduanya cocok benar. Sebab apabila Ia berjanji demikian, tak lain yang hendak dikatakanNya ialah bahwa belas kasihanNya tersedia bagi semua orang, asal saja mereka menginginkannya dan memohonnya. Tetapi hal itu hanya dilakukan oleh mereka yang telah diterangi olehNya. Dan yang diterangiNya ialah mereka yang telah ditentukanNya akan memperoleh keselamatan. Bagi mereka, kata saya, kebenaran janji-janji itu kokoh dan tak tergoyahkan, sehingga tak dapatlah orang berkata bahwa ada sedikitpun pertentangan antara pemilihan Allah yang kekal dan pernyataan tentang rahmatNya yang ditawarkanNya kepada orang-orang percaya.
Tetapi apa sebab Ia berkata: “Semua orang”? (Bandingkan misalnya I Tim 2: 4) Ia berkata begitu, supaya hati kecil orang-orang saleh dapat lebih tenteram karena mereka mengerti bahwa tak ada sedikitpun perbedaan antara orang-orang berdosa, asal saja ada iman5. Dan Ia berkata pula begitu, supaya mereka yang fasik tidak akan berdalih bahwa mereka tidak mempunyai tempat berlindung yang dapat mereka datangi bila mau meloloskan diri dari perbudakan oleh dosa – karena mereka meremehkan tempat perlindungan yang ditawarkan kepada mereka itu, sebab tidak tahu bersyukur. Oleh karena kepada kedua-duanya ditawarkan belas kasihan Tuhan melalui Injil, maka imanlah, yaitu penerangan oleh Allah, yang membedakan antara yang beriman dan yang fasik; sehingga yang pertama merasakan keampuhan injil, yang lain sebaliknya sekali-kali tidak memetik buahnya. Penerangan itupun diatur oleh pemilihan Allah yang kekal.
Mereka menyanggah pula bahwa dari barang yang dibuatNya, tak ada yang dibenci oleh Allah. Sekalipun saya mengakuinya, namun tak berubahlah yang telah saya ajarkan, yaitu bahwa orang-orang yang ditolak itu dibenci Allah, dan benar alasannya, karena mereka tidak menerima karunia RohNya, jadi tidak dapat menghasilkan apa-apa selain hal-hal yang menjadi sebab kutukan. Mereka menambahkan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Kafir, dan bahwa itu berarti bahwa rahmat Tuhan ditawarkan kepada semua orang tanpa pilih kasih: memang benar, asal saja mereka mengakui bahwa , seperti dinyatakan Paulus, Allah memanggil dari antara orang Yahudi maupun dari antara orang kafir menurut perkenananNya (Roma 9:24), sehingga Ia tidak terikat kepada siapapun.
Dengan cara demikian disalahkan pula apa yang mereka kutip dari tempat lain (Roma 11:32), yaitu bahwa Allah telah mengurung semuanya dalam dosa supaya Ia dapat menunjukkan belas-kasihan kepada mereka semua (bandingkan Gal. 3:22); artinya, karena Ia menghendaki supaya keselamatan semua orang yang diselamatkan dianggap berasal dari belas kasihanNya, meskipun kebaikan ini tidak berlaku umum untuk semua orang.
5 Maksudnya : Karena ada tertulis : “semua orang”, mereka akan mengerti bahwa mereka tidak akan ditolak karena misalnya lebih banyak berdosa daripada orang-orang lain - asal saja mereka beriman.
Selanjutnya, setelah dari kedua belah pihak sudah banyak yang dikemukakan, biarlah ini menjadi penutup: bersama Paulus kita gentar karena melihat kedalaman yang securam itu; dan jika ada lidah yang dengan gampang berbantah, maka jangalah kita malu berseru bersamanya: “Siapakah kamu, hal manusia, maka kamu membantah Allah?” (Roma 9:20). Sebab benarlah perkataan Augustinus, bahwa mereka yang mengukur keadilan Allah menurut ukuran keadilan manusia, membalikkan norma.
Predestinasi dan Reprobasi
Dikutip dari buku Essential Truths of The Christian Faith, RC Sproul, Illinois : Tyndale House Publishers, 1992, hal. 165-166.
Setiap uang logam pasti memiliki dua sisi, demikian pula dengan doktrin pemilihan. Pemilihan hanya berbicara tentang satu aspek dari pertanyaan yang luas sehubungan dengan predestinasi. Sisi lain dari predestinasi adalah reprobasi. Allah menyatakan bahwa Ia mengasihi Yakub dan membenci Esau. Bagaimana kita menjelaskan tentang kebencian ilahi ini ?
Predestinasi bersifat ganda. Satu-satunya cara untuk menghindari predestinasi ganda adalah menyetujui bahwa Allah menetapkan setiap orang untuk dipilih atau Allah tidak menetapkan seorang pun untuk dipilih atau untuk dibinasakan. Namun, Alkitab dengan jelas mengajarkan tentang predestinasi, yaitu Allah menetapkan untuk memilih dan menyangkali adanya keselamatan yang bersifat universal. Apabila kita mempelajari Firman Tuhan dengan serius, maka sesungguhnya predestinasi ganda tidak dapat dihindari. Jadi, sekarang yang penting adalah bagaimana predestinasi ganda itu seharusnya dimengerti oleh kita.
Sebagian orang mengerti predestinasi ganda sebagai penyebab yang sederajat (equal causation). Maksudnya adalah Allah sama-sama bertanggung jawab karena menyebabkan orang yang tidak dipilih (reprobate) tidak dapat percaya kepadaNya, sama seperti ia bertanggung jawab karena menyebabkan orang yang dipilih (the elect) percaya kepadaNya. Kami menyebut pandangan ini sebagai pandangan positif-positif dari predestinasi.
Pandangan positif-positif dari predestinasi mengajarkan bahwa Allah secara positif dan aktif intervensi di dalam kehidupan orang-orang yang dipilih untuk mengefektifkan anugerah di dalam hati mereka dan membawa mereka kepada iman. Demikian pula dalam kasus orang-orang yang tidak dipilih, Allah secara aktif intervensi di dalam hati mereka supaya tetap jahat dan menghalangi mereka untuk datang pada iman. Pandangan ini biasanya disebut “Hyper- Calvinism” oleh karena melampaui pandangan dari Calvin, Luther, dan para reformator lainnya.
Pandangan reformed tentang predestinasi ganda adalah positif-negatif. Di dalam kasus orang yang dipilih, Allah intervensi secara positif dan aktif untuk mengefektifkan anugerah di dalam jiwa mereka dan membawa mereka pada iman yang menyelamatkan. Alllah secara sepihak melahirbarukan orang pilihan dan menjamin keselamatan mereka. Di dalam kasus orang yang tidak dipilih, Allah tidak bekerja di dalam hati mereka untuk menjadi jahat atau menghalangi mereka untuk datang kepada iman yang menyelamatkan. Namun yang terjadi adalah Ia melewati mereka dan membiarkan mereka di dalam keberdosaan mereka sendiri. Di dalam pandangan ini tidak ada kesimetrisan/kesamaan dari tindakan Allah. Aktivitas Allah di antara orang yang dipilih dan orang yang dipilih tidak simetris/tidak sama. Namun, memang ada semacam akibat kepastian yang sama. Orang yang tidak dipilih, yaitu mereka yang dilewati oleh Allah, akan binasa pada akhirnya, dan kebinasaan mereka ini bersifat pasti, seperti keselamatan yang diterima oleh orang pilihan yang bersifat pasti.
