Konselin Pastoral Kepada Anak Korban Perceraian
Konseling Pastoral Bimbingan Kepada Anak Korban Perceraia
A. latar Belakang Konselin Pastoral Kepada Anak Korban Perceraian
Konseling pastoral adalah alat yang penting sekali yang membantu gereja menjadi pos penyelamat jiwa, tempat berlindung, taman kehidupan rohani dan bukan suatu klub atau museum. Konseling dapat membantu menyelamatkan bidang kehidupan yang menderita kerusakan dalam badai kehidupan sehari-hari, yang hancur karena rasa cemas, rasa bersalah dan kurangnya integritas kepribadian.[1] Menderita kerusakan dalam kehidupan menjadikan seorang pribadi seolah merasa terasing terhadap lingkungan sosialnya sendiri. Bukan saja pada orang yang sudah dewasa, tetapi perasaan semacam itu menjadi momok yang menakutkan bagi anak-anak. Terutama bagi anak-anak yang mengalami permasalahan pada lingkup keluarga. Terkhusus pada peristiwa perceraian yang kerapkali terjadi. Bagi anak-anak yang mengalami peristiwa tersebut pada kedua orang tuanya, tentu perasaan dan kejiawaan si anak menjadi terganggu. Dengan demikian, perilaku si anak biasanya menjadi tak karuan.Pada tahun 2015 berdasarkan data dari Kemenag ada 398.245 gugatan, terdiri dari 113 ribuan gugatan talak oleh suami, sedangkan 281 ribu lebih oleh istri. Kemudian, pada tahun 2017 meningkat menjadi 415.898 gugatan cerai.[2] Di sisi yang lain, berdasarkan data yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang. Artinya, tingkat perceraian yang ada di Indonesia masih sangat tinggi. Oleh karena itu dampak negatif terhadap anak yang menjadi korban perceraian sangat beragam. Yaitu meliputi: merasa malu dengan perceraian orang tua, merasa mudah marah jika orang lain tidak sesuai dengan keinginan si anak, merasa sulit fokus terhadap sesuatu, merasa kehilangan rasa hormat terhadap orang tua dan mudah menyalahkan orang tua, melakukan sesuatu yang salah, sering tidak peka terhadap lingkungan, tidak memiliki etika dalam bermasyarakat, tidak memiliki tujuan hidup, ingin menang sendiri, merasa tidak aman dengan lingkungan sekitar karena tidak ada orang tua yang melindungi secara utuh. Dampak negatif yang bervariasi menunjukkan bahwa perceraian dipastikan memunculkan dampak psikologis negatif pada anak.[3]
Berdasarkan dengan ragam permasalahan di atas, maka penulis akan memaparkan beberapa hal yang sekiranya boleh digunakan sebagai dasar pijakan bagi siapapun yang akan mengadakan bimbingan dalam perspektif konseling pastoral terhadap anak korban perceraian.
B. Topik Bahasan
Berdasar pada latar belakang masalah di atas, pembahasan yang dipaparkan pada makalah ini:
a. Apa itu konseling pastoral?
b. Bagaimana metode konseling pastoral?
c. Bagaimana psikologi anak korban perceraian?
d. Bagaimana konseling pastoral anakterhadap korban perceraian?
e. Apa tujuan yang menyeluruh dari bimbingan konseling pastoral terhadap korban perceraian?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dari topik bahasan di atas, tujuan penulisan makalah ini:
a. Menjelaskan tentang konseling pastoral.
b. Memaparkan tahap-tahap konseling pastoral.
c. Menjelaskan psikologi anak korban perceraian.
d. Menjelaskan konseling pastoralterhadap korban perceraian.
e. Memaparkan tujuan bimbingan konseling pastoral terhadap korban perceraian secara utuh.
