Ulasan Kritis terhadap Yesus Bagi Orang Non Religius
Ulasan Kritis Terhadap Buku
“Yesus Bagi Orang Non Religius”
Karya John Shelby Spong
Oleh: Oktoviandy Rantelino
Baca Juga karya Oktoviandy "Menggugat Agama Yang Alienatif"
A. Pengatar
Tulisan ini adalah ulasan kritis penulis terhadap bagian-bagian dari buku John Shelby Spong, dengan judul “Yesus Bagi Orang Non Religius”. Ulasan kritis ini akan dibagi dalam 4 (empat) bagian, sesuai dengan struktur tulisan yang diberikan. Ulasan yang pertama akan membahas beberapa topik yang terdiri dari dua bagian, yang merupakan kesatuan dari bagian pertama buku Spong, yakni “Memisahkan Yesus Insani dari Mitos” (hlm., 7-95 dan 109-143); ulasan yang ketiga, akan membahas topik “Gambar Asli Yesus”; ulasan yang ke-empat akan membahas topik “Yesus Bagi Orang Non Religius” yang merupakan bagian terakhir dari buku Spong yang dimaksud.
Tetapi perlu dipertegas di sini bahwa ulasan kritis penulis dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada ulasan-ulasan Spong, yang menurut penulis, masih memiliki kejanggalan perspektif ; pernyataan ini juga—sekaligus—untuk mengatakan bahwa ulasan Spong yang tidak dikomentari secara kritis oleh penulis, telah berada dalam dialog menuju kesepahaman antara wawasan dan apresiasi penulis terhadap ulasan atau tulisan Spong itu sendiri.
B. Isi
B. 1. Bagian I: “Memisahkan Yesus Insani dari Mitos”: Benarkah Sebuah Pencarian Baru?
Proyek untuk memisahkan Yesus insani dari mitos, bila telusuri dalam perkembangan ilmu teologi (lebih tepatnya Kristologi) dalam sejarah, jelas proyek ini bukanlah hal yang baru (atau benar-benar baru), sebagaimana yang diproyeksikan oleh Spong.
Bila kita memperhatikan sejarah teologi yang mengupayakan pemisahan Yesus dari cengkraman tafsir harfiah terhadap mitologi, maka kita dapat menyatakan bahwa Spong, tidak melakukan atau mengupayakan sesuatu yang baru, sebagaimana yang dia nyatakan dalam tulisannya. Hal ini bisa dilihat dalam catatan Herlianto, dalam tulisannya mengenai “Yesus Sejarah”, demikian:
"Perkembangan Rasionalisme yang mempengaruhi kekristenan menghasilkan keragu-raguan akan nilai 'Yesus Sejarah' yang disebut Alkitab, bahkan kemudian sejalan dengan tumbuhnya 'Kritik Historis' atas Alkitab sejak abad ke XVIII, pada abad ke-XIX dikenal dengan 'The Quest' (penyelidikan) ramailah dipersoalkan soal 'Yesus Sejarah' terutama oleh David Friedrich Strauss, Albert Schweitzer dan Joseh Ernst Renan, ini memuncak dalam diri Rudolf Bultmann yang dikenal dengan 'demitologi'sasinya itu pada medio abad ke-XX."
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Spong, melanjutkan atau kurang lebihnya memodifikasi proyek lama; yang secara tepat merujuk dan atau meneruskan proyek metodolologis Rudolf Bultmann di abad 20, yakni “metodologi demitologisasi”. Metodologi ini berusaha melucuti unsur-unsur mitos (atau dalam bahasa Bultmann, mitos dianggap sebagai “batu-batu sandungan” dalam memahami Injil) yang ada dalam cerita-cerita Injil untuk mendapatkan kerygma Injil yang lebih rasional, yang lebih dapat diberitakan kepada masyarakat modern (atau juga, khsususnya: masyarakat modern di Eropa, yang tidak lagi mempercayai penjelasan-penjelasan yang berbasis mitologis). Tetapi perlu dicatat bahwa proyek metodologis Bultmann ini masih berusaha untuk mendapatkan insight eksistensial dari realitas yang coba disampaikan dari cerita mitologi. Bultmann, dengan metodologi ini, masih mencoba menafsirkan, atau menjelaskan kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos.
Kejanggalan informatif dari tulisan Spong di bagian pertama bukunya tersebut adalah, ia tidak menguraikan dan mengulas perspektif tokoh-tokoh teologi yang telah berusaha dalam sejarah untuk melakukan kajian alternatif terhadap topik “memisahkan Yesus insani dari mitos”. Sehingga, tidak heran jika Spong—secara sadar atau tidak sadar—merepetisi perspektif tokoh-tokoh tersebut; dan terkesan “menjanggal” bagi penulis, ketika Spong menyatakan perspektifnya tersebut adalah sebuah model pencarian baru terhadap realitas Yesus. Janggal, karena penulis telah membuktikan (sebagaimana telah diuraikan di atas), bahwa perspektif Spong tersebut sudah dilakukan oleh para teolog, jauh sebelum Spong mengutarakan perspektifnya tersebut.
Kejanggalan lainya adalah, Spong terlalu mengedepankan prapaham modernnya terhadap mitos (sehingga ia lupa dimensi insight dalam artianya yang paling positif, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya), yang mungkin baginya tidak relevan lagi dengan konteks masyarakat modern. Spong percaya dan terkesan sangat optimis bahwa masyarakat modern tidak dapat lagi hidup dengan pandangan-pandangan mitologi.
Dalam bentuknya yang paling mutahir, penulis hendak menyatakan bahwa optimisme ini berlebihan. Khususnya bila kita menganalisa diskursus antara postmodernisme dan modernisme. Di mana para filsuf dan teolog postmodernisme menilai bahwa cita-cita modern yang teraktualisasi dalam filsafat modernisme di era pencerahan (modern), yang terlalu optimis terhadap ilmu pengetahuan (sciensm) dan rasionalisme dapat menjamin progresifitas peradaban manusia, dipandang sebagai mitos baru; pencerahan itu adalah “penolakan mitos dengan mitologi”. Bukan hanya dalam diskursus filosofis, tetapi juga dalam diskursus politik dan ekonomi (neo-liberalisme, misalnya), mitos-mitos di era modern yang berbasis imperialisme dan kapitalisme, serta dengan gaya positivisme, tetap bergentayangan.
Sebagai ulasan akhir dari penulis tentang uraian Spong di bagian pertama bukunya tersebut, penulis hendak mengutip salah satu kalimat Ioanes Rakhmat dalam tulisannya tentang “Konflik Interpretasi Kitab Suci Kristen”, yakni sebagai berikut:
"fakta yang tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa Kitab Suci bukanlah kitab sejarah. Bukan juga kitab sains. Sekalipun juga bukan kitab dongeng, meskipun tentu saja berisi banyak kisah dongeng yang dipakai sebagai literary device untuk menyampaikan pesan-pesan moral religius. Kitab Suci itu Kitab Suci-sebuah kitab keagamaan dengan wilayah otoritatif yang bisa menyempit di dalam dunia modern jika dipahami literalistik"
Pada intinya, bila dikaitkan dengan ulasan Spong, kalimat Ioanes Rakhmat di atas mau menyatakan bahwa cerita-cerita dongeng ataupun mitos di dalam Alkitab mesti ditafsirkan secara metaforis, yang mana dipahami bahwa di dalamnya, kita bisa mendapatkan sebuah pesan-pesan moral yang konstruktif, sejauh kita mau memaknainya secara dialogis-kritis dalam konteks kekinian kita. Dalam kalimat inipun, ada aspek kritisnya, yakni: Alkitab yang telah, dan bahkan telanjur mendapatkan otoritasnya sebagai Kitab Suci itu, bisa dipersempit dan atau dikebiri ketika dibaca dan dipahami melulu secara harfiah atau literalistik dan berbasis eksklusivisme.