Dua Belas Tesis Tentang Reprobasi
Dikutip dari buku Lima Pokok Calvinisme, Edwin H. Palmer, Jakarta, LRII, 1996, hal. 157-188.
Pengertian :
Reprobasi adalah dekret Allah yang kekal, berdaulat, tak bersyarat, tidak dapat diubah, bijak, suci, dan misterius; di mana, di dalam memilih sebagian orang untuk mendapatkan hidup yang kekal, Ia membiarkan yang lain, dan dengan adil menghukum mereka karena perbuatan-perbuatan dosa mereka sendiri – semuanya hanya demi kemuliaanNya.
DUA BELAS TESIS
1. Alkitab adalah Firman Allah yang inerrant dan infallible sebagai patokan final untuk semua pengajaran, termasuk juga reprobasi.
2. Allah itu suci; Ia adalah antitesis mutlak dari dosa dan pembenci kejahatan.
3. Sekalipun dosa dan ketidakpercayaan berlawanan dengan perintah-perintah Allah (kehendak preseptifNya), Allah telah memasukkannya juga di dalam dekretNya yang berdaulat (menetapkan hal tersebut dan menyebabkannya berlangsung).
4. Secara historis, sebagian besar teolog (tidak semua) membicarakan reprobasi dalam dua bagian, yaitu:
a. Preterisi – yang lampau, dan
b. Penghukuman.
5. Reprobasi sebagai preterisi bersifat tak bersyarat, dan sebagai penghukuman ia bersyarat.
6. Preterisi adalah sisi balik dari pemilihan.
7. Allah tidak mengaktifkan dosa dan ketidakpercayaan sama seperti Ia mengaktifkan perbuatan baik dan iman.
8. Penolakan terhadap pengajaran reprobasi biasanya lebih disebabkan oleh rasionalisme skolastik daripada ketaatan yang rendah hati kepada Firman Allah.
9. Merupakan sikap yang salah apabila mengharapkan Alkitab memberikan perlakuan secara teologis sistematis tentang reprobasi.
10. Seseorang tidak mengetahui jika ia ditolak (direprobasi), tetapi ia mungkin mengetahui jika ia dipilih.
11. Reprobasi merupakan berita yang harus dikhotbahkan.
12. Kebodohan adalah hikmat.
TESIS 1
Alkitab adalah Firman Allah yang inerrant dan infallible sebagai patokan final untuk semua pengajaran, termasuk juga reprobasi.
Reprobasi berkaitan dengan rahasia ilahi yang tak dapat dimengerti. Dari pandang luarnya orang Kristen harus memutuskan apa yang akan menetukan jawaban atas pertanyaan tentang reprobasi: dengan pikirannya sendiri yang terbatas dan berdosa, atau dengan Firman Allah yang infallible, yang benar di setiap bagian dan setiap detail. Jawaban ini harus ditetapkan dari luar, karena Alkitab menyatakan beberapa kebenaran yang akan memusingkan pemikiran.
TESIS 2
Allah itu suci; Ia adalah antitesis mutlak dari dosa dan pembenci kejahatan.
Tesis ini didukung oleh beberapa hal di bawah ini: a. Pernyataan terbuka bahwa Allah itu suci:
Imamat 11:44, 45; 19:2; 20:26
I Petrus 1:16 : “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”
Yosua 24:19 : “Dialah Allah yang kudus”
I Samuel 2:2 : “Tidak ada yang kudus seperti Tuhan”
Mazmur 99:5 : “Tinggikanlah Tuhan, Allah kita … Kuduslah Ia !”
Yesaya 6:3 : “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan”
Yoh 17:11 : “Bapa yang kudus”
b. Allah memerintahkan kesucian, maka itu merefleksikan naturNya sendiri.
1. Allah memberikan Sepuluh Hukum.
2. Nabi-nabi berulang kali menekankan kesucian.
3. Kristus memerintahkan kesucian.
4. Para penulis Perjanjian Baru menekankan kesucian.
c. Allah menghukum dosa.
Di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, orang dihukum karena dosa mereka. Neraka yang kekal ada karena manusia gagal hidup suci.
d. Allah memberi upah kepada kekudusan
Lukas 6:35 : “Kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik… maka upahmu akan besar…”
I Kor 3:8 : “Masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri”
e. Allah menghukum Kristus sebagai ganti orang berdosa. Itu disebabkan karena Allah kudus sehingga Ia tidak memperkenankan dosa berjalan tanpa dihukum jika umat Allah mau ke sorga. Maka Ia harus menghukum Kristus demi untuk menjadikan umat pilihanNya suci.
TESIS 3
Sekalipun dosa dan ketidakpercayaan berlawanan dengan perintah-perintah Allah (kehendak preseptifNya), Allah telah memasukkannya juga di dalam dekretNya yang berdaulat (menetapkan hal tersebut dan menyebabkannya berlangsung).
Sebelum membaca kalimat selanjutnya, pembaca harus sudah sungguh-sungguh yakin pada tesis pertama, karena tesis ketiga ini langsung membahas inti permasalahannya.
Banyak orang Kristen — yang tidak punya waktu untuk memikirkan permasalahan ini secara seksama, dan mungkin beberapa orang pernah memikirkannya — tidak dapat menerima pikiran bahwa Allah menetapkan dosa. Kedengarannya tidak masuk akal, khususnya setelah membicarakan tesis kedua, bahwa Allah itu suci dan merupakan antitesis terhadap dosa. Bagaimana mungkin Allah yang suci, yang membenci dosa, bukan hanya secara pasif memperkenankan adanya dosa, tetapi justru memastikan dan secara efektif mendekretkan bahwa dosa harus ada? Hal ini tidak masuk akal, maka, tanpa menguji Alkitab mereka langsung membuang tesis ketiga ini sebagai kontra terhadap tesis yang kedua. Logika mereka, dan bukannya Alkitab, telah menjadi penentu akhir kebenaran tentang reprobasi ini. Itu alasan mengapa penting sekali meyakini untuk percaya pada tesis pertama terlebih dahulu. Allah kita yang tidak terbatas menyuguhkan kepada kita beberapa kebenaran yang mencengangkan – kebenaran bahwa pikiran kita yang berdosa dan terbatas sering memberontak.
Sebelum memaparkan bukti-bukti Alkitab bahwa dosa tidak berada di luar kedeaulatan Allah, merupakan kehendak dekretif Allah, penting untuk mencatat secara tepat apa yang dipaparkan:
a. Segala hal yang terjadi setiap waktu dan di sepanjang sejarah di bumi ini – entah dengan benda-benda non-organik, tumbuhan, binatang, manusia, atau malaikat (yang baik dan yang jahat) – ada karena Allah menetapkan mereka. Termasuk dosa – kejatuhan iblis dari sorga, kejatuhan Adam, dan setiap pemikiran, kata-kata, dan tindakan yang jahat di sepanjang sejarah, termasuk dosa yang paling parah sekali pun, yaitu pengkhianatan Yudas terhadap Kristus – termasuk di dalam dekret penetapan kekal Allah kita yang suci.
Jika dosa berada di luar dekret Allah, maka hanya sedikit sekali hal yang termasuk di dalam dekret Allah. Semua kerajaan-kerajaan besar harus berada di luar dekret penentuan Allah yang kekal, karena mereka didirikan atas dasar keserakahan, kebencian, ketamakan, dan bukan demi kemuliaan Allah Tritunggal. Tentulah para penguasa di bawah ini, yang mempengaruhi sejarah dunia dan menentukan hidup sekian banyak orang, tidak memperkembangkan kerajaan mereka untuk kemuliaan Allah, yaitu: Firaun, Nebukadnezar, Koreshy, Aleksander Agung, Jenghiz Khan, Kaisar Yulius, Kaisar Nero, Raja Charles V, Raja Henry VIII, Napoleon, Otto von Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito.
Jika dosa melampaui penetapan awal Allah, maka bukan saja kerajaan-kerajaan yang kejam dan perlakuan mereka berada di luar rencana Allah, tetapi juga setiap kelakuan sehari-hari orang-orang non Kristen juga berada di luar kuasa Allah. Karena apa pun yang dilakukan mereka pasti bukan untuk kemuliaan Allah Kristen dan berada di luar iman di dalam Kristus Yesus yang berarti berdosa. Memberikan jutaan dollar ke rumah sakit tentu jauh lebih baik daripada membunuh orang, tetapi jika hal itu dilakukan di luar motif yang tepat untuk mempermuliakan Allah, tindakan itu tetap berakar di dalam dosa.
Tindakan orang Kristen sendiri tidaklah sempurna – bahkan juga setelah ia dilahirkan kembali dan Kristus hidup di dalam dia. Dosa tetap terkait dengan dia. Ia tidak akan menjadi
sempurna sampai ia nanti berada di sorga. Misalnya, ia tidak mengasihi Allah dengan segenap hatinya, segenap pikirannya dan segenap jiwanya, atau ia juga tidak sungguh-sungguh mengasihi sesamanya manusia seperti dirinya sendiri. Bahkan tindakan-tindakannya yang paling terpuji sekalipun seringkali masih tercemar dosa.
Memang benar bahwa Allah membatasi dosa orang tidak percaya dan mendorong dia untuk berbuat yang baik, dan bahwa Roh Kudus memampukan orang Kristen untuk berbuat baik. Tetapi jika dosa berada di luar dekret Allah, maka sebagian besar persentasi tindakan manusia – baik yang sia-sia maupun yang penting – berada di luar rencana Allah. Kuasa Allah hanya dibatasi sampai di wilayah alam saja, seperti memutar galaksi atau menjalankan hukum gravitasi dan entropi. Sebagian besar sejarah berada di luar kontrolNya.
Tentara-tentara saling menjajah, para penguasa dibunuh, kerajaan bangkit dan runtuh, tetapi Allah tidak bisa berbuat banyak jika dosa berada di luar dekret kekalNya. Agama yang lain menyapu Afrika dan Timur Tengah dan mempengaruhi sejarah, tetapi hal ini bukanlah seturut kehendak Allah – jika dosa berada di luar rencana Allah.
b. Dosa masuk karena izin Allah yang efektif, seturut istilah Agustinus (permissio efficax). Agustinus tidak mau beranggapan bahwa Allah adalah Allah yang tidak suci. Maka ia berkata bahwa dosa diizinkan oleh Allah. Dengan istilah ini ia ingin melepaskan Allah dari jerat. Ia tidak mau menuduh Allah. Ia ingin menunjukkan bahwa dosa adalah ketidaktaatan kepada perintah Allah (kehendak preseptifNya).
Namun ia menyadari bahwa sekedar mengatakan Allah mengizinkan dosa berarti berlawanan dengan kedaulatan Allah dan menjadikan Dia hanya penonton yang tidak berdaya, mengawasi apa yang sedang terjadi di dalam medan permainan sejarah. Maka Agustinus berkata bahwa perizinan itu bersifat efektif. Inilah cara dia memadukan penjelasan, baik dari tesis kedua maupun ketiga. Allah mengizinkan dosa; namun manusia yang harus dipersalahkan, bukan Allah. Tetapi Allah secara efektif mengizinkan dosa. Dosa
bukan hanya diketahui awal oleh Allah, tetapi dosa juga ditetapkan secara awal oleh Allah. Pada faktanya, karena Allah menetapkan itu, maka Ia juga mengetahui sejak awalnya.
Calvin dengan sangat jelas memaparkan hal ini: “Manusia menghendaki suatu kehendak yang jahat, Allah menghendaki suatu kehendak baik.” Kejahatan, “yang berlawanan dengan kehendak Allah, tidak dilakukan tanpa kehendak Allah, karena tanpa kehendak Allah hal itu sama sekali tidak mungkin terjadi”. “Mengganti seluruh ayat-ayat Alkitab… dengan konsep perizinan mendasar merupakan bagian Allah adalah suatu alasan yang sembrono, dan suatu usaha untuk melarikan diri dari suatu kebenaran yang agung.”
Calvin menyetujui dengan mengutip Agustinus bahwa : “ Dengan cara yang ajaib dan yang tak terlukiskan, hal itu tidak dilakukan tanpa kehendakNya, sekalipun hal itu dilakukan berlawanan dengan kehendakNya, karena hal itu tidak dapat terjadi jika Ia tidak mengizinkannya; namun demikian, Ia tidak mengizinkannya tanpa kehendakNya, melainkan menurut kehendakNya”.
Dengan kata lain, Allah dengan rela mengizinkan dosa. Memang kita yakini, Allah membenci dosa dan tidak menginginkan keberadaannya. Lebih jauh lagi, Ia dengan tulus menginginkan bahwa keselamatan dapat dimiliki oleh setiap orang. Ia tidak ingin “ada orang yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (II Ptr 3:9) . Dalam pengertian ini Allah sebenarnya tidak menginginkan untuk mengizinkan dosa. Dosa itu berlawanan dengan natur suciNya dan kehendak yang dinyatakanNya. Di pihak lain, Allah membiarkan mengizinkan dosa dalam arti hal itu seturut dekretNya dan tidak berada di luar kedaulatan kehendakNya.
Membicarakan bahwa Allah secara efektif mengizinkan dosa mungkin sulit menolong pengertian kita. Hal itu bisa merupakan suatu usaha yang sia-sia di dalam menggambarkan apa yang Alkitab katakan. Pada analisis terakhirnya kita tetap tidak dapat mengerti secara tuntas. Ketika sampai di kedalaman misteri ilahi, kta akan tersandung dan tertahan. Semua yang dapat kita lakukan hanyalah mengikuti apa yang Alkitab katakan.
Kita telah mengikuti apa yang Alkitab katakan tentang kesucian Allah (tesis 2). Kini semua yang dapat kita lakukan hanyalah mengikuti apa yang Alkitab tekankan bahwa dosa tidak berada di luar dekret ilahi, tetapi telah ditetapkan sejak awal oleh Allah yang suci, yang penuh kasih dan maha bijak. Kita mungkin sekali sulit uintuk mempertemukan kedua tesis tersebut, tetapi penting bagi kita untuk menegaskan pernyataan-pernyataan itu, dan memberikan data-data Alkitabnya.
Di sini kita melihat beberapa bukti Alkitab. (bukti-bukti lebih jauh ditambahkan lagi di dalam apendiks buku ini - lihat hal 188 -198). Memang tidak terlalu perlu membaca semua bukti-bukti ini. Pembaca bisa mendalami bagian-bagian tertentu untuk melihat apa yang Alkitab katakan. Tetapi sangat penting untuk mengutip banyak ayat Alkitab, karena cara itu akan menghilangkan semua akibat sampingan tuduhan bahwa hanya mengutip ayat-ayat tertentu yang mewakili kasus ini saja, seperti yang telah dilakukan terhadap kesucian Allah (tesis 2). Alkitab memaparkan lebih dari seratus contoh bagaimana dosa diizinkan. Beberapa daftar di bawah ini cukup panjang, namun demikian belumlah dapat dikatakan itu sudah keseluruhannya.
1. Kisah Para Rasul 2:23
“Dia (Yesus) yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanyaNya.”
Di sini Petrus dengan terbuka menyatakan bahwa pengkhianatan yang berdosa dan pembunuhan Yesus terlaksana seturut maksud Allah yang telah ditetapkan. Kematian Kristus tidak memberikan sedikitpun unsur kebetulan. Keselamatan orang percaya melalui pendamaian penggantian kristus di salib bukanlah kecelakaan; tidak ada sumbangsih sedikit pun dari sudut manusia. Tidak seorang pun dapat diselamatkan tanpa kematian pengganti dari Yesus. Jika orang banyak, para imam, dan para tentara tidak berkomplot untuk membunuh Dia, maka tidak akan ada keselamatan, tidak ada pilihan ilahi, tidak ada gereja, dan tidak ada sorga. Allah dapat dibingungkan karenanya.
Tetapi Alkitab memberitahu kita bahwa tindakan itu adalah tindakan yang paling jahat di antara semua dosa yang ada, yaitu: penyaliban Yesus, terjadi karena “menurut maksud dan rencanaNya”. Dosa dan ketidakpercayaan ditetapkan oleh Allah.
Perlu dicatat adanya pendekatan antara penetapan dosa oleh Allah dan kutukan terhadap manusia. Bagian pertama ayat ini (“diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya”) dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menetapkan dosa; tetapi tetap dengan semangat yang sama, kalimat yang sama, Alkitab menetapkan kesalahan pada manusia. Logika kita akan mengajar kita untuk mempersalahkan Allah. Ia yang melakukan; maka itu kesalahanNya. Tetapi melalui wahyu Roh Kudus Petrus berkata, “Telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” Mereka adalah bangsa durhaka – mereka dipersalahkan.
Di sini terlihat kedahsyatan asimetris dari Alkitab: Allah menetapkan dosa, dan manusia yang bersalah. Kita sulit mengerti hal ini. Kita hanya dapat kembali kepada tesis yang pertama: “Alkitab tidak bersalah (infallible), Firman Allah yang tidak mengandung kesalahan (inerrant), dan sebagai penentu terakhir semua pengajaran, termasuk mengenai reprobasi.”
2. Kisah Para Rasul 4 : 27, 28
“Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu.”
Ayat-ayat ini sangat sejajar dengan Kis 2:23 di dalam membicarakan kematian Yesus sebagai kematian yang telah ditetapkan dari semula oleh Allah. Kembali dalam ayat ini terlihat adanya saling pendekatan antara tuduhan terhadap manusia dan dekret Allah. Dengan mengutip Maz 2, Petrus memandang Herodes, Pontius Pilatus, orang kafir dan umat Istrael sebagai penyebab kematian Kristus (“… rusuh bangsa-bangsa … para pembesar berkumpul untuk melawan Tuhan dan Yang Diurapi-Nya,” Kis 4:25,26).
Pada saat yang sama Petrus berkata bahwa dosa ini merupakan apa yang Allah “tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakNya.” Petrus mengatakan bahwa mereka sekedar melakukan apa yang Allah “telah tentukan” harus terjadi. Dan itu sudah cukup jelas. Bukan Herodes yang menetapkan. Allah yang menetapkan. Tetapi Petrus masih memperkuat lagi pernyataan yang sudah jelas ini:
a. Ia berkata, Allah “telah menentukan dari semula”. Kata “dari semula” menekankan bahwa dosa ada di dalam tangan Allah dan bukan di tangan para penguasa atau orang-orang kafir tersebut.
b. Memang cukup mengatakan bahwa Allah “telah menentukan dari semula,” tetapi Petrus memberikan penekanan lebih lanjut akan kedaulatan Allah dengan mengatakan “Ia berkehendak menetapkan” dari mengatakan “Allah” menetapkan.
c. Petrus akan menambahkan sentuhan ketiganya: Dari mengatakan Allah menetapkan sejak semula atau bahkan Allah berkehendak menetapkan sejak semula, ia menambahkan kata “kuasa” kepada kata “kehendak”.
Tidak mungkin seseorang mengatakan berdasarkan Alkitab bahwa pembunuhan Yesus yang berdosa itu – dan juga ketidakpercayaan – tidak ditetapkan sejak semula oleh Allah. Alkitab memberikan tekanan yang terlalu kuat untuk itu.
3. Kisah Para Rasul 3:18
“Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.
Sebelum ayat ini, Petrus memarahi dan menuduh orang- orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan Yesus: “Yesus, yang kamu serahkan dan tolak di depan Pilatus, walupun Pilatus berpendapat bahwa Ia harus dilepaskan – Tetapi kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar,
serta menghendaki seorang pembunuh sebagai hadiahmu. Demikianlah Ia, Pemimpin kepada hidup, telah kamu bunuh” (ay. 13,14). Tetapi Petrus selanjutnya mengatakan bahwa semua itu terjadi sebagai penggenapan apa yang Allah telah nubuatkan tentang kematian Kristus.
Jadi, siapa yang melakukan? Siapa yang membunuh Yesus? Alkitab mengatakan bahwa orang-orang Yahudi itulah yang melakukan. Mereka dipersalahkan untuk hal itu. Namun diungkapkan selanjutnya bahwa Allah yang sedang menggenapi apa yang telah Ia wahyukan tentang kematian Kristus.
Segala sesuatu, termasuk dosa, boleh berlangsung oleh karena Allah – tanpa Allah merusak kesucianNya (perhatikan kembali bagaimana menempatkan kesalahan manusia dan penetapan Allah atas dosa secara berdampingan).
4. Lukas 22:22
“Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!”
Di dalam ayat ini, “akan pergi” menunjuk kepada apa yang baru saja dikatakan, yaitu, bahwa Yudas akan mengkhianati dan menyerahkan Yesus. Maka Yesus sedang mengatakan dengan sangat jelas akan hal yang akan terjadi di dalam hidupNya – penyerahan, pengadilan, dan penyalibanNya – “telah ditetapkan”. Mereka tidak diubah. Allah telah menetapkan hal-hal itu. Dengan kata lain, Allah menetapkan dosa dan ketidakpercayaan.
Kembali, ada suatu pendekatan yang ketat sekali antara kedaulatan ilahi dengan tanggung jawab manusia. Dengan kalimat yang serupa Yesus membicarakan bahwa penyerahan diriNya telah ditetapkan sebelumnya. Ia menyimpulkan, “tetapi celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Manusia selalu terikat pada pendekatan ini. Ia ingin mengatakan bahwa jika Allah berdaulat, maka manusia tidak perlu bertanggung jawab; atau ia ingin menekankan tanggung jawab manusia dan membuang kedaulatan. Allah. Namun demikian, Alkitab berulang kali mengatakan keduanya secara bersamaan. Maka menjadi tugas orang Kristen untuk menerima keduanya, menyadari bahwa pikiran Allah jauh lebih tinggi daripada pikiran manusia, bagaikan langit lebih tinggi daripada bumi ini.
