Translate

Tugas kuliah Teologi perjanjian lama

Teologi Perjanjian Lama
(PERJANJIAN)

Oleh:

RISAL JUHARMIS

20113253

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI TORAJA

2014

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kasih dan rahmatNya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Ada pun isi dari makalah ini adalah tentang, Konsep Perjanjian Menurut Kitab Taurat

Penulis sadar akan kekurangan dari makalah ini, serta masih sangat jauh dari kesempurnaan, tapi setidaknya isi makalah ini sedikit memberikan kita pengetahuan seputar materi tentang Konsep Perjanjian

Karena kesadaran penulis akan kekurangan dari isi makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca.

Mengkendek 2014


Latar Belakang

Di Timur Tengah istilah tentang perjanjian sudah lazim digunakan dalam hukum masyarakat sehari-hari, terutama ketika manusia masih hidup dalam alam pengembaraan. Sejak dulu kala disana terdapat banyak “perjanjian yang digunakan sebagai persepakatan atau persetujuan yang sah antara orang dan golongan orang-orang, dan perjanjian itu harus ditaati agar tercapainya kehidupan bersama yang rukun . “Dengan demikian pembuatan perjanjian dimaksudkan untuk mengamankan keadaan keutuhan, ketertiban, dan kebenaran antara dua pihak, untuk memungkinkan, atas dasar landasan hukum, hubungan dalam hal-hal yang mempengaruhi perjalanan kehidupan mereka bersama”.

Dengan melihat akan hal ini maka perjanjian adalah suatu janji sungguh-sungguh yang diikat oleh sumpah, yang dapat merupakan ucapan lisan ataupun tindakan simbolis, dalam Kamus Alktitab “ Perjanjian kata Ibrani berith berarti persetujuan antara dua pihak, atau kesepakatan antara Allah dengan umat Israel”. Di dalam perjanjian lama, kita dapat melihat berbagai contohnya, misalnya perjanjian yang diikrarkan oleh Yonatan dan Daud “di hadapan hadirat Tuhan” (1 Samuel 23:18, band. 18:3; 20:8). Contoh lainnya adalah perjanjian antara Yakup dengan Laban (Kej.31:44-45). Di sini tertulis seluruh upacara perjanjian itu yang dilaksanakan oleh kedua pihak, yaitu mendirikan timbunan batu sebagai saksi, mengadakan sumpah timbal balik, kurban dan perjamuan bersama. Pihak ketiga dalam persetujuan ini adalah “Allah Abraham dan Allah Nahor, Allah ayah mereka (ayt.53) yang oleh kedua pihak pembuat perjanjian itu dipanggil dan diakui sebagai pihak yang menentukan.

A. KAJIAN “PERJANJIAN”

Di dalam teori sumber, kita dapat melihat ciri-ciri bagaimana perjanjian itu, baik itu teori dari sumber Y yang “menitik-beratkan pemanggilan Israel untuk menjadi bangsa (umat) Allah, dan janji Allah kepada mereka diteguhkan oleh anugerahNya” dan juga sumber P (Priester codex) penulis P melaporkan bahwa Allah mengadakan perjanjian dengan Nuh dan Abraham (Kej 6:18; 9:9 dan 17:2). Ada dua istilah teknis yang dipakai penulis P untuk menyebutkan proses perjanjian antara Allah dengan Nuh dan antara Allah dengan Abraham. Alkitab berbahasa Indonesia hanya mengatakan Allah “mengadakan perjanjian” dengan Nuh dan dengan Abraham. Akan tetapi dalam teks Masora digunakan dua istilah yang berbeda. Dalam Kejadian18:8; 9:9, 11 dan juga 17:7, 19,21 teks Masora menggunakan istilah heqim berit yang berarti “mendirikan / membangun perjanjian”, sedangkan dalam kejadian 17:2 dipergunakan istilah natan berit yang berarti “ memberikan / mengaruniakan perjanjian”. Kedua kata kerja, yakni heqim dan natan adalah istilah-istilah khusus penulis P untuk menunjukkan terbentuknya ikatan perjanjian antara Allah dan manusia”.

B. Perkembangan Perjanjian Dalam Kitab Taurat

Di dalam kitab taurat terdapat lima kitab yaitu, “Kejadian, Keluaran, Imamat, bilangan dan juga Ulangan”. Dari kelima kitab ini, kita akan melihat tentang bagaimana konsep perjanjian yang dilakukan manusia dengan Allah. Jika kita melihat perjanjian manusia dengan manusia, kita dapat melihat kepada kisah Yonatan dengan Daud, dan juga tokoh Yakup dengan Laban, sedangkan Manusia dengan Allah, misalnya Allah dengan Nuh dan Allah dengan Abraham.

a. Perjanjian Dengan Nuh

Dalam Kej 9:8-17, teks ini sejajar dengan janji Allah dalam karangan Y, yaitu Kej 8:21-22. Dalam karanagan Y hanyalah suatu kata janji biasa, tetapi di sini pengarang P mengankatnya menjadi penetatapan dan penegak kedaulatan Allah yang bersifat hukum-kekal (ay 16); P mempergunakan istilah “perjanjian” . Istilah itu sarat dengan makna theologis dan dapat disamakan dengan “sumpah”, “Ikrar”, “keputusan agung”, “penetapan yang merdeka dan berdaulat”. Dengan mengeluarkan dekrit yang demikian itu maka Allah mengikat diri; Ia membatasi murkaNya. Aslinya, dalam istilah perjanjian itu terkandung paham pengutukan diri sendiri: hendaklah kiranya Aku terkutuk, jika aku sekali lagi mengganyang seluruh bumi seperti yang telah pada waktu air bah. Isi perjanjian tersebut adalah penjaminan kestabilan semesta alam seperti dalam 8:21-22. Perhatikanlah, bahwa seluruh nats itu adalah firman Allah dari mulanya sampai akhirnya, manusia tidaklah menjawabnya atau mematuhinya. Perjanjian itu adalah penetapan dan penegakan kekuasaan oleh Allah sepihak saja” . Kata-kata pertama Allah kepada Nuh dan anak-anaknya merupakan pengulangan ucapan berkat yang diberikan Allah pada waktu penciptaan: berkembang biak dan bertambah banyak di bumi.berkat untuk terus berkembang itu juga tetap berlaku sesudah masa air bah. Perjanjian dikemukakan oleh tradisi P sebagai antisipasi perjanjian kelak antara Allah dan Israel. 

b. Perjanjian Dengan Abraham 

Perjanjian dengan Abram, yang diceritakan oleh tradisi Yahwis dalam Pasal 15, sekarang diceritakan kembali oleh penulis P (17:1-14). Kisah ini sebagian besar terdiri dari amanat Allah. Hampir tidak ada perhatian manusiawi, sesuatu yang khas karya Yahwis. Disini dikemukakan lebih banyak tentang pandangan teologis, dari pada tentang reaksi Abram. Rincian waktu, perhatian teologis dan sikapnya terhadap sunat semua merupakan ciri penulis P. Seperti versi Yahwis, bagian ini pun mulai dengan pewahyuan dari diri Allah. Nama” Allah yang mahakuasa” mempunyai makna istimewa bagi penulis P, yang membatasi pemakaian nama Allah hanya pada cerita-cerita bapa bangsa. Perjanjian sendiri dilukiskan bukan sebagai suatu sumpah yang diucapkan oleh Allah, seperti pada versi Yahwis, melainkan bentuk suatu kontrak. Allah akan memberi Abram banyak keturunan. Karena itu Abram dituntut hidup sesuai dengan kehendak Allah, tak bercela, dan melaksanakan sunat sebagai tanda perjanjian di antara mereka. Perubahan nama Abram (ay 5) menandakan relasi baru yang dijamin oleh perjanjian. Nama yang baru, Abraham, kiranya berarti “bapa banyak bangsa”. Sebenarnya nama itu hanya bentuk variasi dari Abram saja, yang berarti “bapaku (adalah) agung” .

C. Makna Teologis dari Perjanjian

Makna teologis yang di dapat dari setiap perjanjian di atas ialah bagaimana kita dapat memahami bahwa sebenarnya perjanjian itu merupakan gambaran hubungan antara Allah dengan manusia. Gambaran hubungan ini di lukiskan dalam satu istilah yaitu perjanjian, yang dimana berarti ikatan perjanjian itu merupakan tindakan keselamatan oleh Allah yang lahir dari kasih karunia dan kemurahanNya bagi manusia". inisiatif untuk mendirikan perjanjian itu bukan datang dari pihak manusia atau merupakan hasil kesepakatan bersama, melainkan berasal dari Allah sendiri. Hal ini dapat kita lihat gambaran perjanjian Allah dengan Nuh. Yang kedua perjanjian dengan Abraham dan yang ketiga ialah perjanjian di Sinai. Perjanjian di sinai tentu berbeda dengan perjanjian Maharaja Hatti, karena perjanjian Maharaja itu dikenakan secara paksa, dan timbul dari rasa takut terhadap Maharaja, sedangkan perjanjian Israel timbul dari rasa terimakasih serta ditanggung dengan kerelaan dan kegembiraan. Hak Allah atas Israel ditetapkan justru karena Dialah yang membebaskan Israel, bukan karena Dia telah menaklukkan Israel. Itu berarti bahwa timbul kewajiban moral yang menuntut ketaatan Israel terhadap kehendak Allah. 


PENUTUP

Kesimpulan Pembahasan

Dari pembahasan ini ada satu pelajaran tentang bagaimana hubungan antara Allah dengan umatnya yang digambarkan di dalam sebuah perjanjian, perjanjian yang bertujuan untuk manusia senantiasa taat dan setia kepada Allah, dalam hal ini Allahlah yang berinisiatif untuk membuat perjanjian dengan umatNya, bukan manusia yang pertama yang memulainya, dari sini juga Allah ingin menunjukkan kasihNya bagi umatNya yang berdosa yang seringkali membuatnya bersedih, Ia tetap menunjukkan kasihNya. Dengan jalan mengadakan perjanjian itu, Allah ingin memberikan manusia kesempatan untuk menanggapi kasihNya tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

G.E. Wright dan Dr A.de Kuiper, Perjanjian Lama terhadap Sekitarnya, (Jakarta: BPK: 1967) hal 61.
Materi kuliah. Perjanjian lama 2.

W.R.F. BR Browing, Kamus Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia: 2009) hal. 348

Dr.J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia:1988) hal.18

Pdt. Dr. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2008) hal 178











































Subscribe to receive free email updates: