Translate

Menggugat Agama Yang Alienatif

“MENGGUGAT AGAMA YANG ALIENATIF”

(Sebuah Apropriasi Berdasarkan Kritik Agama Feuerbach dan Karl Marx)
Oleh:
Karya Dosen
Filosofis
Menggugat Agama Yang Alienatif

Oktoviandy Rantelino
A. Pengantar

Menggugat Agama Yang Alienatif  Apropriasi Berdasarkan Kritik Agama Feuerbach dan Karl Marx-Di Indonesia, kritik agama sudah menjadi fenomena umum. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya diskursus yang memuat kritik terhadap agama, yang secara garis besar menyoroti tempat dan fungsi agama sebagai salah satu perangkat sosial kemasyarakatan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tragedi kemanusiaan yang justru dipicu oleh klaim-klaim dogmatis keagamaan. Atau dengan kalimat lain, agama yang diharapkan dapat memberi inspirasi bagi perubahan sosial ke arah yang lebih bermartabat, justru menjadi penyulut api konflik paling wahid di negara yang disebut religius ini.

Dari kenyataan itu, tidak sedikit orang mulai meragukan fungsi agama, bahkan secara radikal mengingkari eksistensi Tuhan atau kepercayaan mereka terhadap-Nya. Kritik agama pun tidak jarang berujung pada penolakan terhadap Tuhan yang disembah oleh orang beragama. Karena agama dan kepercayaan kepada Tuhan dilihat sebagai musuh yang mengalienasi manusia dari kemanusiaannya; agama adalah opium, tempat pelarian manusia dari kegagalan dan kepahitan hidup di dunia.

Berangkat dari keperihatinan di atas, penulis tertarik menelusuri secara kritis diskursus di seputaran tema mengenai kritik agama. Khususnya kritik agama yang diproklamirkan oleh dua tokoh, yakni Ludwig A. Feuerbach dan Karl Marx. Dua tokoh—yang karena kritik tajamnya terhadap agama—terlanjur distigmatisasi sebagai ateis oleh agama (khususnya agama Kristen). Yang di dalamnya, agama justru sibuk membangun benteng apologetis, sehingga lupa melakukan otokritik (self-criticism) berdasarkan kritik-kritik dari kedua tokoh tersebut.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah isi kritik dari kedua tokoh tersebut terhadap agama, sehingga agama—dengan tanpa rasa segan sedikit pun—menstigmatisasi mereka sebagai ateis? Dan bagaimanakah seharusnya agama menanggapi kritik yang diproklamirkan oleh kedua tokoh tersebut?

Melalui inspirasi dominan dari Paul Ricoeur, seorang filsuf Prancis kontemporer, penulis mencoba menggunakan konsep distansiasi-apropriasi-nya sebagai instrumen hermeneutik untuk menanggapi kritik dari kedua tokoh tersebut. Yang dalam bingkai pemikiran Ricoeur, D. G. Adian menyimpulkan:

“tanggapan terbaik terhadap kritik ateis bukan apologia, melainkan memakai kritik tersebut untuk mengambil jarak (distansiasi) dari lingkaran prasangka yang menyelimuti kita (dalam hal ini agama). Artinya, kita melakukan refleksi berdasarkan religiusitas kita sendiri berdasarkan kritik-kritik tersebut. Setelah distansiasi, kritik-kritik tersebut kemudian kita apropriasi, yaitu kita maknai secara baru sebagai obat pemurnian keimanan kita, dengan membersihkan keimanan kita dari apa-apa yang dituduhkan oleh kaum ateis.” 

Karena itu, dalam makalah ini, penulis termotivasi untuk menjawab dua pertanyaan, sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, dengan melakukan eksplorasi dan refleksi-kritis terhadap kritik agama Feuerbach dan Marx dengan menggunakan prinsip hermeneutis Ricoeur di atas.

Agar tulisan ini dapat disajikan secara sistematis, maka penulis menyajikannya demikian: pertama, penulis akan menguraikan secara ringkas riwayat hidup dari Feuerbach dan Marx dan sekaligus menyajikan pemikiran kritis mereka terhadap agama. Kedua, penulis akan menguraikan tanggapan kritis penulis terhadap kritik agama dari kedua tokoh tersebut, dengan menggunakan prinsip hermeneutis distansi-apropriasi dari Ricoeur. Ketiga, adalah bagian refleksi, yang di dalamnya penulis mencoba mengontekstualisasikan hasil tanggapan kritis penulis atas kritik Feuerbach dan Marx dalam konteks Indonesia. Karena tulisan ini dimulai dengan sebuah pengantar, maka akan diakhiri pula dengan sebuah penutup.


B. Ludwig A. Feuerbach dan Karl Marx: Riwayat Hidup dan Kritiknya Terhadap
Agama

B. 1. Ludwig Andreas Feuerbach

B. 1. 1. Riwayat Hidup 

Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) lahir di Bavaria, Jerman, dalam keluarga pengacara, akademisi, dan orang-orang beriman yang pandai-pandai. Sebagai seorang muda, Feuerbach dikenal sebagai seorang yang sangat religius. Ia pergi ke Heidelberg University untuk belajar teologi, karena sejak semula ia ingin menjadi seorang pendeta.