Karena itu, keterbukaan terhadap lahirnya ragam interpretasi terhadap Alkitab harus terus diupayakan; tanpa harus menyatakan bahwa “interpretasi ini” lebih benar dibandingkan “interpretasi itu”; “interpretasi saya (kami)” lebih benar dibandingkan “interpretasi dia (mereka)”. Menurut hemat penulis, setiap interpretasi harus selalu berada dalam “ketegangan kreatif” yang saling memperkaya antara yang satu dengan yang lainnya. Termasuk, dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap realitas Yesus, tidak ada pihak manapun yang paling berhak menyatakan diri paling benar dan paling asli dalam menggambarkan sosok Yesus tersebut. Sekalipun ada, itu hanya karena Yesus sendiri yang menyatakan hal tersebut, dan yang lain daripada itu, tidak lebih sebagai sebuah interpretasi. Yesus sendiri membiarkan hal itu terjadi pada dirinya, membiarkan dirinya diinterpretasi, saat dirinya menyatakan "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?"
B. 2. Bagian II: “Gambaran Asli Yesus”: Masih Adakah yang Original?
Ulasan kritis terhadap bagian kedua dari buku Spong yang dimaksud, penulis fokuskan pada pertanyaan: masih mungkinkah kita menemukan gambaran asli Yesus, sebagaimana yang hendak dibuktikan oleh Spong? Ataukah, gambaran itu adalah gambaran atau potret yang samar, yang tidak lagi utuh dari sosok Yesus? Bila dikatakan, gambar itu adalah asli, apakah pernyataan ini juga—sekaligus mau menyatakan—gambaran lain yang berada di luar atau berbeda dengan apa yang digambarankan oleh Spong, merupakan gambaran yang tidak asli atau palsu. Sekurang-kurangnya, ulasan kritis ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Dalam bagian kedua dari bukunya, Spong mulai dengan menyatakan demikian:
“saya mencari seorang Yesus yang melampaui Kitab Suci, melampaui kredo, melampaui doktrin, melampaui dogma, dan bahkan melampaui agama sendiri. Hanya di situ penglihatan kita akan terarah pada misteri Allah, misteri kehidupan, misteri cinta dan misteri keberadaan”
Minimal dapat diutarakan secara singkat latar belakang keperihatinan Spong sehingga ia berpendapat demikian, bahwasanya ia berhadapan dengan realitas penindasan dan pengebirian hak-hak kemanusiaan (khususnya dalam berpendapat dan mengutarakan pemikiran kreatif tentang “iman” yang melampaui bahkan berbeda dengan tradisi dan atau ajaran resmi gereja) terhadap beberapa imam, yang terjadi di lingkungan gereja Roma Katolik. Singkatnya, Spong berhadapan dengan kenyataan, di mana gereja, demi mengembalikan otoritas ajarannya, dengan tanpa rasa bersalah, mengalienasi dan atau mengebiri kemanusiaan orang lain.
Kenyataan, sebagaimana yang dihadapi oleh Spong, dapat mengundang keperihatinan siapa saja yang masih memiliki rasa kemanusiaan (dalam artian yang paling postif dari pernyataan ini), ketika melihat perilaku para “polisi” ajaran gereja, yang demi ajaran yang belum tentu benar (dogmatis), atau hanya perihal perbedaan penafsiran, mengasingkan orang lain yang juga belum tentu salah dan juga belum tentu benar. Karena, menurut penulis, tidak ada seorang pun, lembaga mana pun di muka bumi ini, yang memiliki kepantasan untuk menyatakan kebenaran yang sebenar-benarnya; dan kemudian kebenaran itu dipakasakan untuk harus dianut oleh semua orang. Semuanya, yang dikatakan sebagai kebenaran itu, tidak lain adalah interpretasi terhadap realitas (entah itu realitas profan dan yang metafisis). Dengan menyetir insight Nietzsche tentang kebenaran, penulis mau menyatakan demikian: kebenaran adalah kekeliruan yang untuk sementara waktu dianggap benar meskipun itu sebenarnya tetap merupakan kekeliruan. Sikap ini, sebagaimana dijelaskan oleh St. Sunardi, harus dilihat sebagai suatu ajakan untuk mengakui bahwa status kebenaran itu harus selalu terbuka untuk dikelirukan atau dikritisi; dan atau dalam bahasa yang digunakan oleh Spong “dilampaui”.
Berangkat dari pengalaman atas realitas semacam itu, Spong memulai sebuah pencarian yang disebutnya baru terhadap sosok Yesus “di luar” perspektif doktrin dan pandangan resmi agama (baca juga: gereja). Perspektif tentang Yesus yang dianjurkannya bagi dan untuk orang-orang non religius. Perspektif Spong tentang Yesus itu, kemudian dinyatakannya sebagai “gambaran asli Yesus”; yang mana pencariannya itu dimulainya dengan dunia Yahudi yang telah melahirkan Yesus dari Nazaret.
Hasil pencarian atau pemotretan Spong dengan kamera Yahudi terhadap sosok Yesus tersebut, minimal dapat diringkas sebagai berikut:
• Realitas Yesus yang dimaknai dalam analogi domba Paskah yang mengutarakan pengalaman yang orang miliki bersama Yesus, yang menyebabkan mereka melihat dalam kematiannya untuk membebaskan kemanusiaan “kita” demi memasuki suatu kawasan baru dari kesadaran untuk memaknai arti yang sesungguhnya dari menjadi manusia.
• Realitas Yesus dimaknai di bawah simbol Yom Kippur (Hari Perdamaian); pengalaman akan Yesus yang membuat “kita” mengerti apa artinya berdamai dan bersatu dengan Allah, sesama, dan dengan diri kita sendiri.
• Anak manusia; hamba yang menderita dan sang raja gembala. Semua gambaran yang diletakkan dalam perspektif mesianik Yahudi.
Hasil pemotretan Spong terhadap realitas Yesus dengan menggunakan kamera Yahudi di atas, menghasilkan “pose” Yesus dalam style Yahudi, tetapi dengan “lensa” American Style yang termanifestasi dalam diri Spong sebagai sang fotografer. Analogi ini, menurut penulis, penting untuk dikedepankan, minimal untuk menghindari subjektifitas ganda terhadap potret Yesus yang dihasilkan oleh sang fotografer. Tetapi, pada intinya, foto Yesus yang dihasilkan oleh Spong adalah foto yang lebih mempresentasikan arti dari menjadi manusia di dalam Yesus yang juga adalah manusia (Anak Manusia).
Manusia yang berada dalam nuansa “Imago Dei”. Penekanan semacam ini, sekali lagi, penulis nyatakan bukan merupakan sesuatu yang baru. Spong, dalam bahasa paling apresiatif dari penulis, hanya mengupayakan sebuah re-orientasi, dengan melakukan reinterpretasi terhadap dogma gereja yang terlalu menekankan aspek keilahian Yesus, sehingga mengalami amnesia-kronis terhadap aspek kemanusiaan Yesus. Spong juga me-re-orientasi pemahaman gereja yang terpusat pada salib Yesus, sehingga mengalami kepikunan akut terhadap makna pelayanan dan perjuangan Yesus sebagai suatu keutuhan proses menuju salib.
Apakah gambaran atau potret yang dihasilkan oleh Spong bisa dinyatakan asli? Padahal, bila dilihat secara lebih nyata, potret yang dihasilkan oleh Spong tidak lain, berasal dari pemotretan Spong terhadap potret Yesus yang telah ada sebelumnya; bukan pemotretan terhadap “pose” Yesus yang apa adanya (sosok yang sesungguhnya dan diambil secara langsung). Pemotretan Spong adalah pemotretan terhadap potret-potret Yesus yang telah dihasilkan oleh fotografer-fotografer sebelumnya yakni, Matius, Markus, Lukas, Yohanes dan juga Paulus.
Hal lainnya yang hendak penulis garis-bawahi (bukan sebuah penolakkan) terhadap upaya Spong dalam konteks “pemotretan” di atas adalah, sekiranya Spong tetap harus terbuka untuk berbagi potret dengan konteks lainnya, di mana Yesus telah dipotret menurut kamera dan lensa dari masing-masing budaya di mana Yesus diberitakan. Singkatnya, bila dimaknai dalam konteks pluralitas kebudayaan di Indonesia; kita tetap harus mengupayakan Kristologi kontekstual bagi masing-masing budaya di Indonesia. Di mana, pemotretan terhadap Yesus dengan kamera dan lensa dari masing-masing budaya yang ada di dalamnya, dapat menghasilkan potret-potret kontekstual yang memberi jawab atas kebutuhan atau konteks gumul dari masing-masing budaya tersebut. “Potret” Yesus di Asia tidak harus sama dengan potret Yesus di Eropa, di Afrika atau di Amerika, dan demikian pula sebaliknya. Penegasan ini, sekaligus mau menyatakan bahwa gambaran asli itu dimungkinkan sejauh perspektif itu beranjak atau dimaknai dari budaya pemotretan oleh masing-masing konteks budaya yang ada. Bahkan Yesus dalam style Asia, Eropa, Afrika dan Amerika juga dimungkinkan sebagai “pose-pose”. Sedangkan potret Yesus dengan style Timur Tengah (Yahudi) bisa jadikan “klise foto” yang “dicuci” dengan tujuan komparatif.