Memahami Konseling Pastoral
Istilah Konseling berasal dari kata “konseling” dan “pastoral”.[5] Kata konseling berasal dari bahasa Inggris to counsel yang secara harfiah berarti memberi arahan, nasihat. Kata pastoral berasal dari bahasa Latin pastore, dalam bahasa Yunani disebut poimen yang berarti gembala. Secara tradisional dalam kehidupan bergereja , tugas gembala adalah tugas pendeta yang harus berlaku sebagai gembala bagi domba-domba (anggota jemaat). Istilah ini dihubungkan dengan Yesus Kristus dan karyaNya yang digambarkan sebagai gembala yang baik (Yohanes 10).[6]Koseling Pastoral (Pastoral Counseling) adalah suatu lapangan khusus dari penggembalaan, semacam spesialisasi, karena konseling pastoral hanya kepada orang-orang yang berkesukaran emosi. Dalam konseling pastoral semakin dibutuhkan kemampuan pengetahuan kejiwaan manusia, psikoterapi serta psikiatri secara lebih baik. Biasanya dalam konseling orang yang berkesukaran emosi itulah yang datang, sedangkan dalam penggembalaaan tidak selamanya orang yang berkesukaran emosi yang datang, tetapi gembala itu mengunjungi dari kebanyakan merekaorang yang sehat namun juga orang sakit jasmani maupun rohani secara umum. Konseling pastoral itu juga termasuk satu bagian khusus dalam penggembalaan (Pastoral Care).
Penggembalaan adalah pelayanan penggembalaan umum yang mencakup kehadiran, mendengarkan, kehangatan dan dukungan praktis oleh gembala (pendeta,pastoral) sebagai pendamping. Mereka bisa juga dibantu dalam tugas pendampingan ini oleh para pelayan Kristen lainnya, termasuk warga jemaat yang sudah terlatih dalam bidang pendampingan pastoral. Landasan dari pengembalaan ini merupakan bersifat Alkitabiah. Artinya, sesuatu hal apapun yang tidak bertentangan dengan konsep-konsep Alkitab adalah juga bersifat Alkitabiah. Sedangkan Alkitab sendiri pada dasarnya merupakan sumber tradisi rohani dari kekristenan, maka hubungan yang erat dengannya dapat membantu kita untuk tetap berakar dalam keutuhan dari kebenarannya yang bersifat memelihara keutuhan.[7]
Bentuk pendampingan pastoral dalam kehidupan komunitas beriman bisa berwujud: Pertama,kotbah yang memandu warga dengan tema-tema khusus sesuai pergumulan jemaat saat itu. Kedua, pelayanan liturgi, misalnya apa saja yang perlu kita tata dan persiapkan agar jemaat merasakan kehadiran Allah dalam berbagai ibadah yang dilakukan di gereja kita? Ketiga, pelayanan diakonia: bagaimana agar upaya pemberian bantuan kita kepada sesama yang membutuhkan menjadi wahana olah batin meneruskan kemurnian pelayanan Tuhan Yesus kepada dunia? Keempat, perkunjungan rumah tangga: bagaimana menjadikan kegiatan ini sebagai wahana Allah yang melawat umatNya?
Mengingat pelayanan ini bersifatumum, maka idealnya siapapun bisadilibatkan dalam pendampingan pastoralini, selama orang tersebut memilikikemampuan berempati dan tingkat
kepedulian tinggi terhadap realitas yang menyekitarinya. Namun dalam kehidupan ini, kita menyadari bahwa tak jarang kita diperhadapkan pada situasi / krisis tertentu yang tidak mungkin dipenuhi melalui pendampingan (Care). Dalam rangka menolong orang dengan kondisi yang khusus inilah kemudian berkembang bentuk pendampingan khusus yang disebut konseling (Counselling), contohnya : konseling psikologis dan konseling psikoterapi. Keadaan khusus ini juga terjadi dalam komunitas beriman, oleh karena itu berkembanglah layanankonseling pastoral (Pastoral Counseling).