5. Kejadian 45:5-8
“Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai. Maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu, sehingga sebagian besar daripadamu tertolong. Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah; Dialah yang telah menempatkan aku sebagai bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (lihat juga Maz 105:17)
Ayat ini merupakan salah satu pernyataan Alkitab yang paling kuat di dalam mendukung kuasa Allah mengatasi dosa manusia. Pada faktanya, berita ini sedemikian jelasnya sehingga sangat sulit bisa disalah-tafsirkan. Perhatikan peranan Allah di dalam kehidupan Yusuf :
a. Yusuf hampir mengampuni seluruh kejahatan saudara-saudaranya yang sedemikian jahat. Mereka salah, mereka telah bertindak imoral, mereka membenci saudaranya sendiri dan merencanakan untuk membunuh dia. Dan mereka telah menjual dia menjadi budak, dan kemudian merancang cerita dan begitu berani menipu ayah mereka sendiri. Namun Yusuf berkata, “Jangan takut, Allah berada di belakang semua itu.”
b. Yusuf berkata bahwa mereka tidak mengirim dia ke Mesir. Bagaimana Ia bisa mengatakan hal itu? Pasal 37 dengan jelas menjelaskan bahwa “mereka telah bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya” (ay. 18). Dan mereka “menjual kepada orang Ismael itu dengan harga dua puluh syikal perak” (ay. 28). Yusuf mengetahui bahwa hal
ini hanya benar dari sudut pengalaman manusia saja. Ketika ia dengan benar menyatakan itu di dalam 45:8, “Bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini,” tidaklah berkontradiksi dengan apa yang telah ia ketahui secara baik, yaitu bahwa memang mereka yang telah membuat ia sampai di Mesir. Tetapi ini adalah caranya untuk menunjukkan bawha dosa-dosa saudara-saudaranya bukan sesuatu yang terjadi secara membabi buta dan kebetulan tanpa Allah turut bekerja di dalamnya. Dengan cara yang misterius, Allah yang mutlak suci dan yang membenci dosa, telah terlibat sangat dalam di dalam dosa-dosa saudara-saudara Yusuf tersebut.
Alasannya adalah Allah ingin memelihara Israel menjadi suatu bangsa. Ia tidak ingin Israel dipunahkan oleh kelaparan yang hebat itu. Karena Allah sudah merencanakan: “Ia ingin “menyelamatkan jiwa,” yaitu kehidupan orang Israel. Ia ingin “menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu”. Memang Alkitab tidak mengatakannya di sini, tetapi Allah juga menginginkan dari bangsa ini datang Mesias, Juruselamat dunia.”
Allah tidak akan membiarkan rencanaNya dibubarkan secara kebetulan, menurut kehendak manusia. Maka Yusuf secara kebetulan, menurut kehendak manusia. Maka Yusuf mengungkapkan berita mengejutkan ini bahwa saudara-saudaranya tidak mengirim dia ke Mesir! Jadi, kalau mereka tidak berbuat dosa, jadi siapa yang berbuat dosa?
“Allah menyuruh aku”(45:5). Pada saat terjadi kebingungan tentang siapakah yang berada di belakang semua kejahatan mengerikan ini, Alkitab dengan jelas membukakan dan mengatakan bahwa Allah sendiri di belakang semua ini! Tidak ada pernyataan yang lebih jelas: “Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku kesini, tetapi Allah.”
Saya hampir-hampir bingung sendiri ketika menuliskan hal ini. Menjual Yusuf sebagai budak adalah tindakan kriminal. Di dalamnya terdapat perencanaan pembunuhan, pengkhianatan, penipuan. Namun, siapakah yang melakukannya ? “Bukan kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah.” Itu alasan kedua tesis pertama harus diperkenalkan dan ditegaskan terlebih dahulu: Alkitab itu benar, dan Allah itu kudus. Kita tidak boleh melupakannya.
6. Kejadian 50 : 19, 20
“Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”
Hal yang sangat mengejutkan di sini adalah kata kerja yang sama yang dikenakan kepada tindakan Allah juga dipakai untuk tindakan kejahatan, yaitu tindakan dari saudara-saudara Yusuf (mereka-reka) yang jahat. Saudara-saudara Yusuf mereka-reka perbuatan jahat ketika mereka menjual Yusuf. Tentu juga sekarang Allah mereka-rekakan yang berlawanan demi agar orang Israel bisa diselamatkan. Tetapi, jika mengabaikan motif ini, faktanya adalah dengan cara yang tidak jelas bagi kita, Allah yang melawan dosa, telah secara aktif memakai dosa untuk menggenapkan rencanaNya. Saudara-saudara Yusuf mereka-reka dan Allah juga mereka-reka. Kata kerja yang sama dipakai untuk tindakan yang sama, tetapi dengan motif yang berbeda.
Sisa bukti-bukti Alkitab untuk tesis ketiga yang sangat mengagumkan ini dapat ditemukan di apendiks. Tetapi Alkitab berbicara dengan sangat jelas: Allah menetapkan dosa.
TESIS 4
Secara historis, sebagian besar (tidak semua) membicarakan reprobasi dalam dua bagian, yaitu: (1) preterisi – yang lampau dan (2) penghukum.
1. Preterisi (dari kata Latin praeter [oleh/ melalui] + ire [pergi] berarti melewati. Di dalam menetapkan beberapa orang yang akan diselamatkan, Allah telah memilih beberapa orang dan membiarkan sisanya.
2. Penghukuman. Mereka yang dilewati oleh Allah akan dihukum secara kekal oleh karena dosa-dosa mereka sendiri.
Beberapa teolog cenderung untuk membatasi reprobasi hanya sampai pada preterisi saja. Pilihan paralel ini sangat dekat satu sama lain. Tetapi sama sekali tidak mempengaruhi – entah kita memasukkan atau tidak penghukuman itu – sejauh istilah reprobasi itu telah jelas artinya.
TESIS 5
Reprobasi sebagai preterisi bersifat tak bersyarat, dan sebagai penghukuman ia bersyarat.
1. Preterisi yang tidak bersyarat.
Allah tidak memilih sebagian orang bukan karena persyaratan ketidakpercayaan mereka. Alah tidak melihat terlebih dahulu orang yang mana yang nantinya dengan keinginannya sendiri akan menolak Kristus, dan berdasarkan alasan itu menolak mereka. Sama seperti pemilihan itu tanpa syarat (Allah tidak memilih orang karena Ia telah tahu terlebih dahulu siapa saja yang mau menerima Yesus), demikian pula preterisi bersifat tanpa syarat. Hal itu tidak lagi didasarkan pada pengetahuan awal Allah tentang apa yang independen di dalam keputusan tindakan manusia terhadap Yesus lalu memilihnya. Sama seperti alasan pemilihan ada di dalam diri Allah sendiri saja – dan tidak pernah di dalam manusia – demikian pula alasan preterisi hanya ada di dalam diri Allah saja dan tidak di dalam manusia.
Satu-satunya alasan yang diberikan bagi pemilihan Yakub dan melewati Esau adalah: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau” (Rm 9:13). Alasan itu ada pada Allah dan bukan pada pengetahuan awal tentang kebaikan atau kejelekan yang akan mereka lakukan. (“Sebelum si kembar itu lahir dan melakukan hal yang baik dan jahat – sesuai dengan maksud pemilihan Allah ditegaskan: bukan karena perbuatan tetapi hanya karena Dia seseorang dipanggil – ia diberitahu, ‘yang tua akan melayani yang lebih muda.’”) Seperti Calvin berkata, “Sama seperti Yakub, yang tidak melakukan perbuatan baik apapun juga, telah dibawa masuk ke dalam kasih karunia, demikian pula Esau, yang belum melakukan kejahatan apa pun juga, telah dibenci.”
Bukti yang paling kuat bahwa preterisi tidak bersyarat dan ketidakpercayaan telah ditetapkan oleh Allah ditemukan di dalam pertanyaan hipotesis yang Paulus angkat sebagai respon terhadap penekanan yang sedemikian kuat dari kedaulatan Allah baik dalam pemilihan maupun reprobasi. Ia secara hipotesis bertanya, bagaikan seorang peragu sedang mempertanyakan hikmat Allah: “Lalu apa yang harus kita katakan ? Apakah Allah tidak adil?” Pertanyaan ini membicarakan tentang predestinasi-ganda (pemilihan dan reprobasi) yang bersifat tanpa syarat. Predestinasi tidak bergantung pada penglihatan awal Allah terhadap manusia akan percaya atau tidak, maka predestinasi itu akan terlihat sangat adil. Maka manusia akan mendapatkan upah atas apa yang ia lakukan. Dan untuk itu tidak perlu Paulus mengangkat pertanyaan-pertanyaan seperti itu lagi.
Maka pertanyaan mendasar tentang ketidakadilan Allah (“Apakah Allah tidak adil?”) mutlak didasarkan pada anggapan bahwa pilihan dan reprobasi tidak disandarkan pada kelakuan manusia, tetapi pada dekret Allah.
Sebagai faktanya, Paulus segera melanjutkan dengan kalimat yang benar. “Sebab Ia berfirman kepada Musa: Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siap aku akan bermurah hati” (9:15,16) .
Paulus memperjelas dengan menekankan bahwa “Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada
siapa yang dikehendakiNya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendakiNya”(9:18). Kembali ia mempertanyakan: “Siapa yang akan berkata kepadaku: Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya ? Sebab siapa yang menentang kehendakNya ?”
Kembali lagi, pertanyaan ini hanya bisa dimengerti jika preterisi dan ketidakpercayaan hanya didasarkan di dalam diri Allah. Karena jika preterisi dan ketidakpercayaan mutlak didasarkan pada manusia – jika Allah menghukum ke neraka hanya mereka yang Ia ketahui terlebih dahulu akan menolak Yesus, terlepas dari semua pengaruh Allah – maka tidak ada alasan bagi Paulus untuk mengangkat pertanyaan hipotesis tentang tuduhan ini. Tuduhan ini dengan tegas dikenakan kepada manusia, dan Paulus tidak mempertanyakan keadilan Allah. Pertanyaan tentang pelanggaran ini hanya akan masuk akal apabila berdasarkan apa yang dengan benar Paulus katakan, yaitu bahwa pilihan dan reprobasi tidak “tergantung pada kehendak manusia (percaya atau ketidakpercayaan) atau usaha manusia” dan bahwa Allah “menegarkan hati siapa yang dikehendakiNya.”
Jadi, Roma 9 sangat jelas menegaskan bahwa baik pilihan maupun preterisi bersifat tanpa syarat. Dasar mutlaknya adalah di dalam diri Allah: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.”
2. Penghukuman yang bersyarat
Reprobasi sebagai hukuman bersifat bersyarat dalam pengertian bahwa sekali seseorang tidak dipilih, maka ia dihukum oleh Allah karena dosa-dosa dan ketidakpercayaannya. Sekalipun segala hal – termasuk ketidakpercayaan dan dosa – muncul dari dekret kekal Allah, manusia tetap akan dituduh karena dosa-dosa mereka. Ia tetap bersalah; semua perbuatan itu adalah kesalahannya dan bukan kesalahan Allah.
TESIS 6
Preterisi adalah bagian kebalikan dari pemilihan.
Jika Allah memilih sebagian, maka pasti Ia tidak memilih yang lainnya. Ada atas berarti ada bawah; ada belakang berarti ada depan; ada basah berarti kering; ada yang kemudian berarti ada yang lebih dahulu; ada yang dipilih berarti ada yang tersisa karena tidak terpilih.
Berbicara seperti itu bukanlah penyalahgunaan logika, tetapi merupakan suatu keharusan di dalam pembicaraan. Memilih beberapa – dalam pengertian yang paling ketat dari Alkitab sendiri – berarti ada yang tidak terpilih, ada yang ditinggalkan, ada yang dilewati. Memilih 60 apel dari 100 apel, berarti ada 40 yang tersisa. Merupakan hal yang tidak mungkin untuk memilih sebagian dari suatu jumlah tertentu tanpa meninggalkan sisanya.
Preterisi harus merupakan deduksi logis dari pemilihan, seperti yang sebagian kita percayai, dan sekaligus memang merupakan definisi yang ketat dari Alkitab sendiri. Pemilihan tanpa preterisi hanyalah suatu istilah teologis yang kosong dan sia-sia, suatu ide mitos dari pikiran yang tidak beres.
Seperti kata Calvin, “Sesungguhnya, ketika banyak orang berharap bisa menyingkirkan kemarahan Allah, mereka menerima pengertian pemilihan sedemikian rupa sambil menyangkal bahwa ada orang yang akan dihukum. Namun mereka telah bersikap sedemikian bodoh dan kekanak-kanakan, karena pemilihan pada dirinya sendiri tidak dapat berdiri tanpa reprobasi.”
TESIS 7
Allah tidak mengaktifkan dosa dan ketidakpercayaan sama seperti Ia mengaktifkan perbuatan baik dan iman.
Semua hal dan peristiwa ditetapkan oleh Allah. DekretNya secara efektif menjadikan
segala sesuatunya. Tetapi Allah tidak bekerja menurut cara langsung di dalam hal reprobasi, seperti yang Ia lakukan di dalam pemilihan. Sekalipun juga Allah pada hakekatnya tidak menyukai dosa, Ia menetapkannya secara awal seperti juga Ia menyukai hal yang baik yang Ia tetapkan secara awal. Untuk hal yang pertama, Ia menginginkan dengan tidak rela, sementara yang kedua Ia menginginkannya dengan rela. Seperti Calvin berkata, “Sekalipun Allah dan setan menginginkan hal yang sama, mereka melakukan hal itu dengan maksud yang sama sekali berbeda.”
Dalam kasus pemilihan, Allah menginginkan dengan mengirimkan Roh Kudus, tetapi di dalam menetapkan dosa dan setan, Ia sama sekali tidak senang. Di kasus pemilihan Allah mengirimkan Roh Kudus untuk tinggal di dalam umatNya dan meneguhkan satu kesatuan spiritual antara mereka dengan Kristus, sementara pada kasus reprobasi Allah tidak mengirimkan iblis untuk tinggal di dalam mereka dan menegakkan kesatuan spriritual antara mereka dengan iblis. Sekalipun Roh Kudus merupakan Sumber iman dan kesucian yang segera akan timbul, tidak demikian dengan iblis, tidak ada kesetaraan sumber yang menghasilkan ketidakpercayaan dan kejahatan.
Kanon Dort (1619) dengan jelas menolak ide “bahwa dengan cara yang sama, pilihan merupakan sumber dan penyebab iman dan perbuatan baik, reprobasi penyebab ketidakpercayaan dan ketidaksucian.” (Harus secara hati-hati diperhatikan bahwa Kanon ini tidak menolak bahwa Allah menetapkan ketidakpercayaan dan ketidaksucian; mereka hanya menolak cara penetapan yang sama.)
TESIS 8
Penolakan terhadap pengajaran reprobasi biasanya lebih disebabkan oleh rasionalisme skolastik ketimbang ketaatan yang rendah hati kepada Firman Allah.
Seperti biasanya, para penganut Arminian dan penolak reprobasi beralasan: sangat mengherankan jika berkata Allah menetapkan segala sesuatu – termasuk ketidakpercayaan dan neraka – karena dengan demikian Allah menjadi pencipta dosa, dan manusia tidak bisa disalahkan. Ia menuliskan: “Bagaimana Allah kebenaran, yang setiap hari menjaga perjanjianNya di dalam alam dan kasih karunia, - dengan tulus dan keyakinan yang baik memanggil manusia untuk percaya kepadaNya dan menerima Injil ketika di dalam fakta aktualnya, melalui dekret kekal menetapkan apa yang harus terjadi, tanpa alasan mereka dapat menerima panggilan yang tiba pada mereka. Bagaimana Saudara dapat membaca hal ini selain dari suatu kontradiksi, suatu ya dan tidak pada titik yang sama?
Maka pertanyaannya sekarang bukannya: Apa yang Alkitab katakan? Tetapi menjadi: Bagaimana pikiran saya yang terbatas ini bisa mengertinya? Apa yang berkontradiksi dan apa yang tidak?
Betapa berbedanya cara bertanya seperti ini dengan pendekatan Calvin yang rendah hati terhadap Firman Allah! Ia menerima apa saja yang dikatakan Alkitab, sekalipun hal itu melampaui kemampuan pengertian dan pikirannya. “Berapa jahatnya memang kegilaan manusia, yang ingin menaklukkan hal-hal yang tidak terukur ke bawah ukuran pikirannya sendiri yang begitu kecil!”
Di dalam karyanya Consensus Genevensis, setelah menekankan dengan begitu tegas bahwa dosa berada di dalam dekret kekal Allah. Calvin berkata, “Jika siapapun harus menjawab bahwa hal ini berada di atas kemampuan pikirannya untuk mengerti, saya juga menyadari dan mengaku hal yang sama. Tetapi mengapa kita harus membayangkan ketidakterbatasan dan ketidakdapatmengertian keagungan Allah harus melampaui batas intelektual kita yang sempit ini? Bagaimanapun juga, sejauh ini apakah kewajiban saya untuk menjelaskan misteri yang begitu dalam dan tersembunyi berdasarkan kekuatan pikiran manusia, sehingga saya tidak pernah bisa mempertahankan ingatan saya sendiri akan apa yang saya nyatakan di awal diskusi ini – bahwa
mereka yang berusaha mengetahui lebih banyak daripada apa yang Allah telah nyatakan adalah orang gila! Di mana pun juga, marilah kita lebih mencukupkan diri kita sendiri dengan kebodohan bajik kita daripada dikuasai rasa ingin tahu yang berkelebihan dan beracun untuk mengetahui lebih banyak dari apa yang Allah izinkan.”
Atau juga di tempat lain: “Segera setelah pikiran tidak dapat lagi melihat dengan cepat karya Allah yang tertentu, manusia dalam hal tertentu segera harus bersiap menunjuk satu hari untuk memasuki pengadilanNya.”
Lebih jauh lagi: “Bagaimana jadinya Allah dengan pengetahuan awalNya dan dekretNya menetapkan apa yang seharusnya terjadi di dalam manusia, dan kini menetapkannya tanpa diriNya sendiri paling tidak turut ambil bagian dalam kesalahan itu, atau paling parah menjadi pencipta atau pendukung dari pelanggaran itu – Sekali lagi saya ulangi, bagaimana bisa jadi itu adalah suatu rahasia yang berada terlalu jauh untuk bisa dimengerti pikiran manusia, pun saya tidak malu mengaku kebodohanku yang diselubungi oleh Tuhan di dalam cahaya kemuliaanNya sendiri.”
Maka Calvin menyadari bahwa dekret tentang dosa dan reprobasi jauh melampaui pengertiannya, tetapi dengan rendah hati ia menerimanya karena Allah mewahyukan sedemikian. “Kebodohan yang percaya lebih baik daripada pengetahuan yang kotor.”
John Murray juga mengambil sikap rendah hati yang sama terhadap Firman Tuhan, sekalipun di dalam pikirannya masih ada suatu “kontradiksi.” “Dan ada dispariti antara kehendak dekretif dan kehendak preseptif, antara penetapan pertimbangan rahasiaNya yang menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu dengan penggambaran kehendakNya yang dinyatakan kepada kita bahwa kita tidak mungkin dapat menyebabkan peristiwa itu bisa terjadi . Maka tidak dapat dikatakan bahwa kehendak dekretif Allah meniadakan perintah preseptifNya. Tepat dalam pertimbangan ini bahwa doktrin kedaulatan Allah paling keras difokuskan pada tuntutannya terhadap iman dan ketaatan kita. Jika saya tidak salah, pada titik inilah kedaulatan Allah menjadikan pikiran manusia berjalan seperti yang seharusnya, seperti yang tidak pernah terjadi di tempat lain dalam kaitan dengan topik ini.”
Sikap kita terhadap rahasia yang besar tentang reprobasi dan kasih Allah haruslah seperti Paulus ketika ia mengatakan “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah ? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: Mengapakah engkau membentuk aku demikian?”(Rm 9:20). Dan “O, alangkah dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!”(Rm 11:33).
Ketika Allah berkata – seperti yang dengan jelas dilakukanNya dalam Roma 9 – Maka kita hanya perlu mengikutinya dan percaya, sekalipun ketika kita tidak dapat mengertinya, dan bahkan jika hal itu kelihatannya berkontradiksi di dalam pikiran kita yang kecil ini.
TESIS 9
Salah bila berharap Alkitab akan memberikan perlakuan secara teologis sistematis tentang reprobasi.
Sebagian orang tidak terlalu menghargai pengajaran Alkitab tentang reprobasi karena tidak terlalu banyak teks yang membincangkannya dan karena tidak dinyatakan secara tegas dan sistematis di dalam satu bagian Alkitab tertentu.
Tidak ada penghargaan seperti itu muncul dari suatu kenaifan. Maksud dari Alkitab bukanlah mau memberikan suatu presentasi doktrin secara sistematis. Tujuannya adalah menunjukkan kepada manusia bagaimana ia bisa diselamatkan dan bagaimana harus hidup. Namun demikian, dengan memperbandingkan Alkitab dengan Alkitab sendiri, berulang kali kita dimungkinkan untuk sampai pada penggambaran fakta-fakta itu secara cukup lengkap. Jadi, tidak ada satu tempat tertentu memberikan satu paket yang berisi seluruh pengajaran tentang Tritunggal
atau tentang natur Kristus seperti dalam pengakuan iman Chalcedon, tetapi fakta-faktanya memang ada di seluruh Alkitab tersebut.
Dan seringkali logika – untuk menyangkal para Biblisis6 – harus dipergunakan. Tetapi tidak salah kita mempergunakan akal dan logika sejauh hal itu dipergunakan secara tepat. Tidak ada cara yang benar atau tidak benar di dalam mempergunakannya. Misalnya, tidak ada tempat dalam Alkitab yang mengatakan bahwa orang Kristen harus membaptiskan Bayi: namun praktik penting seperti ini dapat diperoleh melalui deduksi Alkitab. Dasar dari baptisan anak/bayi ditemukan di dalam data Alkitab. Juga tidak ada ayat di dalam Alkitab yang mengatakan bahwa wanita boleh turut ambil bagian dalam perjamuan kudus, namun pengajaran seperti itu bisa dideduksi dari Alkitab. Pada faktanya, memang seharusnyalah kita melakukan hal sedemikian.
Demikian pula, tidak ada satu tempat tertentu dalam alkitab yang secara sistematik, teologis, membahas kedua bagian reprobasi, yaitu reprobasi yang merupakan kontras mutlak dari pemilihan, bahwa dari sejak kekekalan Allah telah menetapkan adanya orang-orang yang tidak percaya dan neraka, bahwa orang berdosa yang harus dipersalahkan dan bukannya Allah, dan bahwa orang-orang berdosa pasti akan dihukum karena dosa-dosa mereka sendiri. Namun, sama yakinnya dengan pada saat gereja menjalankan baptisan anak, demikian pula Alkitab mengajarkan kebenaran tentang reprobasi.
TESIS 10
Seseorang tidak mengetahui jika ia ditolak (direprobasi), tetapi ia mungkin mengetahui jika ia dipilih.
Tidak ada satu pun cara bagi seseorang untuk mengetahui bahwa ia telah terhilang dari sejak kekekalan, karena selalu ada kemungkinan ia bisa berpaling kepada Kristus sampai pada titik kematiannya.
Di pihak lain, memang dimungkinkan bagi seseorang untuk mengetahui bahwa ia adalah umat pilihan. Jika ia percaya dengan tulus di dalam Yesus Kristus, maka ia mengetahui bahwa ia telah diselamatkan. Yohanes menuliskan “Semuanya ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal: (I Yoh 5:13). Akan tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai (II Tes 2:13) dan telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya (Ef 1:5)
Sebuah gereja mungkin bisa tidak lagi menjalankan ekskomunikasi (pengucilan) berdasarkan doktrin reprobasi, karena gereja tidak pernah tahu siapa yang menjadi seorang reprobat. Namun, gereja harus lebih mengundang semua orang berdosa kembali kepada Kristus – sekalipun ia sedang dikucilkan! Gereja hanya menjalankan disiplin gereja berdasarkan ketidak-mau-bertobatan, dan tidak pernah berdasarkan suatu pengetahuan dan rahasia ilahi tentang siapa orang yang dipilih dan siapa yang ditolak.
TESIS 11
Reprobsi merupakan berita yang harus dikhotbahkan.
Beberapa orang malu mengkhotbahkan reprobasi, hanya disebabkan oleh kebodohan. Tidak seorangpun yang boleh berpikir bahwa ia lebih bijak daripada Allah dan menyembunyikan apa yang Allah telah nyatakan. Tetapi ia harus lebih mengikuti teladan Paulus kepada jemaat
6 Orang-orang yang berpandangan bahwa untuk melihat, menafsir, dan mengerti Alkitab, seseorang haruslah menanggalkan logikanya.
Efesus, ketika ia berkata bahwa ia tidak lalai memberitakan “seluruh maksud Allah kepadamu” (Kis 20:27).
Calvin berbicara dengan terbuka: “Oleh karena kita harus berjaga-jaga melawan orang percaya yang rusak iman dengan menutupi tentang predestinasi dalam Alkitab, maka kita bisa kelihatan begitu jahat mengeluarkan mereka dari berkat Allah atau kita akan menuduh dan menghina Roh Kudus karena mempublikasikan apa yang sebetulnya lebih baik kalau ditutupi.”
Satu hukum yang penting adalah memberikan penekanan dan proporsi yang sama untuk reprobasi dan pemilihan seperti yang diberikan oleh Alkitab. Tentu saja Alkitab tidak akan memberikan pembahasan dan penekanan yang banyak untuk iblis, neraka, dan reprobasi. Tetapi Alkitab sungguh mengajarkannya dan demikian pula seharusnya dilakukan oleh setiap orang Kristen yang percaya. Pusat dari Alkitab adalah berita baik dari Juruselamat, sorga, dan pemilihan. Berita keselamatan muncul di setiap halaman Alkitab, maka kita harus memberikan tekanan yang setara itu.
TESIS 12
Kebodohan adalah hikmat.
Ketika kita berbicara tentang penetapan dosa dan ketidak percayaan sejak semula, tanggung jawab manusia, reprobasi, dan kesucian Allah, maka kita masuk ke dalam beberapa misteri yang terdalam dari kekekalan. Topik-topik ini bukanlah masalah seperti membicarakan rahasia alam, di mana sering dikatakan, “Berikanlah kepada hari esok, maka aku akan menggali kedalaman alam semesta ini.” Tetapi kita lebih berurusan dengan rahasia yang tidak akan dapat diselesaikan hari ini, atau di dalam seribu tahun, ataupun di dalam kekekalan sekali pun. Bahkan ketika kita bertemu muka dengan muka dengan Allah, kita tetap adalah ciptaan dengan pengertian yang terbatas. PengetahuanNya bukan lebih besar secara kuantitatif dengan kita, tetapi juga berjarak secara kualitatif dengan kita.
Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk menyadari keterbatasan pengetahuan kita, bahwa kita tidak boleh merogoh ke dalam wilayah yang tidak dibukakan kepada kita. Seperti dikatakan John Calvin berkenaan dengan hal ini, “Kebodohan adalah hikmat; memaksa untuk tahu adalah suatu kegilaan” dan “masihlah kita tidak malu mengaku bodoh untuk sesuatu hal di dalam wilayah ini, di mana ada suatu kebodohan tertentu yang bijak.”
Kini kita berputar sepenuhnya dalam lingkaran kita kembali ke tesis pertama kita: Alkitab adalah Firman Allah yang infallible dan inerrant dan sebagai patokan final untuk semua pengajaran, termasuk juga reprobasi. Pencobaannya adalah usaha untuk menerima hanya apa yang disetujui oleh logika kita ketimbang apa yang Alkitab ajarkan. Pikiran kita menolak ide bahwa Allah yang suci dapat menetapkan dosa dan ketidakpercayaan. Tetapi kita harus belajar rendah hati dan menerima apa yang Allah telah nyatakan. Jika ada ratusan kutipan atau bahkan jika hanya ada satu saja kutipan yang menyatakan bahwa Allah menetapkan dosa, maka kita harus menerimanya dengan iman.
Kita tidak boleh melawan kebodohan di mana Allah telah berbicara. Sikap seperti itupun merupakan penghinaan terhadap Allah. Segala sesuatu yang Allah nyatakan memang perlu dan teruji. Maka, sasaran kita di dalam pengajaran tentang reprobasi harus berjalan sejauh apa yang Alkitab lakukan, tidak melebihi hal itu.
(Calvinis Soteriology)
0 Response to "Doktrin Keselamatan Calvinis"
Post a Comment
Anda Sopan...!, Kami Pun Segan