B. 3. “Yesus Bagi Orang Non Religius”: Yesus Berbasis Kemanusiaan
Pertama-tama, penulis harus menjaga jarak (distansiasi) dari peruntukkan Spong tentang Yesus, karena Spong, menurut penulis, dengan sangat khusus memperuntukkan atau membagikan tafsirnya tentang Yesus kepada orang-orang non religius. Orang-orang non religius yang seperti apakah yang dimaksudkan oleh Spong? Minimal, dapat disingkapkan demikian: orang-orang non religius yang dimaksudkan oleh Spong adalah orang-orang yang mau ikut bersama Spong, melampaui pengalaman dan pemahaman iman, serta eksistensial akan Yesus yang hanya didasarkan pada rumusan dogma atau doktrin agama.
Yesus yang ditawarkan oleh Spong dalam bagian terakhir bukunya ini, adalah Yesus yang dapat membuatnya melihat kemanusiaan yang terbuka pada segala sesuatu yang menjadikan Allah itu Allah; terbuka pada kehidupan, cinta dan terbuka pada keberadaan; yang memotivasi kehidupan manusia kepada bagaimana mengasihi dengan berlimpah; Yesus yang sepenuhnya manusiawi; yang memungkinkan orang melangkah melampaui batas-batas kesukuan (primordialisme) dan batas-batas eksklusivisme agama.
Tawaran Spong kepada orang-orang non religius mengenai sosok Yesus di atas, menurut penulis, tidak harus diperdebatkan sebagai sebuah refleksi Kristologis, karena hanya akan memperpanjang deret literatur dan pengalaman keagamaan gereja atau kekristenan, yang terus terjebak pada debat dogmatis-Kristologis; yang pastinya tidak harus berujung dan statis. Namun, menurut penulis, tawaran Spong tersebut tidak hanya harus diakomodir oleh orang-orang non religius, tetapi juga mesti dimanifestasikan oleh orang-orang yang benar-benar mau disebut religius dalam artiannya yang paling Kristiani.
Melampaui perdebatan Kristologis, penulis mau menyatakan bahwa bukan lagi waktunya untuk “berdebat tentang siapakah Yesus itu” melainkan bagaimana mengimplementasikan amanah “Hukum Kasih” yang ditawarkan oleh Yesus sebagai basis spiritualitas Kristen. Sebagaimana dalam kalimat yang penulis pahami dalam kerangka humanis mengenai spiritualitas Yesus yang diutarakan oleh I Petrus 2:21,
“Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.”
Serta apa yang dinyatakan oleh Lukas 4:18-19:
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
C. Penutup
Pertanyaan Yesus tentang “Siapakah Aku Ini?” adalah pertanyaan yang ditujukan kepada siapa saja yang peduli untuk menjawabnya. Tetapi, sekiranya relevan, jika pertanyaan ini tidak lagi dijawab dengan jawaban-jawaban yang melulu merupakan proposisi-proposisi intelektual yang kemudian menjelma menjadi sebuah rumusan-rumusan dogmatis; tetapi alangkah baiknya pertanyaan tersebut dijawab dengan proposisi-proposisi atau melalui jawaban eksistensial; melalui sikap hidup yang paling mencerminkan bahwa kita adalah manusia ber-TUHAN atau orang-orang non religius, sebagaimana yang diuraikan oleh Spong. Tetapi, atau bukan sekedar berteriak dan berkoar Tuhan, Tuhan! Melainkan melakukan kehendak Tuhan (bnd. Mat. 7:21). Yesus bagi orang non religius yang diutarakan oleh Spong (dalam pengertiannya yang paling positif) juga harus direfleksikan orang-orang religius. Singkatnya, Yesus bagi orang-orang non religius itu, adalah juga Yesus bagi orang-orang religius.