Tetapi, pada tahun 1824, ia kemudian meninggalkan teologi, dan memulai studi filsafat di Berlin. Di Berlin, ia mengikuti kuliah Hegel. Pada tahun 1837, Feuerbach menikahi Bertha Low. Untuk empat tahun berikutnya, buku The Essence of Christianity yang ditulisnya meraih sukses besar. Buku ini tercatat sebagai puncak kesuksesan atau ketenarannya. Sekalipun Feuerbach tetap menulis, namun reputasinya terus merosot.

Pada tahun 1870, ia mengalami stroke, dan akhirnya meninggal pada tanggal 13 September 1872. Feuerbach dimakamkan di Rechenberg dekat Nuremberg dan 20.000 orang datang untuk menghormati pemakamannya.

B. 1. 2. Tuhan sebagai Proyeksi dan Agama sebagai Alienasi

Sebagai seorang filsuf, Feuerbach dikenal sangat radikal dalam mengkritik agama (tepatnya agama Kristen). Bukunya yang berjudul The Essence of Christianity, banyak memuat kritik-kritik keras terhadap teologi Kristen, yang menurut Feuerbach, telah mengasingkan manusia dari esensinya. Pemikirannya itu dapat diringkas dalam satu tesis, teologi menjadi antropologi. Melalui tesis ini, kita dapat menyelidiki posisi kritis Feuerbach.

Sebagai sebuah tesis, teologi menjadi antropologi hendak mengatakan, ketika manusia berbicara tentang realitas ketuhanan, sebenarnya ia sedang membicarakan dirinya sendiri; tidak ada perbedaan antara kualitas-kualitas Tuhan dengan hakikat manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa Feuerbach sampai mengeluarkan tesis seradikal itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama penulis akan menguraikan pandangan atau gagasan Feuerbach tentang manusia.

Menurut Feuerbach, alam material adalah kenyataan terakhir. Manusia menjadi sadar diri, ketika ia mulai membedakan dirinya dari dasar terakhir itu. Hal ini berarti, bahwa selain mampu membedakan dirinya dari alam, manusia pun mampu merefleksikan hakikatnya sendiri. Untuk menjadi diri sendiri manusia harus menjadi objek bagi dirinya. Manusia mesti memproyeksikan diri ke luar dari dirinya, supaya ia dapat melihat hakikatnya. 

Itulah sebabnya, Feuerbach mengatakan, bahwa tanpa objek manusia bukan apa-apa. Melalui objek yang ia proyeksikan, manusia barulah dapat mengenali dirinya sendiri; kesadarannya tentang objek, adalah kesadaran dirinya atas hakikatnya sendiri. Menurut Feuerbach, hakikat manusia adalah rasio, kehendak dan perasaannya.

Melalui konsepsinya tentang manusia, Feuerbach kemudian menganalisis fenomena keagamaan. Menurutnya, rasio, kehendak, dan perasaan, sebagai hakikat manusia tadi, bila diproyeksikan (baca juga: diidealisasi atau diobjektivikasi) sampai tak terhingga, maka, proyeksi yang tak berhingga itulah yang kemudian disebut “Tuhan”. 

Dalam agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, idealisasi itu jelas: Tuhan dipahami sebagai Yang Maha tahu (rasio sempurna), Yang Maha baik (kehendak sempurna) dan Maha kasih (hati sempurna). Apa yang disebut sebagai hakikat Tuhan itu, bagi Feuerbach, tidak lain daripada hakikat manusia sendiri. Lebih jelas lagi, Feuerbach mengatakan bahwa, hakikat Tuhan tidak lain daripada hakikat manusia yang sudah dibersihkan dari berbagai keterbatasan atau ciri individualnya, lalu dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Atau dalam bahasa Feuerbach sendiri:

“Agama, setidaknya agama Kristen, adalah ajaran tentang bagaimana manusia berelasi dengan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya berelasi dengan esensinya sendiri, hanya saja esensi itu dipandang sebagai persona tersendiri, yang lain dari dirinya. Tuhan tak lain adalah manusia itu sendiri, atau lebih tepatnya, manusia yang dilepaskan dari batas-batasan individualnya atau sebagai manusia yang konkret dan bertubuh. Tuhan adalah esensi manusia yang ditempatkan di luar diri manusia, dengan kata lain, yang direnungkan dan disembah sebagai Ada yang terpisah, dari diri manusia.” 

Dengan mengasalkan hakikat Tuhan pada hakikat manusia, sebagaimana telah di kemukakan di atas, Feuerbach lalu menarik kesimpulan, bahwa teologi tak lain adalah antropologi. Menurut Franz M. Suseno, Feuerbach dalam pemikirannya ini, bukan hanya mengkritik agama Kristen, tetapi juga idealisme Hegel, yang baginya, merupakan pembuktian rasional bagi agama Kristen. 

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa menurut Feuerbach, Tuhan adalah hasil proyeksi diri dari manusia. Maksudnya ialah, manusia memiliki potensi-potensi hakiki seperti, berpikir tentang kesempurnaan, menghendaki kebaikan, dan mengalami cinta. Semua potensi hakiki manusia ini, serba terbatas dan tidak sempurna, maka manusia membayangkan adanya sebuah kenyataan lain yang memiliki kesemuanya itu, secara tak terbatas. Kenyataan itu, lalu dibayangkan berada di luar dirinya sebagai sebuah kenyataan objektif. Padahal, kenyataan itu sebenarnya tidak lain dari objektivikasi kesadarannya sendiri. Pertanyaannya, apakah menurut Feuerbach proyeksi diri ini merupakan sesuatu yang positif atau negatif?

Proyeksi diri itu adalah sebuah alienasi. Ini berarti, bahwa bagi Feuerbach, proyeksi diri adalah sesuatu yang negatif. Dikatakan negatif, karena hasil proyeksi diri itu, oleh manusia, dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berada di luar dirinya dan menghadapi dirinya. Manusia merasakan bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai objek. Manusia kemudian meletakkan dirinya lebih hina daripada hasil proyeksinya sendiri, contohnya: manusia itu lemah, sedang Tuhan mahakuasa, manusia itu berdosa, sedangkan Tuhan itu suci, dst. Alienasi diri inilah yang terjadi di dalam agama.

Dalam agama, diciptakan sebuah garis demarkasi antara manusia dan Tuhan. Feuerbach melihat agama dalam logika oposisi-biner: untuk menegatifkan manusia, maka harus diciptakan oposisi positifnya. Alienasi itu mengekang manusia untuk merealisasikan hakikatnya (baca juga: potensinya) sendiri. Manusia kemudian menjadi takut dan menyembah Tuhan, yang justru merupakan hakikatnya sendiri. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan lumpuh. Ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Daripada mencoba merealisasikan hakikatnya, manusia akhirnya secara pasif mengharapkan berkah daripadanya dengan berdoa kepadanya. Demikianlah agama mengasingkan manusia dari hakikat diri manusia sendiri.

Melalui agama, potensi-potensi yang seharusnya direalisasikan oleh manusia, hilang daripadanya, karena manusia lebih memilih untuk mengharapkan hal itu datang dengan sendirinya dari Tuhan. Itulah sebabnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Franz M. Suseno, Feuerbach yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan dan kebebasan manusia. Karena itu, Feuerbach memandang agama sebagai sebuah kenyataan negatif yang harus diatasi oleh manusia. Caranya, adalah dengan meniadakan agama agar manusia dapat secara utuh merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. 

B. 2. Karl Marx

B. 2. 1. Riwayat Hidup 

Karl Marx (1818-1883) lahir di kota Trier di perbatasan Barat Jerman pada tahun 1818. Karl Marx (selanjutnya: Marx) adalah seorang keturunan Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara keturunan Yahudi yang kemudian berpindah agama, menjadi penganut agama Kristen Protestan. Marx sendiri dibaptis masuk agama Protestan pada usia enam tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di kota kelahirannya, dia masuk ke universitas Bonn, lalu pindah ke Universitas Berlin. Pada awalnya Marx tertarik pada ilmu hukum, tetapi kemudian meminati filsafat, khususnya filsafat Hegel. Marx, dikatakan, bukanlah mahasiswa teladan di Berlin. Ayahnya pernah menegurnya dengan keras karena ia hidup amburadul dan hilir mudik ke berbagai bidang ilmu pengetahuan tanpa jelas arahnya. Marx sempat ingin menjadi penyair, karenanya, di masa mudanya, ia suka menulis puisi. Ketika di Berlin, dia bergabung dalam kelompok yang disebut Doctorclub (Klub Para Doctor), yang tak lain adalah salah satu kelompok Hegelian Muda. Kegiatannya dalam kelompok Hegelian Sayap Kiri ini tidak berlangsung lama, karena Marx merasa tidak puas terhadap kecenderungan teoritis dari kelompok ini. Sekalipun dia terkenal paling radikal dalam kelompok tersebut.

Marx melanjutkan studinya di Universitas Jena dan meraih gelar doktornya di sana pada usia dua puluh tiga tahun, dengan disertasi: Perbedaan Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros (Die Differenz der Demokritischen und Epikureischen Naturphilosophie). Kecenderungan ke arah praksis meruncing ketika Marx pindah ke Köln dan menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zeitung, sebuah koran liberal-progresif. Tetapi, karena mendapat kesulitan terus-menerus dari pemerintah Prussia, memaksa Marx melepaskan jabatannya pada tahun 1843, namun korannya tetap dilarang dan Marx pindah ke Paris. Marx menikah dengan teman masa kecilnya, Jenny von Westphalen, yang juga merupakan putri dari seorang bangsawan. Dari hasil pernikahannya ini, Marx memiliki tujuh orang anak. Empat di antaranya meninggal karena kecelakaan. Tiga orang putrinya yang hidup—Laura, Eleanor, dan Jenny—tercatat—mampu membaca teks-teks ayahnya.

Di Paris, Marx berjumpa dengan Friedrick Engels, anak seorang pemilik pabrik tenun, yang kemudian menjadi sahabat karibnya yang juga banyak mempengaruhi pemikirannya. Bersama Engels, Marx menulis Die Heilige Familie (Keluarga Kudus, Inggris: The Holy Family). Oleh keterlibatan praksisnya terhadap masalah-masalah ketimpangan sosial, pemikiran Marx kemudian semakin radikal dan kerap menyerang pemerintah Jerman. Akibatnya, Marx diusir dari Paris dan pindah ke Brusel. Di Brusel, Marx dan Engels menerbitkan Manifest der Kommunistisechen Partei (Manifesto Partai Komunis). 

Selama revolusi 1848 Marx kembali ke Jerman, tetapi karena revolusi itu gagal, Marx akhirnya harus kembali ke London karena dianggap membahayakan pemerintah. Di London, Marx menghabiskan waktunya untuk menulis, sementara kondisi keuangannya memburuk dan keluarganya terlantar. Sahabatnya Engels banyak membantu keuangannya. Selain buku-buku di atas dan adikaryanya Das Kapital (Modal), Marx juga menulis Das Elent der Philosophie (Miskinnya Filsafat) dan Thesen Über Feuerbach (Tesis-tesis Tentang Feuerbach). Marx kemudian menderita bronchitis dan meninggal pada tahun 1883. Tercatat bahwa pada waktu pemakamannya, hanya delapan orang yang berdiri di sisi makamnya.

B. 2. 2. Agama Sebagai Candu Rakyat

Dalam mengkritik agama Marx dikenal melalui ucapannya bahwa “agama adalah candu rakyat”. Ucapan Marx ini hendak mengatakan bahwa agama, dengan menjanjikan “surga”, membuat orang miskin dan tertindas menerima begitu saja nasib mereka dari pada mengubahnya. Dalam arti, agama dilihat sebagai sebuah “lingkaran setan” yang sengaja diciptakan oleh kaum-kaum berkuasa untuk menenangkan rakyat tertindas. Tetapi sebelum menelusuri lebih jauh kritik Marx terhadap agama, penting melihat kembali korelasi antara kritik Marx itu, dengan kritik Feuerbach terhadap agama.

Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa kritik agama dari Feuerbach menyatakan: di dalam agama manusia mengasingkan dirinya. Pada dasarnya Marx sepakat dengan asumsi Feuerbach itu. Marx menyetujui Feuerbach dengan mengatakan; “manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia.” Pemikiran kritis Feuerbach membuat Marx terbebas dari ke-terpesonaannya terhadap Hegel (1770-1831). 

Sekalipun Marx bersepakat dengan Feuerbach, tetapi, menurut Marx, Feuerbach tidak cukup konsisten. Feuerbach semestinya bertanya: mengapa manusia sampai mengasingkan diri di dalam agama? Mengapa manusia tidak merealisasikan hakikatnya secara nyata? Mengapa hanya secara semu dalam khayalan agama? Sikap Feuerbach yang kurang konsisten itu, bagi Marx, disebabkan oleh kelemahan Feuerbach yang lain. Manusia yang dalam pembicaraan Feuerbach, menurut Marx, adalah manusia yang abstrak. Bagi Marx, manusia sebagai “genus” itu tidak ada, yang ada hanyalah orang-orang yang konkret (spesies) yang hidup pada zaman tertentu sebagai warga masyarakat tertentu. Marx menekankan bahwa manusia jangan dilepaskan dari masyarakat dan negara, di mana ia hidup. Menurut Marx, sebagaimana yang dikalimatkan oleh Franz M. Suseno:

“Kalau manusia hanya dapat merealisasikan diri secara semu, sebabnya mesti dicari dalam 
masyarakat. Manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dunia mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, ia membangun suatu kerajaan dalam angan-angan. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, ia mengharapkan mencapai keselamatan di surga.” 

Berangkat dari analisisnya mengenai gejala keterasingan itu, Marx menemukan dasar atas kritiknya, yakni:

“agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh...Jadi, agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan mahluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat.” 

Di sini Marx melihat bahwa agama bukanlah gejala primer dari keterasingan manusia. Sebab itu kritik tidak boleh berhenti pada agama. Kritik terhadap agama mesti menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja tidak memadai, sebab tidak mengubah apa yang justru melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat; kritik terhadap surga mesti berubah menjadi kritik pada dunia; kritik agama menjadi kritik terhadap hukum, kritik terhadap teologi mesti menjadi kritik terhadap politik. 

C. Distansiasi dan Apropriasi Atas Kritik Agama Feuerbach dan Marx

C. 1. Distansiasi: Otokritik Berdasarkan Kritik Agama Feuerbach dan Marx

Langkah pertama dalam menanggapi kritik dari Feuerbach dan Marx adalah distansiasi. Dengan distansiasi, kita mengambil jarak dari lingkaran prasangka yang menyelimuti kita (dalam hal ini agama). Maksudnya adalah, kita melakukan otokritik terhadap paradigma keagamaan (baca juga: paradigma ketuhanan) kita sendiri berdasarkan kritik dari dari Feuerbach dan Marx. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan apa yang sebenarnya menjadi objek kritik dari kedua tokoh tersebut. Perumusan objek kritik ini akan diuraikan di bawah ini.

Objek kritik dari Feuerbach adalah, paradigma ketuhanan yang mengasingkan atau mengucilkan manusia dari hakikat dirinya sendiri, dengan menempatkan kesempurnaan yang mustahil di atas kelemahan manusia. Lebih tepatnya, kritik dari Feuerbach di arahkan kepada agama yang memalingkan manusia dari dirinya sendiri dan dari tugasnya di dunia sini.

Sejajar dengan hal di atas, Armstrong mengatakan bahwa Feuerbach dengan telak menyentuh kelemahan esensial dari tradisi Barat yang selalu dipersepsikan sebagai bahaya monoteisme. Kelemahan esensial itu adalah gagasan tentang Tuhan yang di tempatkan di luar kondisi manusia yang kemudian mengakibatkan pemberhalaan. Singkatnya, Feuerbach mengkritik gagasan tentang Tuhan yang semakin tereksternalisasi dan yang kemudian melahirkan konsepsi yang sangat negatif tentang manusia dan dunianya.

Tidak jauh berbeda dengan beberapa pendapat yang telah dipaparkan di atas, Eko Darmawan berpendapat bahwa objek kritik dari Feuerbach diarahkan kepada mereka yang terlalu teosentris dalam memahami agama, sehingga melupakan hakikat antroposentris dari agama itu sendiri. Menurut Eko Darmawan, Feuerbach ada benarnya, sebab agama bukanlah semata-mata tentang Tuhan, tetapi juga tentang perkembangan diri manusia. Agama bukanlah tentang Tuhan yang sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh dan taat kepada-Nya, namun tentang pulihnya kesadaran dalam diri manusia akan perjalanan hidupnya, dari makhluk yang terperangkap dalam batas-batas ruang dan waktu menjadi makhluk yang menyemesta. 

Objek kritik dari Marx adalah agama yang mendukung status quo. Agama yang hanya membangun “kemesraan” dengan kekuasaan; agama yang mengasingkan kesadaran kritis dari kelas tertindas dan melumpuhkan semangat perlawanannya; dan dengan begitu agama telah menguntungkan kelas-kelas atas, dengan cara “mengonstruksi” ajarannya (khususnya ajaran tentang neraka, surga dan tentang Tuhan) untuk menopang tatanan sosial yang tidak adil, yang di dalamnya orang kaya diuntungkan dan orang miskin dibiarkan semakin merugi atau semakin miskin. Sejajar dengan hal sebelumnya, Armstrong mengatakan bahwa: “Tuhan rentan dengan kritik Marx karena telah sering digunakan oleh pihak yang mapan untuk menopang tatanan sosial yang di dalamnya orang kaya duduk di istana sedang orang miskin duduk di gerbangnya.” 

Mencermati objek-objek kritik dari Feuerbach dan Marx di atas, sesuai dengan gagasan Ricoeur, sebaiknya dijadikan momentum distansiasi dari paradigma ketuhanan atau keberagamaan yang praktis membuai kita selama ini. Kritik dari Feuerbach dan Marx di atas, pada umumnya menyebutkan bahwa kebertuhanan telah mengasingkan manusia dari kemanusiaannya dan juga dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Kritik-kritik tersebut harus membuat kita masuk pada kesadaran bahwa selama ini di dalam agama, banyak ditemukan unsur-unsur yang persis mencerminkan perihal yang dituduhkan oleh kedua pemikir di atas. Mengakui kenyataan itu pada gilirannya konstruktif bagi pembaruan dan pemurnian agama.

Perlu diakui bahwa dalam agama-agama mudah ditemukan unsur-unsur yang mencerminkan cita-cita, prasangka, dan emosi manusia, yang mana semua unsur manusiawi tersebut, memang tidak lebih dari proyeksi manusia belaka, seperti yang dikritik oleh Feuerbach. Kecenderungan lain yang ditemukan di dalam agama-agama—tidak perlu di generalisasi, tetapi merupakan warning bagi semua agama—masih dalam hubungannya dengan kritik dari Feuerbach adalah, konsepsi tentang Tuhan di dalam agama yang cenderung mengalienasi (baca juga: mendiskreditkan) manusia. Di dalam agama, tidak jarang ditemukan paradigma ketuhanan yang menggambarkan jarak yang amat jauh antara manusia dan Tuhan. Konsepsi-konsepsi tentang Tuhan yang tidak sekedar menghadirkan pembedaan antara Tuhan dan manusia, melainkan juga garis pemisah antar keduanya.

Hal penting lainnya, agama-agama perlu mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah, agama sering “bersekutu” dengan mereka yang berkuasa dan bermodal, lalu membiarkan rakyat hidup dalam keadaan miskin dan tidak berdaya, sebagaimana yang dikritik oleh Marx. Dalam hubungannya dengan kritik Marx, Abd Moqsith Ghazali mensinyalir, bahwa dalam perkembangan kontemporer, agama telah mengalami berbagai distorsi di tangan para pemeluknya. Abd Moqsith Gazali menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat indikator yang bisa ditunjuk untuk itu:

“Pertama, agama telah disalahgunakan oleh penguasa negara, paling tidak melalui dua jalur: 
1) Di pundak para penguasa, agama mengalami proses politisasi “yang mengerikan”. Agama yang seharusnya menjadi teks yang jujur dimanipulasi demi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Agama dijadikan alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan penguasa. Padahal, sekali sebuah agama diseret untuk memasuki wilayah struktur formal kehidupan politik, maka ia akan berhadapan dengan agama lain yang direbut lahan aktualisasi politiknya; 2) Di tangan penguasa negara, agama mengalami proses marginalisasi dan disfungsionalisasi. Dalam koteks Indonesia, rezim Orde Baru secara telanjang telah berhasil menenggelamkan agama dalam perkara-perkara yang tabu untuk dibicarakan, hanya karena ia diduga memicu dan meledakkan konflik. Sebagai implikasinya, tak ayal lagi, di tengah merumitnya problem-problem kemanusiaan Indonesia, agama tidak lebih dari sebuah “dekrit kosong” yang nyaris tidak memiliki peran apa-apa. Agama terkurung dalam kemandulan solusi. Kedua, sebagaimana para penguasa negara, aparatus agama yang bertahta dalam sejumlah ormas keagamaan, tidak jarang melakukan praktek-praktek pemburaman terhadap agama, sehingga agama terlucuti dari khitah awal kehadirannya. Agama tidak jarang dijadikan sebagai alat tawar-menawar serta komoditi politik dan ekonomi. Ketiga, para agamawan dan fungsionaris agama, terutama dari sayap fundamentalis-konservatifnya, sering terlibat dalam upaya agama yang garang, keras, dan sangar. Lihatlah, tafsir eksklusif yang diedarkannya serta khotbah panas yang nyaring disuarakannya adalah sebentuk pamflet buruk bagi agama sendiri. Keempat, agama telah direduksi sebagai institusi layanan ritual dengan menampung serta menghibur mereka yang tengah berduka akibat tersuruk dari panggung politik dan ekonomi, serta kegagalan hidup.” 

Fenomena-fenomena sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah fenomena di dalam agama yang menjadi objek kritik dari Marx. Agama yang menjelma menjadi seperangkat keluh-kesah warga masyarakat yang tertindas. Agama yang sekedar menawarkan penenangan semu dan tidak mampu menghapus faktor yang memicu penderitaan. Kiranya jelas, bahwa agama yang demikian bukanlah agama masa depan? Selain itu, menarik pula untuk belajar dari pernyataan Marx yang mengatakan bahwa kritik tidak boleh berhenti pada agama, kritik juga harus diarahkan pada sistem ekonomi, politik, dan hukum, yang bisa jadi, sistem-sistem tersebut, hanya menguntungkan para penguasa dan pemodal.

C. 2. Apropriasi: Melampaui Kritik Feuerbach dan Marx

Seperti yang telah diuraikan di atas, kritik dari Feuerbach dan Marx jangan buru-buru kita nafikan sisi kebenarannya, melainkan, tidak ada salahnya, apabila kita menjadikan kritik-kritik tersebut sebagai instrumen reflektif dan pengayaan eksistensi bagi kehidupan beragama kita. Atau, dengan perkataan lain, melalui kritik dari Feuerbach dan Marx tersebut, agama-agama dibantu untuk terus secara kritis belajar dan membersihkan diri serta bergulat untuk merenggut kembali pesan hakikinya.

Melalui otokritik berdasarkan kritik Feuerbach dan Marx di atas, ditemukan bahwa paradigma ketuhanan kita memuat kecenderungan yang antropomorfistik sekaligus alienatif; yang berpotensi ke arah pemberhalaan dan memerosotkan kemanusiaan. Kita pun sadar bahwa agama sering terdistorsi atau dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu untuk melayani kepentingan-kepentingan mereka sendiri, atau hanya untuk keserakaan segelintir orang dan hanya untuk mempertahankan status quo.

Setelah mengambil jarak (distansiasi) terhadap paradigma ketuhanan kita sendiri berdasarkan kritik-kritik tersebut, maka langkah selanjutnya adalah melampaui, dan atau memurnikan paradigma ketuhanan dan keberagamaan kita, dari apa-apa yang “dituduhkan” oleh Feuerbach dan Marx (apropriasi). Dengan kalimat lain, kita mesti melampaui paradigma ketuhanan yang antropomorfistik dan yang alienatif itu, agar kita tidak lagi terjebak pada pemberhalaan. Pelampauan itu adalah, menuju pada paradigma ketuhanan yang “trans-antropomorfistik” dan paradigma ketuhanan yang lebih “akomodatif” bagi aktualisasi kemanusiaan. 

Paradigma ketuhanan yang trans-antropomorfistik dan yang lebih akomodatif, ditawarkan, agar kualitas iman tidak melulu diletakkan sebagai yang eksternal, datang dari Tuhan, melainkan, kualitas iman itu sendiri, mesti dilihat sebagai kualitas kemanusiaan dalam korelasinya dengan Tuhan, sesamanya dan alam tempat hidupnya yang lebih konkret. Karena itu, kebertuhanan haruslah dimaknai, bukan hanya secara mistis, tetapi juga fungsional, sehingga ia lebih memberi makna lagi bagi “eksistensi” dan tidak menjadi sebuah penolakan terhadap keduniawian.

Melalui kritik dari kedua tokoh tersebut, khususnya Marx, agama-agama pun ditantang untuk mampu memurnikan dirinya dari: pertama, paradigma keagamaan yang hegemonis, triumphalistik, eksklusif dan isolatif-asosial ke arah paradigma (baca juga: tafsir) keagamaan yang lebih responsif terhadap nasib mereka yang menderita, inklusif, dialogis, serta mengarahkan diri pada sikap sosial yang rekonsiliatif. Kedua, agama harus memurnikan dirinya dalam batas yang sangat minimal dari tujuan pencapaian target-target ekonomi-politik oleh para penguasa agama dan negara (apalagi para demagognya). Ketiga, agama mesti membentuk kesadaran yang berkarakter profetik bagi setiap pemeluknya, seperti yang diperankan oleh figur Musa, Yesus dan Muhammad, serta figur atau teladan lainnya yang ada dalam setiap agama. Dalam kesadaran yang berkarakter profetik itu, agama adalah energi yang bergerak aktif, bukan energi potensial yang diam.

D. Relevansinya Bagi Konteks Beragama di Indonesia

Indonesia adalah salah satu tempat menjamurnya aliran fundamentalisme. Aliran ini merupakan perkembangan baru yang paling keras di Amerika sejak tahun 1970-an. Aliran ini pun, telah mengaliri denyut nadi agama-agama dunia, khususnya Islam, Kristen dan Yahudi, sekalipun masing-masing hadir dengan karakteristiknya sendiri. Paradigma ketuhanan yang didakwakan dan dikhotbahkan oleh aliran ini adalah paradigma ketuhanan yang harfiah dengan penyifatannya yang “panas” dan “dingin”. Panas dalam arti, mereka menggunakan “Tuhan” untuk menopang cinta dan kebencian mereka sendiri, yang mereka nisbahkah sebagai cinta dan kebencian Tuhan. Mereka cepat mengutuk orang lain yang mereka anggap sebagai musuh Tuhan. Dingin, sebab mereka menawarkan sikap keagamaan yang instan dan pasif, dalam arti, mereka percaya bahwa mukjizat merupakan sendi keimanan yang esensial. Tuhan akan mengabulkan apapun yang diminta dalam doa seorang beriman.

Bukan hanya itu, Dawam Rahardjo, sebagaimana yang dikutip oleh A. Zahro, menjelaskan ciri lain yang melekat pada kaum fundamentalis, antara lain:

“Sikap dan pandangan hidup yang radikal, militan, berpikir sempit, bersemangat secara berlebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan...Fundamentalisme itu merefleksikan sikap tidak percaya kepada kemampuan penalaran dan lebih menekankan aspek emosional atau perasaan. Sikap yang meragukan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah dan lebih mempercayakan diri pada lembaga ilahiah.” 

Dalam konteks ke-beragamaan (di Indonesia) semacam inilah, maka pembicaraan mengenai kritik Feuerbach dan Marx, sebagai instrumen-reflektif bagi paradigma ketuhanan di Indonesia, mendapatkan sentuhan nilai aktualnya untuk mendorong pada perubahan paradigma ketuhanan yang lebih mutakhir dan akomodatif bagi aktualisasi kemanusiaan yang lebih beradab; sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Implikasi praktis yang semestinya hadir dari menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan juga. Kecintaan terhadap Tuhan merupakan keterlibatan diri dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Melayani Tuhan berupa pelayanan terhadap orang lain yang secara eksplisit menghargai kebebasan orang untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya. Terlebih, agama tidak hanya hadir dengan aspek-aspek ketuhanan per se, tetapi lengkap dengan ajaran-ajaran kemanusiaannya. 

Konteks lainnya dari negara berlambang burung Garuda ini adalah, perilaku masyarakatnya yang masih jauh dari identitasnya sebagai masyarakat religius. Tingkat kejahatan, seperti korupsi, kekerasan, ketidakadilan, pelanggaran HAM dan bentuk kejahatan lainnya masih berada dalam intensitas yang cukup tinggi. Sebagai salah satu buktinya, Indonesia rupanya masih menduduki posisi ketiga—yang sebelumnya pada tahun 2005 pernah menduduki peringkat pertama—di antara negara-negara terkorup di Asia—dan peringkat keenam dalam konteks internasional. Menurut A. Umar Said, pembusukan yang sudah menyeluruh di Republik kita ini, nyatalah kiranya dengan jelas bahwa korupsi adalah termasuk pembusukan yang amat parah di bidang moral dan iman di banyak kalangan masyarakat kita (terutama “kalangan atas”). Aktualitas yang dimaksud adalah tekad optimal dan maksimal dari umat beragama di Indonesia untuk memulihkan perilaku etis mereka yang merosot ke arah yang lebih baik.

Karena itu, bila benar-benar mau berfungsi, agama-agama harus dinamis dan konsisten dalam menerobos kebekuan dan kemerosotan semacam itu, dan mulai menaruh perhatian yang amat serius terhadap tantangan-tantangan etis di atas. Agama yang tidak menunjukkan kepedulian etis, tidak akan mampu bertahan. Kepedulian etis yang dimaksudkan, tidak hanya melalui pengembangan, penyebarluasan dan perlawanan polemis lewat wacana dan iklan-iklan tekstual maupun audiovisual, tetapi juga menuntut keterlibatan agama-agama dalam aksi riil demi memperjuangkan dan memerdekakan masyarakat dari sistem yang menindas dan korup. Sedangkan dalam konteks intern, agama-agama harus terus berjuang dan membebaskan dirinya sendiri dari paradigma dan perilaku hidupnya yang kaku, dangkal dan distorsif , di setiap aras kehidupannya.