Konseling Pastoral adalah sebuah layanan percakapan terarah yang menolong orang yang tengah dalam krisis agar mampu melihat dengan jernih krisis yang dihadapinya. Dengan demikian, diharapkan, orang tersebut mampu menemukan kemungkinan solusi atas krisis yang dihadapinya. Contoh layanan konseling dalam komunitas beriman : Konseling kedukaan, Konseling kepada warga jemaat yangsakit, Konseling keluarga, dll. Mengingat konseling pastoral adalah sebuah layanan khusus yang diberikan kepada orang yang tengahmengalami krisis, maka orang yang akan melakukan layanan jenis ini minimal memiliki pengetahuan dasar tentang konseling, psikologi dan teori krisis serta dinamikanya. Bentuk layanan konseling yang disebutkan diatas adalah bentuk layanan konseling yang berupa tatap muka langsung.[8]
Memahami Fungsi Pastoral
Yang dimaksud dengan fungsi adalah kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pendampingan tersebut. Dengan demikian, fungsi pendampingan merupakan tujuan-tujuan operasional yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Menurut William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle di dalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical Perspective, terdapat 4 Fungsi Pelayanan Pastoral[9], yakni:
1. Pastoral sebagai Penyembuhan (Healing)
Fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Setiap orang yang mengalami penderitaan tidak dapat menerima apa yang terjadi terutama perubahan dari fungsi hidupnya. Luka batin, kerusakan tubuh seringkali tidak memampukan seseorang menerima keadaannya dengan baik, mereka merasa tidak berguna dengan keadaan yang dialami.Fungsi penyembuhan menyakinkan kembali bahwa masih ada pengharapan baru didalam kerusakan tubuhnya atau luka batinnya.Fungsi Pastoral sebagai penyembuhan ini sangatlah signifikan terutama bagi mereka yang mengalami “luka batin” akibat kehilangan atau terbuang, yang biasanya berakibat pada penyakit Psikosomatis[10], suatu penyakit yang langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat. Dengan Fungsi Pastoral ini, yakni kerelaan konselor untuk mendengarkan keluhan batin seseorang yang menderita dengan penuh perhatian dan kasih, ia akan mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah penyembuhan yang sebenarnya.[11]
2. Pastoral sebagai Penopangan atau Pentabahan (Sustaining)
Kita diperhadapkan kepada seseorang yang tiba-tiba mengalami krisis mendalam (kehilangan, kematian orang-orang yang dikasihi, dukacita) dan seringkali pada saat itu kita tidak dapat berbuat banyak untuk menolong. Keadaan ini bukan berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu, tetapi kehadiran Seseorang (pendeta misalnya) dalam rangka Fungsi Pastoral Sebagai penopangan adalah untuk membantu mereka bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Dukungan berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, akan mengurangi penderitaan mereka walaupun hampir pasti tidak dapat mengubah kenyataan yang sudah ada namun setidak-tidaknya orang tersebut tidak merasa “sendiri” atau ditinggalkan.
3. Pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding)
Fungsi membimbing penting dalam kegiatan menolong dan mendampingi seseorang. Fungsi ini merupakan panduan untuk menunjukkan jalan yang benar bagi seseorang sampai ia dapat mengambil suatu keputusan. Orang yang didampingi, ditolong untuk memilih/ mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Pendamping mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggung jawab dengan segala resikonya, sambil membimbing orang ke arah pemilihan yang berguna. Pengambilan keputusan tentang masa depan ataupun mengubah dan memperbaiki tingkah laku tertentu atau kebiasaan tertentu, tetap di tangan orang yang didampingi (penderita). Jangan sampai pendamping yang mewajibkan untuk memilih. Lebih bertanggung jawab apabila orang yang didampingi diberi kepercayaan untuk mengemukakan persoalannya bila sangat membutuhkan pemecahan.
4. Pastoral sebagai Pendamaian (Reconsiling)
Salah satu kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah adanya hubungan yang baik dengan sesama, apakah dengan orang yang dekat: suami-istri, anak-anak, menantu-mertua maupun dengan orang banyak: kelompok sebaya, masyarakat dan lain-lain. Oleh sebab itu, maka manusia disebut makhluk sosial. Apabila hubungan tersebut terganggu, maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Tidak jarang dengan adanya konflik tersebut, orang menjadi sakit secara fisik yang berkepanjangan. Sering orang tersebut tidak sadar persis pada posisi mana ia berpijak sehingga ia memerlukan orang ketiga yang melihat secara objekstif posisi tersebut.
Dalam situasi yang demikian, maka pendampingan pastoral dapat berfungsi sebagai perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu. Pendamping dapat menjadi cermin dalam hubungan tersebut (menganalisa hubungan). Menganalisa mana yang mengancam hubungan, akhirnya mencari alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Hal yang perlu mendapat perhatian pendamping adalah jangan sampai pendamping memihak salah satu pihak, ia hendaknya menjadi orang yang netral atau penengah yang bijaksana.
Fungsi dari Pastoral ini adalah berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Jika saya dan anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya. Hakikat manusia sebagai makhluk rasional dibutuhkan konselor untuk memahami situasi konseloing dalam membuat keputusan yang tepat.[12]
B. Metode Umum Konseling Pastoral
Tahap Awal, pada tahap ini konselor mendengarkan pergumulan pikiran atau perasaan konseli (yang mengalami sakit). Apabila relasi konselor cukup baik dengan konseli, pendampingan dapat diawali dengan berdoa memohon rahmat/berkat Tuhan agar proses KP yang akan dilangsungkan (kemungkinan bisa terjadi dalam beberapa pertemuan) dapat berlangsung dengan baik.Tahap Inti, pada tahap ini konselor berupaya menggali, mencari, menemukan pokok-pokok akar masalah (dari pikiran/perasaan konseli) serta akibat-akibat yang dihadapikonseli. Dalam tahap ini konselor perlu mengembangkan percakapan dengan menggunakan model-model: Respons Understanding (U), Respons Suportif (S), Respon Interpretatif (I), Respons Evaluatif (E):
a. Respons Understanding (U), berisi pemahaman dan pengertian, maksudnya konselor mengungkapkan dengan kalimatnya sendiri tentang pikiran/perasaan konseli. Respons Understanding ini sering ada dimana-mana dalam konseling, sehingga dapat dikombinasi dengan Rerspons SIE (Suportif, Interpretatif, Evaluatif).
b. Respons Suportif (S) isinya refleksi teologis, untuk mendukung, menentramkan, meneguhkan, menghibur konseli. Respons ini sangat berguna untuk merespons konseli yang mengungkapkan kebimbangan, keragu-raguan, ketakutan, kekhawatiran, gelisah, resah, sedih, duka, putus asa, “merasa kecil”/”minder”, dan tidak berdaya, bingung, kecewa, benci, dendam. Dalam percakapan pada tahap ini perasaan konseli perlu ditanggapi konselor dengan memberikan inspirasi teologis. Oleh karena itu konselor perlu memiliki pemahaman yang berkaitan dengan ayat-ayat Kitab Suci tertentu supaya dapat mendorong konseli keluar/membebaskan diri dari rasa itu.
c. Respons Interpretatif (I), isinya refleksi psikologis bertujuan untuk menafsir, menuntun, membimbing dan menerangkan. Intinya mengajak konseli merenungkan pikiran/perasaan yang menjadi problemnya dalam konteks pemikiran psikolog tertentu. Respons Interpretatif (I) ini akan mengarah ke Respons Evaluatif (E) dan Respons Action (A)
d. Respons Evaluatif (E) isinya unsur psikologis dan teologis. Respons ini berusaha mengevaluasi, menanggapi hal-hal yang baik dari konseli, memberikan ide-ide, alternative-alternatif jalan keluar, atau solusi.
Syarat utama agar kita dapat menjalankan pastoral adalah kemampuan mendengarkan pasien/klien.
Ada 5 syarat untuk dapat mendengarkan secara efektif Konseling Pastoral,yaitu:
2. Menunjukkan minat. Maksudnya kita nampak antusias terhadap persoalan yang tengah diceriterakannya.
3. Memberi perhatian terhadap lawan bicara, tidak sibuk sendiri dengan HP atau kegiatan lain. Singkatnya, menyingkirkan segenap gangguan yang kemungkinan ada.
4. Empati: keinginan dan kemauan pendengar untuk berada atau masuk dalam situasi/kondisi yang dialami lawan bicara.
5. Bersikap sabar, tenang dan ramah saat memberikan masukan/umpan balik.
C. Psikologi Anak: Korban Perceraian
"Salah satu yang kita ketahui tentang perceraian adalah bahwa hal itu mengganggu perkembangan normal dalam kehidupan anak-anak," ujar Profesor Family Social Science di University of Minnesota, Steven Harris. "Misalnya, [perceraian] mengakibatkan anak menjadi tidak fokus dengan studinya atau hubungan dengan teman sebayanya."[14]
Menurut Leslie (1967), reaksi anak pada perceraian orang tua akan sangat tergantung dari penilaian sebelumnya pada kehidupan pernikahan orang tua serta rasa aman saat berada di dalam lingkungan keluarga. Namun kadang kala, reaksi tersebut memunculkan sisi negatif dibandingkan positifnya. Bahkan jika memang kondisi keluarga sebelum perceraian memang tidak baik, tentunya akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak. Apalagi kebutuhan kasih sayang dan kehangatan keluarga adalah hal yang penting untuk perkembangan anak. Jika ini tidak didapatkannya maka saat beranjak dewasa, secara tidak langsung mempengaruhi kepribadiannya. Berikut adalah beberapa dampak perceraian yang sering terjadi terhadap psikologi anak. (baca juga: Gangguan Psikotik)
Saat perceraian terjadi, ada beberapa hal yang dapat terjadi pada psikologi anak antara lain adalah: Rasa tidak aman atau insecurity, perasaan sedih yang mendalam karena kedua orang tua harus berpisah, rasa kesepian, marah, tidak diinginkan ataupun ditolak orang tuanya yang sudah pergi, merasa kehilangan, menyendiri dan menyalahkan diri sendiri yang menyebabkan perceraian kedua orang tuanya terjadi. Perasaan-perasaan tersebut nantinya dapat menyebabkan perubahan pada kondisi kepribadiannya saat anak menginjak usia dewasa. Mereka akan terus merasa untuk takut gagal, takut menjalin kedekatan dengan orang lain, sering membayangkan jika orang tuanya dapat bersatu kembali, bahkan hingga lebih senang menyendiri di lingkungan sosialnya. Selain itu, dampak lainnya juga dapat terjadi yaitu anak akan menjadi lebih kasar, bertindak agresif, sering mengamuk, bahkan hingga membenci salah satu ataupun kedua orang tuanya.[15]
D. Konseling pastoral terhadap anak korban perceraian
Langkah pertama yang harus dilakukan seorang konselor ketika berhadapan dengan anak korban perceraian adalah menggunakan motode saling bercerita. Metode ini sangat membantu bagi si anak dalam meluapkan seluruh keluh kesah batinnya. Mengingat dampak yang terjadi bagi si anak secara psikologis yaitu merasa kesepian. Metode ini juga ampuh bagi seorang konselor dalam mendapatkan data-data batin dan atau perasaan yang sedang dirasakan oleh si anak secara holistik. Menurut Clinebell, ada beberapa hal dalam percakapan konseling yang seharusnya terjadi agar suatu dasar hubungan yang kuat antar konselor dan konseli dapat kokoh. Pertama, kehangatan percakapan dan saling pengertian. Dalam hal ini, seorang konselor sedapat mungkin mengajukan suatu pertanyaan dan jawaban yang dalam, agar terjadi suatu pendalam eksistensial pada diri si anak. Kedua, perhatian penuh dari seorang konselor dapat menjadi semacam moment bagi si anak dalam mengungkapkan seluruh perasannya, yang sebelumnya ia tahan.
Dengan begitu, seorang pendeta dan atau konselor membuat si anak mampu merusmuskan masalahnnya sendiri. Karena, pada saat yang sama, ia melakukan pendalaman batin yang inklusif. Dengan demikian, si anak dapat mengetahui di mana sumber keterbatasannya mengatasi sesuatu. Ketiga, secara tidak langsung, pada kondisi itu, diagnosa sementara telah konselor dapatkan. Kemudian dengan pendekatan yang selanjutnya, seorang konselor meneruskan konseling pastoral dan atau melakukan rujukan pada tahap berikutnya. Pada dasarnya, suatu hubungan yang menyembuhkan akan bertumbuh bila pendeta mencurahkan seluruh perhatiannya sehingga si anak merasa nyaman. Apabila si anak merasa, walaupun secara samar-samar, bahwa pendeta sungguh-sungguh sedang berusaha untuk mendengar secara mendalam dan berhubungan secara penuh, maka suatu jaringan yang halus dan indah akan mulai menghubungkan kesendirian konseli dan kesendirian pendeta itu. Inilah hubungan yang pertama, yang penting sekali, yang disebut “kecocokan (rapport)”.
Proses mendengar dan berefleksi dalam suatu cara pendampingan yang hangat akan membantu beberapa fungsi yang penting dalam konseling,[16] antara lain:
1. Memberi kesempatan kepada konselor untuk mengecek ketepatan persepsi konseli. Jika konselor tidak berada pada riak gelombang emosional konseli, maka refleksinya yang mungkin saja dapat disalahpahami konseli, dapat diperbaiki.
2. Membiarkan konseli mengetahui bahwa pendeta ini dan pengertian yang muncul dari kesadaran tersebut, akan mendorong keakraban dalam hubungan konseling itu.
3. kesadaran konseli akan perhatian poendeta ini dan pengertian yang muncul dari kesadaran tersebut, akan mendorong keakraban dalam hubungan konseling itu.
4. kadang-kadang, tanggapan terhadap perasaan kenseli dapat membuka luka kejiawaannya. Hal ini juga memungkinkan mengalirnya racun yang ada dalam perasaan yang ditekan secara kuat sehingga penyembuhan dapat terjadi.
5. jika konseling terus maju, pendengaran dan tanggapan konselor memberi suatu kesempatan pada konseli untuk menguji dan mengkaji realiitas perasaan dan tindakannya. Helen Flanders Dunbar pernah membandingkan pendengaran dalam terapi dengan pemain tenis yang berlatih di lapangan tenis untuk menyempurnakan pukulannya.
Tugas konselor ialah mencapai tingkat tertinggi dari apa yang disebut Rogers dengan “pengertian empatik” tentang dunia batin konseli. Heinz Kohut menjelaskan bahwa empati adalah penerimaan, peneguhan dan pengertian akan gema suara hati manusia yang ditimbulkan oleh diri (self). Empati adalah suatu kebutuhan psikologis yang hakiki dan tanpa itu kita tidak mungkin menghayati hidup yang bernilai.[17]
Secara sistematis proses konseling yang dikemukakan dalam urutan fase-fase konseling dapat diikuti,[18] sebagai berikut:
1. Membina hubungan konseling yang terjadi pada tahap awal konseling. Misalnya, pada tahap pertemuan pertama tehadap anak korban peceraian, sedapat mungkin seorang konselor memberi kesan yang utuh dan mudah diingat oleh si anak. Contoh: memberi mainan yang mereka sukai.
2. tahap kisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya, dan melalukan transferensi. Dalam hal ini, konselor merupakan titik awal si anak. Bisa dengan mengajak anak mendengarkan musik bersama. Sebab musik dapat mengarahkan perilaku musikal seseorang. Semacam terapi musik.[19]
3. Pengembangan resistensi untuk pemahaman diri.
4. Pengembangan hubungan transdernsi klien dengan konselor. Poin ini adalah yang paling penting. Bagaimana cara konselor dalam mendekati si anak. Sehingga si anak merasa nyaman, bukan sebaliknya.
5. Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi. Bisa dengan mengumpulkan beberapa teman, yang si anak sukai. Artinya, konseling kelompok mulai dijalin. Sebab biasanya individu lebih merasa aman bila di dalam kelompok.[20]
6. Menutup wawancara konseling. Pada titik ini, sedapat mungkin si anak merasa tenang, nyaman, dan damai. Beri catatan ayat alkitab. Sampaikan dengan pendekatan persuasif.
E. Tujuan Konseling
Salah satu program konseling disebut sebagai program Hospice. Hospice adalah program yang punya tujuan pelayanan atau perawatan kesehatan yang didesain untuk mengendalikan dan mengurangi penderitaan emosional, fisilkal, dan spritual pasien yang menderita sakit terminal. Hospice menangani pribadi seutuhnya. Sakit terminal bisa menimbulkan berbagai reaksi, antara lain: rasa sakit dan perasaan tidak nyaman, ketakutan dan kesepian, prihatin tentang keluarga dan teman-teman, juga kecemasan tentang apa yang akan datang. Hospice memperjuangkan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien secara fisik, emosional, sosial dan spiritual, serta kebutuhan keluarga mereka.[21] Maka dari itu konseling pastoral terhadap anak korban perceraian juga adalah suatu program Hospice. Karena tujuannya adalah demi mengurangi penyakit mental pada anak. Dengan menyelesaikan segala problem yang mengganggu mereka.[22]A. Simpulan
Berdasarkan keseluruhan pemaparan di atas, dirumuskan simpulan makalah ini:
2. Fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya.
3. Memahami batiniah konseli secara mendalam adalah hal yang paling dasar yang harus dilakukan seorang konselor.
4. Dalam memahami psikologis anak yang sedang menjadi korban perceraian, seorang konselor sedapat mungkin memahami efek-efek yang dirasakan oleh si anak setelah perceraian kedua orang tuanya. Dengan cara seperti itu, konselor dapat dengan mudah memberi “pertolongan pertama”.
5. kehangatan percakapan dan saling pergertian antar konselor dan si anak merupakan suatu hal yang mutlak.
6. Sedapat mungkin seorang konselor bisa mendekati dan dengan segala respon keterbukaan dari si anak. Bukan membuat si anak menjadi tertutup.
B. Saran
1. Sekiranya makalah ini dapat menjadi acuan dari para konselor yang sedang membimbing anak korban perceraian. Dari sudut pandang teori, konsep, metode dan praktik.
2. Bagi para konselor yang masih dalam tahap pembelajaran konseling, sekiranya makalah dapat digunakan sebagai bahan studi lanjutan serta kajian pustaka yang komperehensif.
Daftar Pustaka
Buku:Beek, Vann,Pendampingan pastoral. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).
Clinebell, HorwardTipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Terj. B.H Nababan, (Yogyakarta: Kanisius 2002).
Djohan, Psikologi musik, (Yogyakarta: Best publisher, 2009).
Engel, Jacob, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007).
Engel, Jacob, Model Logo Konseling, (Yogyakarta, Kanisius, 2014), hlm. 5.
Kathryn, dan David, Teknik Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018).
Krisetya, Mesach, Bela rasa yang dirasakan, pedeoman dan pegangan para pelayan dan akademisi untuk meningkatkan pelayanan dan konseling pastoral, (Jakarta: Duta Ministri, 2015).
Namora, dan Hasnida, Konseling Kelompok, (Jakarta: KENCANA, 2016).
Sofyan, Konseling Individual, (Bandung: Alfabeta, 2017),
Tulus Tu,u. 2007. Dasar-dasar Konseling Pastoral: Panduan bagi Pelayanan Konseling Gereja, (Yogyakarta: Andi)
Journal:
Kohut, Heinz “Pilhrimage, “ Journal of Pastoral Psychotherapy, 5, No. 1 (1977).
Untari, Ida, dkk, ‘Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Kesehatan Psikologis Remaja’ (2018) ejournal PROFESI 99.
Wijayatsih, Hendri, ‘Pendampingan dan Konseling Pastoral’, Jurnal Fakultas Theologia Vol. 35. No. 1/2.April/Oktober 2011 dalam: Gema Teologi, Yogyakarta: UKDW, 2011.
Internet:
<https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160922121057-255-160246/beda-dampak-perceraian-bagi-anak-perempuan-dan-laki-laki> diakses 26 Mei 2019.
<https://dosenpsikologi.com/dampak-perceraian-terhadap-psikologi-anak> diakses 26 Mei 2019.
<https://kumparan.com/@kumparannews/menteri-agama-angka-perceraian-di-indonesia-meningkat-1544179658506355359> diakses 26 Mei 2019.
Catatan Kaki :
[1] Howard, Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Terj. B.H Nababan, (Yogyakarta: Kanisius 2002), hlm. 17
[2] Lih. <https://kumparan.com/@kumparannews/menteri-agama-angka-perceraian-di-indonesia-meningkat-1544179658506355359> diakses 26 Mei 2019.
[3] Ida, Untari, dkk, ‘Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Kesehatan Psikologis Remaja’(2018) ejournal PROFESI 99, 105.
[4] Howard, Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Terj. B.H Nababan, (Yogyakarta: Kanisius 2002), hlm. 64.
[5] Jacob Daan Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), hlm. 1.
[6] Ibid., hlm. 2.
[7] Ibid., hlm. 65.
[8] Hendri, Wijayatsih, ‘Pendampingan dan Konseling Pastoral’,Jurnal Fakultas Theologia Vol. 35. No. 1/2.April/Oktober 2011 dalam: Gema Teologi, Yogyakarta: UKDW, 2011, p.3
[9] Howard, Clinebell, Tipe-Tipe Dasar dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 53-54
[10] Psikosomatis adalah istilah medis yang diambil dari dua suku kata: Psiko=pikiran; dan Soma=tubuh. Psikosomatis adalah penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang yang berdampak pada fisiknya. Secara sederhana psikosomatis berarti penyakit fisik (gangguan fisik) yang disebabkan oleh pikiran atau emosi tertentunseperti stress, kecewa, rasa bersalah, cemas dll.
[11] Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 14
[12] Jacob Daan Engel, Model Logo Konseling, (Yogyakarta, Kanisius, 2014), hlm. 5.
[13] Tulus Tu,u. 2007. Dasar-dasar Konseling Pastoral: Panduan bagi Pelayanan Konseling Gereja, (Yogyakarta: Andi). Hlm. 45-47.
[14] Lih. <https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160922121057-255-160246/beda-dampak-perceraian-bagi-anak-perempuan-dan-laki-laki> diakses 26 Mei 2019.
[15] Lih. <https://dosenpsikologi.com/dampak-perceraian-terhadap-psikologi-anak> diakses 26 Mei 2019.
[16] Howard, Clinebell, Tipe-Tipe Dasar dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 99.
[17] Diuraikan dengan kata-kata sendiri dari Heinz Kohut, “Pilhrimage, “ Journal of Pastoral Psychotherapy, 5, No. 1 (1977).
[18] Sofyan, Konseling Individual, (Bandung: Alfabeta, 2017), hlm. 62.
[19] Djohan, Psikologi musik, (Yogyakarta: Best publisher, 2009), hlm. 33.
[20] Namora, dan Hasnida, Konseling Kelompok, (Jakarta: KENCANA, 2016), hlm. 11.
[21] Mesach Krisetya, Bela rasa yang dirasakan, pedeoman dan pegangan para pelayan dan akademisi untuk meningkatkan pelayanan dan konseling pastoral, (Jakarta: Duta Ministri, 2015), hlm. 168.
[22] Kathryn, dan David, Teknik Konseling, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), hlm. 11.
0 Response to "Konselin Pastoral Kepada Anak Korban Perceraian"
Post a Comment
Anda Sopan...!, Kami Pun Segan