E. Penutup

Kritik agama Feuerbach dan Marx menyerukan pembebasan dari paradigma ketuhanan yang antropomorfistik, dan yang alienatif terhadap kemanusiaan. Karena itu, melalui refleksi berdasarkan kritik Feuerbach dan Marx, agama-agama ditantang untuk melampaui paradigma ketuhanan semacam itu, ke arah paradigma ketuhanan yang trans-antropomorfistik dan paradigma ketuhanan yang lebih akomodatif bagi aktualisasi kemanusiaan yang lebih beradab.

Melalui refleksi berdasarkan kritik Feuerbach dan Marx, umat beragama ditantang untuk secara sadar dan serius dalam mengubah dan memurnikan perilaku keagamaannya yang kamuflatif, ataupun perilaku hidupnya yang selama ini jauh dari pesan-pesan hakiki nan arif dari agamanya masing-masing.

Dalam konteks Indonesia, di tengah menjamurnya dan semakin populernya gerakan-gerakan fundamentalisme, serta masih tingginya tingkat kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya, maka menggunakan kritik Feuerbach dan Marx sebagai instrumen-reflektif bagi paradigma ketuhanan dan perilaku umat beragama di Indonesia, dianggap relevan dan signifikan. Hal ini dipahami dan dilakukan, sebagai salah satu upaya agar agama-agama atau umat beragama di Indonesia, semakin sadar dan serius meningkatkan dan mengembangkan kualitas pemahaman keagamaan dan perilaku hidupnya di tengah-tengah kompleksitas kemerosotan yang ada di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Alkitab dan Kamus:
Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta: LAI, 1994.
Kamus Filsafat, Lorens Bagus, Jakarta: Gramedia, 2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, disunting oleh Anton M. Moeliono dkk., Jakarta: Balai Pustaka, 31994.
Buku Karangan:
Adian, D. Gahral. Percik Pemikiran Kontemperor: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006.
A. P. van der Weij. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. terj., K. Bertens, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. terj., Zaimul Am, Bandung: Mizan Media Utama, 2004.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Budi, F. Hardiman. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Budi, P. Kleden. Dialog Antar Agama dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead. Maumere, Penerbit Ledalero, 2002.
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Modern, jakarta; PT. Gramedia, 1986.
Jacobs, Tom, Paham Allah dalam Filsafat, Agama-agama & Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: KPK, 2006.
Leahy, Louis, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini. Jilid I, Yogyakarta: Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1984.
______, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis,Yogyakarta: Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1985.
______, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, & Jakarta: BPK-GM, 1993.
Marx, Karl & Engels, Frederick, Tentang Agama, terj., Ira Iramanto, Jakarta: HASTA MITRA-Seri Buku Ilmiah, 2003.
Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
P., Eko, Darmawan, Agama Itu Bukan Candu: Tesis-tesis Feuerbach, Marx dan Tan
Malaka, Yogyakarta: Resist Book, 2005.
Smith, Linda dan William Raeper. Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang.
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sumartono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
______. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Tim Balitbang PGI (peny.), Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum, Jakarta: BPK-GM, 2000.
Verkuyil, J., Fragmenta Apologetika, Jakarta: BPK-GM, 1966.
Karangan Lainnya:
A’la, Abd, Kekerasan,”Sumbangan” Modernisasi dan Fundamentalisme Agama, dlm.,
Kompas, edisi, Jumat, 1 Februari 2002.
______, “Agama Tanpa Penganut: Memudarnya Prinsip-prinsip Moral dalam
Ke-beragamaan Umat”, dlm., Net In Text STT INTIM, Autors: 2001.
Azhari, K. Noer, “Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya”, dlm., Net In Text
STT INTIM, Autors: 2001.
Budi, A. Purnomo, Agama “Post”-Dogmatik, Agama yang Membumi, Kompas, edisi,
Jumat, 31 Mei 2002.
Feuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, dlm.,
 www.marxists.org/reference/archive/feuerbach/works/essence/ec00.htm, download
15 April 2007.
Herry, B. Priyono, Konsumerisme, Kompas, edisi, Kamis, 8 Maret 2003.
Mojau, Julianus, “Memahami Ulang Paradigma Teologi Zending dalam Konteks Konflik
Antar Agama di Indonesia Dewasa Ini”, dlm., Net In Text STT INTIM, Autors:
2000.
Moqsith, A. Gazali, Peran Strategis Agama-agama, dlm., Media Indonesia, Edisi, Jumat,
3 Januari 2003.
Umar, A. Said, “Hubungan Antara Korupsi dan Pembusukan Iman”, dlm., Net In Text STT
INTIM, Autors: 2001.
Zahro, A., “Fundamentalisme Antara Barat dan Dunia Islam: Telaah Fiqh Politik”, dlm.,
Net In Text STT INTIM, Autors: 2002. 




Subscribe to receive free email updates: